BAB 1

1304 Words
Terik matahari tidak menyurutkan semangat seorang gadis cantik yang akan melangkahkan kaki menuju sebuah butik tempatnya bekerja. Sepulang kuliah tadi Jingga tidak langsung mampir ke butik seperti biasanya karena lupa membawa peralatan gambar sehingga harus mengambilnya terlebih dahulu di rumah. Jarak dari rumah ke butik tidak terlalu jauh hanya sekitar tujuh ratus meter sehingga gadis itu memilih berjalan kaki. Mempercepat langkah karena sudah terlambat namun netranya menangkap ada keributan di kejauhan. Jingga mendekat pada beberapa orang yang tengah memukuli seorang pria. “Apa yang kalian lakukan pada ayahku?” teriak Jingga berlari menghampiri setelah memastikan bahwa orang yang sedang dipukuli adalah sang ayah yang kini sudah babak belur dihajar oleh beberapa orang berbadan tinggi besar. “Cabut!” seru salah satu diikuti langkah lari mereka menuju mobil warna hitam yang tidak sempat Jingga lihat nomor polisinya. “Ayah, apa yang terjadi?” Dua bulir bening menetes membasahi pipi putih gadis itu. Walaupun terkesan cuek Jingga sebenarnya adalah anak yang baik dan lembut. Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Kepergian sang ibu memang sedikit banyak memberi pengaruh dalam dirinya hingga Jingga remaja yang awalnya ceria berubah menjadi pribadi yang cuek. Dewi, ibu Jingga meninggalkan mereka sepuluh tahun lalu saat gadis itu berusia lima belas tahun. Terlihat mobil yang Jingga pesan lewat aplikasi online beberapa saat lalu, menghampiri. “Mbak Jingga?” tanya driver taxol sambil memperhatikan ponselnya. Memastikan bahwa gadis itu adalah penumpangnya. “Iya, Mas. Boleh tolong bantuin angkat?” Menoleh pada Rendi yang tergeletak di pangkuan Jingga, tanpa menjawab driver taxol tersebut langsung mengangkat pria paruh baya itu dan membawanya ke dalam mobil. Jingga mengikuti dari belakang kemudian kembali memangku kepala sang ayah di kursi penumpang. Tidak lama kemudian mobil mulai melaju menuju rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit ingatan gadis itu kembali pada beberapa tahun lalu dimana ayah dan ibunya masih bersatu. Mereka begitu bahagia. Dulu kedua orang tua Jingga saling mencintai. Sang ayah adalah pria baik yang selalu bertanggung jawab atas keluarga kecilnya. Rendi Permana, ayah Jingga adalah salah satu pengusaha meubel yang cukup sukses di Jakarta, namun beberapa tahun belakangan usahanya bangkrut. Dia mengajukan pinjaman dana pada salah satu perusahaan yang berada di bawah naungan Daniel Corp. Dimulai dari prasangka Rendi yang menganggap sang istri, Dewi bermain di belakangnya hanya karena beberapa kali bertemu dengan teman lama membuat pria itu murka. Sejak saat itulah sikapnya berubah. Rendi menjadi sosok suami yang suka melakukan kekerasan. Dia jadi suka mimum minuman keras dan berjudi. Harta yang dimilikinya ludes hingga menyebabkan sang istri kabur. Tak terasa air mata Jingga menetes merindukan kebersamaan mereka dulu. Entah dimana keberadaan sang ibu sekarang. Mobil berhenti membuat gadis itu tersentak dari lamunan. “Sudah sampai, Mbak,” interupsi sang driver. Jingga turun dari mobil memanggil beberapa suster yang berdiri tidak jauh darinya. Dengan sigap para suster berlari membawa brankar dan membantu mengangkat Rendi ke atas brankar kemudian membawanya ke ruang IDG. ** Sementara di kantor perusahaan milik Daniel salah satu pengusaha terkaya di Indonesia yang beberapa tahun belakangan dipercayakan untuk dikelola putra keduanya, seorang pria duduk di kursi kebesaran dengan wajah ditekuk lantaran pria yang menjanjikan membayar hutang padanya ingkar janji. Rey mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja kerja, menimbang harus menerima tawaran pria paruh baya yang berhutang padanya atau tidak. Pasalnya pak tua – begitu dia sebut – itu memberikan jaminan putrinya sebagai istri untuknya jika Rendi tidak bisa melunasi hutang. Sedangkan Rey tidak butuh istri, dia tidak ingin berkomitmen. Drrtt ... drrtt ... Ponsel di saku celananya berdering. “Bagaimana?” tanya Rey dengan suara datar menjawab panggilan telepon. “Saat kami temui dia sedang berjudi dan belum bisa bayar karena kalah lagi, Bos. Seperti yang anda perintahkan kami hendak membereskannya tapi tiba-tiba ada seorang gadis yang memanggilnya ayah, datang. Jadi kami terpaksa pergi. Maafkan kami, Bos.” Takut-takut Roy, anak buah Rey menjawab karena khawatir sang Bos marah. Salah-salah nyawa melayang karena tidak menjalankan tugas dengan baik. “OK, kita datangi rumahnya, tunggu di sana!” Sepihak panggilan dimatikan membuat si penelepon menghela nafas, lega luar biasa. Rey memang menyuruh anak buahnya untuk menghabisi Rendi jika lelaki itu tidak juga membayar hutang karena dirinya tidak tertarik menerima penawaran konyol itu. “Maaf, Bapak mau pergi?” tanya sekretaris sekaligus partner s*x Rey saat melihat langkah panjang sang bos. “Iya, saya ada keperluan,” jawab Rey datar. “Tapi Bapak ada meeting dengan klien tiga puluh menit lagi.” “Batalkan dan atur ulang jadwalnya!” titah sang Bos seenaknya. “Tapi Pak .... ” Ucapan Seira terpotong tatapan tajam Rey yang langsung membuatnya bungkam. Rey menjadikan Seira sekretaris sekaligus teman m***m. Mereka beberapa kali melakukan adegan ranjang di kantor maupun di apartemen milik pria itu namun tak lantas memberi kesempatan pada sang sekretaris untuk bersikap seolah mereka dekat karena sekali lagi Rey hanya menganggap wanita adalah mainan. Apalagi dalam hal ini Seira yang berusaha menggodanya. Bisa dibilang Seira cukup spesial mungkin karena merangkap sebagai sekretaris sehingga Rey mau melakukan berkali-kali dengannya tidak seperti jalang lain yang hanya dia pakai sekali. “Sial!” Seira hanya bisa mengumpat dalam hati karena jika ketahuan mengumpat bisa habis dia dipecat dan sudah bisa dipastikan tidak akan mendapatkan pekerjaan serupa di tempat lain. Menghela nafas pelan gadis itu segera menghubungi klien untuk membatalkan meeting sesuai perintah sang bos m***m yang kini sudah berlalu. ** Seorang gadis menangis menunduk di kursi tunggu ruang IGD. Pikirannya kacau selain karena ayahnya yang sedang berjuang untuk bangun juga bingung harus mencari kemana biaya untuk pengobatan sang ayah. Sebenarnya Jingga punya sahabat di kampus tempatnya kuliah tapi dia tidak enak merepotkan lagi dan lagi pria itu. Aron sudah sangat baik selama ini. Disaat gadis itu harus menghabiskan uang gaji kerja paruh waktunya untuk membayar hutang judi sang ayah, lelaki itu sering kali membantu untuk sekedar meminjaminya buku yang secara diam-diam dia beli agar Jingga tidak perlu membeli sendiri. Sedang satu sahabat lainnya, Lala, bukan dari keluarga berada. Tidak berbeda jauh dengan Jingga hanya kehidupan gadis itu tidak serumit dirinya. Beruntung Jingga tergolong anak cerdas yang berkuliah dengan biaya dari pemerintah. Jingga adalah mahasiswi semester akhir yang berkuliah di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Jingga masuk ke dalam kamar rawat inap sang ayah setelah beberapa menit lalu dipindahkan dari ruang IGD kemudian duduk di kursi samping ranjang menatap Rendi yang masih betah menutup mata padahal sudah tiga jam pingsan. Tangannya menggenggam erat tangan Rendi yang tidak di pasang selang infus. Gadis itu kembali meneteskan air mata. Sesak sekali rasanya melihat satu-satunya orang yang dia miliki terbaring tak berdaya. “Bangun, Yah, tolong jangan begini. Jingga nggak mau kehilangan Ayah, sudah cukup ibu pergi,” ucapnya sendu. Satu tangan gadis itu mengusap kasar pipi yang semakin basah. Mengeluarkan gawai dari saku celana jeansnya, Jingga memantapkan hati untuk lagi-lagi meminta bantuan Aron. “Halo, Ga?” Suara Aron di seberang terdengar. “Ar, lagi sibuk nggak?” “Ya, ya ... gimana?” Aron membawa mobilnya ke tepi jalan agar lebih jelas mendengar suara gadis itu. “Maaf, Ga, aku lagi di jalan, ada apa?” tanyanya melanjutkan. “Ayahku masuk rumah sakit, dikeroyok beberapa orang tadi siang.” “Kok bisa, masalahnya apa?” “Aku juga nggak tau, paling nggak jauh-jauh dari judi dan utang. Sebenernya aku nggak enak banget ngrepotin kamu terus tapi bingung mau minta tolong siapa lagi.” Jingga menghela nafas berat seperti beban hidupnya. “Nggak boleh mikir gitu dong kita kan sahabat, aku kesana ya, kamu di rumah sakit mana?” “Permata Medika. Makasih ya, Ar kamu selalu ada buat aku dalam keadaan apapun.” Kembali Jingga menitikkan air mata yang melesak keluar. “It’s ok,” jawabnya kemudian mematikan sambungan telepon. “Karena aku cinta sama kamu, Ga.Tapi aku nggak mau kamu menjauh dari aku saat tau rasa ini,” lanjutnya dalam hati. Aron berbalik arah menuju rumah sakit tempat ayah gadis yang dicintainya dirawat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD