Kesepakatan

2026 Words
"Sah?" "Sah." Detik itu juga, status Shalsha berubah menjadi istri seorang Rektor di kampusnya sendiri. Menikah di kamar rumah sakit sang kakek dengan hanya keluarga Danu yang datang. "Alhamdulillah, akhirnya Mama punya mantu," Ucap wanita yang Shalsha ingat namanya adalah Isla. Dia datang memeluk menantunya. "Cantik banget, mana masih muda juga. Nanti kita rencanain buat resepsi pernikahan kalian ya." "Gak akan ada resepsi pernikahan, Ma," Ucap Danu dengan tatapan matanya yang tajam. "Danu…" Kakek Agus kembali menegur. Daritadi cucunya itu selalu saja menatap kesal pada kedua orangtuanya. "Gak usah buru-buru, Is. Biarin mereka tinggal satu rumah dulu, jalani peran masing-masing dulu. Nanti resepsinya nyusul, sekalian nunggu Sobar sembuh dulu." Kakek Sobar yang masih tidak bisa beranjak dari ranjang itu mengangguk menyetujui. "Iya, nanti aja. Kalian sekarang lebih mengenal aja dulu. Dengan posisi kalian yang udah menikah, akan lebih mudah mengenali satu sama lain." "Yaudah deh." Mama Isla menyerah. "Gak papa gak ada resepsi dulu. Yang penting sekarang Mama punya mantu, Mama seneng banget. Kapan-kapan kita jalan bareng ya. Oh iya, gimana kalau kamu tinggal sama Mama aja? Biar Danu yang pindahan." "Nggak, dia juga jadi asdos di Universitas yang sama dengan Danu. Jadi mending di apartemen biar lebih deket." Danu kembali berucap. "Eh iya? Mantu Mama juga calon dosen? Kirain kuliah S2 aja terus belum kerja. Hebat banget. Mana di kampus yang sama kayak Danu ya? ihh, jodoh, biar kalau makan siang bisa barengan.” Danu sudah jengah dan memutar bola matanya malas. Mama Isla langsung menempel pada Shalsha dan membicarakan apa yang akan mereka lakukan dimasa mendatang. Karena Danu tidak mau mendapatkan pandangan buruk, dia menyetujui kalau hari ini juga Shalsha akan pindah rumah ke apartemennya. Karena Kakeknya masih harus tetap berada di rumah sakit, jadi rumah itu dibiarkan kosong saja. Dengan alasan besok ada rapat, Danu pamitan. Shalsha kesal sebenarnya, dia masih ingin bersama dengan kakeknya. “Udah sana pulang sama suami kamu. dia bakalan jagain kamu gantiin Kakek.” “Kok ngomongnya gitu? Kayak yang mau perpisahan ih.” “Bukan gitu.” Kakek Sobar tertawa. “Sana ambil barang-barang kamu dari rumah ya. ikut sama suami.” “Gak bisa besok aja, Kek?” “Terserah suami kamu.” Berat rasanya meninggalkan rumah yang menjadi tempat Shalsha tumbuh sejak kecil. Sepanjang perjalanan, Shalsha banyak diam begitupun dengan Danu. Ketika pernikahan berlangsung, Shalsha hanya memakai kebaya yang dibawakan mertuanya, dengan Danu yang memakai jas. Sampai sekarang juga mereka belum berganti pakaian. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Di depan sana belok kanan.” “Mobil masuk gak?” “Masuk kok.” membalas tidak kalah ketus. Nada Danu terdengar tidak nyaman sekali. “Bawa baju doang, gak usah bawa perabotan.” “Iya.” Memasukan pakaian ke dalam koper. Sekarang Shalsha hanya ingin sang kakek sembuh dan menuruti semua perintahnya. Kembali lagi ke mobil dengan satu koper besar. “Tuh orang gak punya nurani, gak ada niatan bantu gituh?” Keduanya bagaikan air dan minyak, sama-sama keras kepala dan diam sepanjang perjalanan. Sampai di apartemen, Shalsha harus menyeret kopernya sendiri. sebuah apartemen dengan empat kamar tidur dan pemandangan yang sangat indah. “Woah, gaji rector kayaknya gede banget ya?” gumam Shalsha. “Kamu tidur dikamar sana,” ucapnya pada Danu menunjuk pintu. “Dan jangan ganggu saya.” “Gak akan ada yang mau kita omongin dulu, Pak?” “Pengen banget kamu ngomong sama saya?” “Bukan gitu maksudnya. Kita baru nikah dan gak tahu langkah kedepannya mau gim──” “Besok aja lagi. Saya banyak bertemu orang aneh hari ini.” “Maksud bapak? Saya orang anehnya gitu?” “Salah satunya,” jawab Danu masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi. dia lelah dan ingin tidur. status barunya sebagai suami orang lain benar-benar membebani. *** Pagi hari yang cerah, Danu bangun dengan keadaan perut lapar. Semalam dia tidak makan malam karena terlalu focus pada pemikirannya. setelah mandi, Danu bersiap ke kampus dan mendapati Shalsha yang sedang memakan roti disana. Mendekat dan melihat meja makan. “Mana sarapan buat saya?” “Bapak minta dibuatin sarapan?” “Kamu makan bahan makanan saya ‘kan? gak tau malu kalau gak bikinin saya makanan.” “Siapa bilang ini punya bapak? Ini punya saya, saya bawa dari rumah. Cuma minta air doang kok.” Shalsha menyipitkan matanya. “Mau dibikinin sarapan?” “Gak usah.” “Saya bikinin aja. Bapak duduk sekalian kita harus ngomong ‘kan?” Shalsha melangkah membuka kulkas. Waw, kulkas kosong dan hanya ada bahan sarapan saja? tidak ada sayuran sama sekali. “Izin pake dapur ya, Pak.” Membuatkan omelet dan roti panggang serta segelas kopi kemudian menyajikannya pada Danu. “Silahkan, Pak. Saya hebat kok dalam memasak.” Melihat raut wajah Danu yang datar, berarti tidak ada masalah dengan masakannya. “Pak, saya bisa buatin bapak makanan tiap waktu, bisa acting juga depan orangtua kalau mereka datang kesini, pokoknya saya bisa jadi partner yang baik kok. didepan keluarga, kita bisa jadi pasangan yang harmonis.” Kening Danu berkerut. “Saya gak tertarik sama kamu.” “Ya saya sadar dan tahu, makannya saya bilang partner buat pura-pura bahagia jadi pasangan yang mereka mau. Lagian masakan saya gak terlalu buruk ‘kan, Pak? Saya bisa masak aneka ragam, seenggaknya saya guna gituloh, gak numpang-numpang amat di apartemen ini.” Memang benar, makanannya enak. “Bersih-bersih?” “Aman, kerjaan rumah tangga saya yang handle sampai cuci baju juga.” Danu paham. “Apa yang kamu mau?” “Nah, saya kan kerja udah kayak pembantu bapak tapi dalam status istri ya, jadinya saya mau bapak gaji saya. Kasih saya nafkah sesuai nominal yang saya mau.” Shalsha tidak bodoh, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membiayai sekolahnya, kehidupan sehari-harinya juga kakeknya. “Kalau kakek kamu, sudah saya handle sejak kemarin. semua tagihannya dimasa lalu juga udah saya lunasi.” Shalsha menelan salivanya kasar. “Jadi… bapak mau saya kerja tanpa imbalan gitu?” “Saya tetep akan kasih kamu uang bulanan sesuai yang kamu mau. Saya gak masalah dengan hal itu. Cuma saya mau tekankan kalau saya yang lebih dirugikan disini, artinya kamu harus nurut sama saya.” Oh, jadi pria ini ingin memperlihatkan sisi mendominasinya? “Saya gak mau pernikahan ini diketahui banyak orang, apalagi dikampus.” “Tenang, Pak. Kalau diluar, saya akan pura-pura gak kenal sama bapak.” “Saya juga gak mau kamu mencampuri urusan saya. Apapun itu.” “Gak masalah, Pak. Saya juga gak mau tuh diganggu sama kamu.” “Saya mau citra saya didepan keluarga tetap bagus.” “Aman, nanti saya bilang kalau bapak itu suami yang penyayang.” Shalsha menatap dalam pada Danu yang masih mengunyah. “Jadi…., boleh gak kalau saya sebutin nominalnya berapa?” “Turuti semua perintah saya.” “Selama gak aneh-aneh dan alasan perintahnya jelas, saya gak masalah juga. Lagian kan udah fiks gak akan urus urusan masing-masing, Pak. Saya udah layanin bapak kayak pembokat, masa bapak mau ngatur hidup saya juga. Kan kesepakatannya gak gitu. Bukan karena bapak ngasih saya duit, jadinya hidup saya jadi milik bapak. Gak gitu ya, hidup saya tetep jadi milik saya. Ada batasan disini, masa saya diperlakukan kayak b***k sih?” Mendengarnya saja membuat Danu sakit kepala. Malas jika harus berdebat. “Oke, sebutin berapa yang kamu mau.” “Lima belas juta sebulan?” “Termasuk uang bulanan bahan makanan?” “Itu…. lima juta deh. Terus…” “Sebutin totalnya aja.” “30 juta deh, Pak,” cicitnya pelan. “Oke, mana nomor rekeningnya?” Shalsha tersenyum menahan rasa senang. Tidak akan mudah untuk berpisah, masa iya baru saja menikah. Apalagi Shalsha khawatir itu akan membuat kakeknya malah tambah sakit. Jadi Shalsha mencari kesempatan saja. “Dan lagi, perhatikan kalau kamu lagi jalan.” Wah, masih ingat saja. “Iya, Pak. Nanti siang mau makan apa, Pak?” “Saya makan dikampus, gak usah sok kenal kalau lagi disana.” “Dih, siapa juga yang ma… hehehe, iya, pak. Aman kok.” mengacungkan jempolnya. **** Sesuai keinginan Danu, hari-hari selanjutnya Shalsha mengemban perannya menjadi istri yang baik dengan menyiapkan semua kebutuhan Danu dimulai dari sarapan hingga makan malam. kalau diluar apartemen, mereka akan bertingkah layaknya orang yang tidak saling kenal. Tidak pernah menyapa dan saling mengabaikan sebelum masuk ke dalam apartemen. Untungnya juga Mama Isla dan sang suami harus ke luar Negara untuk menjenguk anak perempuannya yang sedang kuliah. jadi tidak ada gangguan untuk Danu dan Shalsha, mereka tetap diwilayan mereka masing-masing. Karena ini hari sabtu, Shalsha harus mengajar kelas karyawan di sore hari. Setelahnya dia pergi ke ruangan Ibu Hj.Ukilah untuk menyimpan absen. Begitu keluar dari ruangan itu, Shalsha hampir bertabrakan dengan Danu yang juga baru keluar dari ruangannya. Ya, walaupun Danu itu rector, tapi dia masih memiliki ruangan sebagai dosen di FISIP. “Pak,” sapa Shalsha. “Jauh-jauh kamu,” ucap Danu memicingkan mata dan melangkah lebih dulu. “Dih, emang gue mau ngapain? Makan dia? Kagak ya, pede banget.” Mendumal dibelakang Danu. Pria itu cukup paham kalau wanita ini memiliki sifat yang ketus, cerewed dan juga tidak mau kalah. Sampai satu lagi hal yang baru Danu ketahui, ternyata Shalsha adalah primadona dikalangan para dosen pria disini. Sampai Danu menyipitkan mata ketika mendengar mereka memuji Shalsha yang baru saja datang. “Ya ampun, Ibu Shalsha cantik sekali, pantesan aja kelas karyawan pada betah diajar sama asdosnya bu Ukilah ini.” Shalsha hanya mampu tersenyum mendengarnya. Sampai sang ketua prodi melihat kedatangan Danu, dan langsung merubah ekspresi wajahnya. “Pak Danu, saya pikir bapak gak akan datang. Mari masuk, Pak.” Oh iya, akhir pekan ini ada rapat yang diadakan oleh Dekan FISIP terkait pembuatan jurnal. Mereka sampai kaget kalau ada Pak Rektor yang ikut gabung dalam rapat. Biasanya yang mewakilinya adalah sang asisten dosen. “Pak Rektor, kenapa tidak bilang mau gabung?” “Harusnya tidak kaget ya, Pak. Kan saya juga masih bagian dari tenaga pengajar FISIP. Jabatan structural gak menjadikan saya mustahil ikut rapat.” Padahal, Danu sedang tidak ada kerjaan saja dan ikut bergabung disana. Rapat dipimpin oleh Dekan FISIP, Shalsha juga ada didalamnya. Danu mendengar bagaimana perempuan yang bestatus sebagai istrinya itu mengutarakan pendapat mewakili dosen Ibu Hj.Ukilah. penyampaiannya begitu baik dan diterima oleh banyak orang dengan penuh kekaguman. Bahkan Danu sendiri mendenga bagaimana dosen yang sudah bersuami berbisik pada dosen lain, “Duh, primadona inimah. Jadi semangat kerja kalau lihat yang cantik manis kayak Bu Shalsha.” “Betul, Pak. Hehehe.” Danu sampai memicingkan mata menatap Shalsha. Apa yang membuat mereka kagum? Ketika Danu melihatnya, hal yang terlintas dibenaknya adalah Shalsha yang memarahinya beberapa hari terakhir ini. “Pak, makan malamnya dimakan nanti sakit! Mubadzir juga! Saya udah bikin ih! Mamanya Bapak kirim pesan ke saya buat pastiin bapak sehat. Saya gak mau mendzolimi beliau dengan berbohong. Makan cepetan.” “Jangan rewel dong, Pak. Sayur ini gak seburuk itu? saya bikinnya pas ketiduran emang, tapi rasanya gak seburuk itu.” “Pak? Kenapa gak bilang makan diluar? Kan saya gak perlu masak banyak.” Kemudian beberapa hal lainnya seperti: “Pak, kalau handuk bekas langsung dijemur. Jangan disimpen disini. Kebiasain dong, Pak. Saya gak selamanya ngasuh bapak loh.” “Kata Mama Isla harus banyak minum jus ini biar sehat.” “Pak, sepatunya jangan ini ya? lupa belum dicuci. Saya lupa, hehehe. Gantinya nanti saya yang masak banyak dan enak. Bapak mau apa?” Ada banyak perselisihan yang membuat Danu cukup pusing. Dia memang terbantu dengan keberadaan Shalsha. Tapi sekalinya perempuan itu membuka mulut, kepala Danu langsung berdenyut. Begitu cerewed sampai Danu berharap bisa menjahit bibir istrinya itu. apalagi sekarang sedang bicara mengutarakan pendapat, bibirnya terus bergerak. Mata Danu tetap focus pada hal itu. Herannya lagi, kenapa orang-orang malah menganguminya? “Pak Danu, menurut bapak bagaimana ya?” “Hah? Gimana? Maaf?” “Waduh, Pak rector saja sampai terpesona ya dengan Ibu Shalsha,” goda salah satu ketua prodi Ilmu Pemerintahan. “Dia asisten dosen, Pak. Semoga bisa jadi dosen tetap disini ya, dia memiliki potensi dan berbakat kok. tidak aneh kalau banyak pria yang kagum padanya.” “Saya enggak,” ucap Danu menggelengkan. Menatap Shalsha dengan mata melotot menandakan kalau dia tidak terpesona pada perempuan cerewed itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD