BAB 2.

1346 Words
BAB 2; Rupawan.  Alice megerjab, perlahan. Mengembalikan kesadarannya yang sempat tertelan. Menatap ke sekililing, ia kemudian mengembuskan napas kasar karena mendapati dirinya masih berada di tempat yang sama. Ruangan serba hitam, dan juga... sosok lelaki yang mengaku bernama Mikhail Levin.  Alice benar-benar tidak mengenal pria hedonis itu. Dan kenapa pula dirinya harus terjebak di sini? Jika boleh jujur, Alice ketakutan. Mau tak mau pikirannya mengelana pada banyak kemungkinan. Apa dirinya punya musuh sehingga ada yang berniat membalas dendam? Atau yang lebih parah lagi, bagaimana jika Alice adalah korban perdagangan manusia?  Alice menggigit bibir, semakin gelisah. Tapi, mengingat perkataan lelaki misterius itu semalam, rasanya tidak mungkin. Eh. Tapi, bukankah Mikhail bilang jika Alice adalah miliknya? Jangan-jangan Paman Beni dan Bibi Aurin sudah menjual Alice pada pria itu? Alice menggeleng kuat.  Dan rasanya kepala Alice ingin pecah memikirkan semua itu.  Keluar dari selimut, Alice hendak menuju kamar mandi untuk memulai ritual paginya. Tapi, suara pintu yang terbuka membuat gerakannya terhenti.  Sosok lelaki bernama Mikhail itu melangkah masuk, dengan nampan di tangan kanannya. Setelan jas dan celana bahan yang membungkus sempurna tubuhnya membuat laki-laki itu bagaikan pangeran dari negeri dongeng. Jika saja Alice tidak ingat jika pria sialan tampan itu yang menculiknya, Alice pasti sudah berteriak senang karena ada jelmaan malaikat yang membawakannya sarapan.  Dan, pertanyaannya adalah, kenapa pria itu repot-repot mengantarkan sarapan untuknya?  "Kapan aku bisa pulang?" Alice tidak bisa menyembunyikan nada sinis dari suaranya. Pria itu hanya menaikan sebelah alis dan menaruh nampan yang ia bawa ke atas meja.  "Mandi. Setelah itu, makanlah. Aku akan kembali pada jam makan siang." "Aku tidak mau!" Alice mengerang frustrasi. "Ya Tuhan, hari ini aku ada kuliah pagi dan—" perkataannya menggantung di udara saat dagunya di tarik ke samping. Sepasang kelereng hijau bening melayangkan sorot tajam. Bibir Alice langsung terkatub rapat dengan bola mata membulat.  Levin mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka nyaris menempel. Harum mint bercampur cokelat menguar lembut ketika pria itu bicara—menyentak kewarasan Alice untuk sesaat. "Lupakan kampus untuk satu bulan ke depan, Alice. Karena dua minggu lagi kita akan menikah."  Jantung Alice nyaris keluar dari rongga. Otaknya mendadak lambat untuk mencerna informasi. Apa tadi? Me-ni-kah? Dua minggu lagi? Dengan pria yang bahkan belum dikenalnya selama 24 jam? Rasanya Alice ingin tertawa. Pasti dirinya sedang bermimpi sekarang!  Pria itu menjauhkan wajah, melepas pegangan tangannya dari Alice sebelum berdiri tegap. Aura berkuasa tampak mendominasi ketika pria itu memasang wajah tegas. Dan, Alice menelan ludah susah payah.  Ini semua tidak benar. Bahkan rencana untuk menikah belum pernah terlintas di pikirannya sama sekali. Demi Tuhan, Alice baru kuliah semester lima. Masih ingin lulus dan dapat pekerjaan layak. Setelah itu dirinya bisa membalas jasa Paman dan Bibi yang selama ini merawatnya.  Kalau pun menikah nanti, Alice jelas akan memilih laki-laki manis yang mencintainya, dan juga ia cintai sepenuh hati. Kemudian mereka akan hidup bahagia dengan kesederhanaan, menimang anak dan cucu mereka sampai tua nanti.  Dan sekarang, pria asing ini dengan santainya mengatakan akan menikahi Alice? Yang benar saja! Alice tidak mau laki-laki sok berkuasa ini merenggut mimpinya begitu saja.  "Singkirkan kata penolakan itu dari otak cantikmu, Alice." Seketika Alice menggeleng, kuat. Kilat pemberontakan menguasai sepasang mata beriris gelapnya. "Aku tidak mau menikah denganmu, Pak Tua! Tidak akan pernah!"   "Kamu pikir, kamu siapa bisa menentangku?" Balasan Levin terdengar tenang, terkendali. Tapi, aura seorang penguasa itu memang sukar untuk ditolak. Dia bisa membuat siapa pun tunduk hanya dengan menatap matanya.  Alice menggigit bibir bawahnya kuat. Dirinya tidak boleh menyerah secepat ini. "Dan apa kuasamu sampai bisa dengan seenaknya memaksaku? Aku bukan budakmu!" "Kau calon istriku, Alice. Bukan budakku. Bagian mana dari semua itu yang membuatmu tidak mengerti?" Levin masih memasang wajah datar.  Tapi, justru itu yang membuat Alice semakin frustrasi.  "Aku tidak mengenalmu, Pak. Anda tidak berhak mengatur hidup saya sesuka Anda. Lebih baik saya mati daripada harus menikah dengan Anda." ultimatum terakhir. Alice kemudian bangkit dan melesat cepat ke kamar mandi. Meninggalkan Levin terpaku sambil menatap punggungnya, dengan sorot tak terbaca.  Sedetik sebelum pintu kamar mandi tertutup, Alice bisa mendengar suara pria itu berujar, "Aku sudah menyiapkan beberapa pakaian untukmu di almari. Kau boleh memakainnya setelah mandi." *** Alice menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel. Sosok gadis bersurai cokelat balik menatapnya, dengan lingkar mata yang terlihat mengerikan. Pun dengan tatanan rambutnya yang serupa singa. Wajah itu, menyiratkan segala macam rasa frustrasi yang bercampur aduk. Otaknya berpikir keras. Berusaha menemukan cara untuk keluar dari rumah ini secepatnya. Tapi sejauh matanya memandang sekeliling ruangan, tidak ada satu pun jendela atau balkon yang bisa ia lewati untuk kabur. Satu-satunya cara hanya pintu kayu besar yang pria itu lewati untuk keluar masuk. Alice tak menyangka jika pria sialan itu sudah merencanakan penculikannya dengan begitu rapi.  Dan, mengenai ancaman bunuh dirinya tadi, tentu saja Alice hanya sekadar menggertak. Dirinya tidak sebodoh itu untuk menyia-nyiakan hidup. Alice benar-benar menghargai usaha paman dan bibi yang sudah mengurusnya selama ini. Lagipula, mendiang orangtuanya di atas sana pasti akan kecewa jika tahu Alice akan menyerah dengan hidupnya. Alice mengambil napas dalam. Menatap pantulan dirinya sekali lagi di depan cermin. Bahkan dia masih memakai kemeja tosca dan celana jeans yang ia gunakan saat kuliah kemarin. Dan sekarang baju ini sudah terasa lengket dan dan tidak nyaman. Mungkin Alice perlu mandi.  Menatap ke sekeliling, Alice menemukan sebuah lemari besar tepat di belakangnya, berwarna putih bersih dengan ganggang pintu berwarna emas. Alice membuka pintu itu hati-hati. Dan, matanya terbelalak saat melihat aneka macam dress yang tergantung di dalamnya. Begitu halus saat menyentuh kulitnya. Dan Alice berani bersumpah jika dress-dress ini masih baru...  Keinginan untuk memakai salah satu drees ini begitu kuat mendesak. Tapi, Alice kembali menekannya ke dasar jurang. Lelaki sok berkuasa itu akan semakin merasa menang jika Alice menuruti perintahnya. Dan, Alice sama sekali tidak keberatan untuk membangkang dan memakai pakaian yang ia kenakan ini lagi setelah mandi.  Seulas senyum sinis muncul di bibir Alice.  **** Setelah menghabiskan sarapannya, Alice berbaring terlentang. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Napasnya sedikit terengah sehabis berkeliling ruangan untuk mencari celah yang bisa dilaluinya untuk kabur. Alice juga tidak menemukan tas berisi buku catatan dan ponselnya.  Jika berada lebih lama lagi berada di sini, Alice yakin jika dirinya akan gila sebentar lagi. Lagi-lagi, suara ketukan membuyarkan lamunan Alice. Kali ini sosok wanita yang melangkah masuk. Rambutnya disanggul tinggi dengan beberapa uban yang tampak. Dan, dari pakaian yang dikenakannya, Alice menebak jika wanita itu adalah pelayan.  Cepat, Alice bangkit dari tidurnya. Mungkin dia bisa meminta bantuan untuk keluar dari sini... Alice menoleh ke arah pintu. Terkunci rapat dari dalam. Wanita itu sedang membereskan sisa sarapan di atas nakas. Alice bergerak mendekat ke sisi ranjang. "Bibi, tolong bantu aku keluar dari sini..." ujarnya, dengan nada setengah merengek.  Wanita itu berkedip. Rautnya menyiratkan penyesalan. "Maafkan saya Nona, saya tidak berani melanggar perintah." Alice mengembuskan napas frustrasi. "Tolonglah Bibi, aku nyaris mati di sini." Wanita itu sudah berdiri dengan nampan di tangannya. Ia mengangguk hormat, "Sekali lagi saya minta maaf, Nona. Saya harus pergi." Alice menatap punggung sang pelayan dengan pandangan kesal. Tidak kehabisan cara, dirinya kemudian mengikuti langkah wanita itu dari belakang. Sekuat mungkin mengendalikan suara derap kakinya agar tidak terdengar.  Dan, ketika pintu besar itu terbuka, Alice buru-buru menyelip di antara pintu dan tubuh wanita itu. Membuat suara nampan terjatuh dan pekikan kesakitan wanita itu terdengar. Alice menggigit bibir bawah, merasa bersalah karena membuat orang tua terjengkang. Tapi, hanya ini kesempatan satu-satunya untuk kabur. Dan Alice mau tak mau harus bersikap sedikit kejam.  Ketika berada di luar, yang Alice temukan adalah sebuah lorong yang panjang, mengingatkan Alice pada lorong apartemen milik temannya. Hanya saja, di sini cuma ada satu pintu, yaitu pintu tempatnya disekap.  Alice menelan ludah. Tidak tahu harus melangkah ke mana. Tapi, instingnya mengatakan jika Alice harus berbelok ke kiri. Tidak mau membuang waktu, Alice berlari cepat.  Hanya 20 langkah. Karena Alice sekalang meringis ngilu. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan p****t yang mendarat lebih dulu. Ia tidak sengaja menabrak ssesuatu yang keras nan tinggi.  Dan, ketika kepalanya mendongak, Alice bisa melihat Mikhail Levin sedang melayangkan sorot tajam. Dengan wajah dingin dan sikap tubuh tidak bersahabat.  Alice mendesah. Harusnya tadi dia belok kanan saja...  "Mau kabur, hm?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD