2

1580 Words
Aku menggeliatkan tubuh, merentangkan tangan sambil menguap lebar, lalu perlahan membuka mata yang masih sangat mengantuk. Nyaris aku melompat menyambar handuk jika tak segera ingat sekarang masih hari yang sama ketika lelaki itu datang. Aku beranjak bangkit, menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul 4 sore kemudian menyaruk kaki keluar kamar. “Mak, Paak,” panggilku sambil menyambar jilbab segi empat di lengan kursi, melipatnya membentuk segitiga kemudian mengenakannya asal-asalan. Kulongokkan kepala ke kamar mereka. Tidak ada siapa-siapa. Prak! Aku melompat ke belakang dengan tangan refleks menyilang di d**a. Pasti, yang barusan membanting sesuatu adalah Mamak. Aldri mungkin sudah menceritakan semuanya. Kutarik napas dalam, berpikir bagaimana caranya menjelaskan kejadian tadi pada Mamak. Kupejamkan mata sejenak, lalu dengan d**a bergemuruh hebat mendorong pintu yang memisahkan ruang TV dan dapur. “Aku mengaku salah, Mak," kataku lirih sambil menunduk, tak berani menatap Mamak. "Kukira, Mamak bermaksud menjodohkanku, jadi masalah jadi ... jadi semakin ....” Perkataanku terhenti karena aku mendadak bingung mau berkata apa lagi. Mamak, pasti seperti biasa tak mau tahu. Prak! Aku terlonjak ke belakang dengan jantung mengentak-entak. Tubuhku menegang menanti ocehan Mamak. “Miiaaaung.” “Mak ....” Kuangkat wajah. Ternyata, tak ada Mamak di dapur. Hanya ada seekor kucing berbulu hitam legam. Hewan kesayangan nabi Muhammad itu tengah melahap kepala ikan nila di atas meja. Di bawah, pecahan piring berserak mengotori lantai semen abu-abu pekat. Jengkel, kuraih sapu lalu mengacungkan ke arah si kucing yang langsung lari keluar. Segera kubersihkan pecahan piring serta tulang-tulang ikan. Mamak dan Bapak mungkin tengah bertandang ke rumah tetangga—itu membuatku sedikit tenang. Setidaknya, aku tak langsung dicecar pertanyaan-pertanyaan yang pastinya membosankan. Barangkali, begini. “Oalah, Nduuuk, hanya disuruh temui anak teman Mamak saja kok buat ulah too, too. Gae isin—buat malu. Opo to yang kamu pikirkan, Nduk? Kok, bisa-bisanya, berkata tanpa memikirkannya lebih dulu?” Aku menarik napas dalam. Jika Mamak tanya seperti itu, bagaimana cara menjawabnya? Tak mungkin, kan, lagi-lagi mengatakan 'karena aku hanya mencintai Mas Yus, Mak.' Mamak, pasti akan semakin murka mengingat ia hanya ingin sang anak menemui Aldri. Hanya menemui. Bodohnya, tadi siang aku malah nyerocos tak berkesudahan. Aku mendesah. Andai saja aku dapat menjaga sikap, pasti tak seperti ini jadinya. Aku mengembuskan napas. Sudahlah. Urusan Mamak pikirkan nanti saja. Lebih baik, sekarang segera beberes. Maka, dengan gesit kusapu ruang tamu, membuat debu langsung beterbangan ke udara. Aromanya yang sengak membuat tangan kiriku membekap hidung. Walaupun jendela selalu ditutup rapat agar debu tak merangsek ke dalam rumah, namun debu tetap saja masuk lewat kisi-kisi pintu dan jendela. Kemarau begini, di Mesuji memang selalu begini. Di mana-mana, ada debu. Setiap barang yang dicumbui debu, berbau sengak, membuat napas terasa sesak. Usai membersihkan ruang tamu, aku pindah ke ruang tengah, tertegun saat melihat selembar kertas di atas televisi. Kuraih cepat. Tulisan Mamak. (Mamak dan bapakmu milih minggat, Nduuk. Kami tak menyangka kamu bisa sehina itu. Jangan cari kami.) Tubuhku langsung menegang. Kertas dalam genggamanku bergetar. Seraut wajah dengan senyumnya yang manis, tiba-tiba merasuk ke dalam benak. Ini terjadi gara-gara lelaki itu. Pasti, ia berkoar-koar tentang semua yang kuucapkan pada Mamak. Tanpa membuang waktu lagi, lekas kukeluarkan motor, menungganginya membelah jalanan berdebu. Saking melimpahnya debu, nyaris semua tumbuhan di bibir halaman rumah tetangga menyerupai pohon cokelat s**u. Rumput-rumput mengering. Sebagian bunga terkulai layu. “Ora ngerti—tidak tahu!” “Ora ngerti!” “Ora ngerti, lho." Begitu jawaban saat kutanya pada para tetangga apa mereka melihat orangtuaku. Kerabat dekat Mamak juga tak tahu ke mana mereka pergi. Kutarik napas panjang berusaha tenang meski perasaanku ketar-ketir. Bagaimana jika mereka memilih bunuh diri karena begitu malu? Sementara minggat dari kampung, sepertinya tak mungkin karena semua kerabat Mamak ada di sini. Bapak? Rasa takut menyeruak ke dalam dadaku. Bagaimana kalau mereka pergi ke kampung halaman Bapak di Solo? Daripada pikiran semakin tak tenteram, bergegas kupacu motor menuju terminal. Semua orang yang ada di sana langsung menatapku aneh. Wajar, karena selama ini, memang tak ada mobil yang berangkat sore. Berangkatnya, selalu pagi-pagi sekali. Kutinggalkan terminal dan duduk termenung di motor. Aldri. Iya. Dia. Semua ini terjadi gara-gara dia. Aku harus menemuinya meminta tanggung jawab. Untungnya, ingatanku tidak buruk. Aku ingat jelas kata ‘Pasar Wonosari’ yang tadi diucapkannya dan ia adalah dokter. Jadi, aku bisa dengan mudah menemukannya setelah sebelumnya bertanya pada seorang bapak. Kuparkir kendaraan tak jauh dari plang berwarna merah terang dengan huruf kapital besar-besar, ‘KLINIK DR BAIK SEKALI’. Aku tak bisa menahan senyum saat membacanya. Sungguh lebay. Aku melangkah perlahan dengan pandangan lurus ke depan. Klinik yang dimaksud adalah sebuah rumah besar nan indah untuk ukuran rumah di desa Wonosari, Mesuji, Lampung. Di pinggir halamannya yang luas, tumbuh beberapa pohon karet besar serta aneka bunga dalam pot ukuran sedang. Air mancur di tengah halaman yang dikelilingi hijau rerumputan tengah memercik ke udara. Ada pula yang memercik ke samping, terus bergerak membasahi aneka bunga. Aku terus menapaki jalan kecil dari pecahan bata merah yang membentang di tengah halaman, mengarah ke klinik. Aku berhenti melangkah saat seorang perempuan muda berjilbab putih menyapa ramah. Di belakangkangnya, beberapa pasien tengah berbincang di kursi panjang. “Sore?” “Sore juga,” sahutku tak kalah ramah, mengangguk kecil, lalu melangkah mendekati pintu dengan tulisan sangat besar; DR BAIK SEKALI. Aku lagi-lagi tersenyum geli. “Mbak harus antre dulu.” “Aku gak berobat, kok. Aku hanya ingin menemui Aldri sebentar,” jawabku tanpa basa-basi. “Sudah punya janji?” Suara si mbak ramah. Bibirnya tersenyum kecil sementara matanya terus menatapku lekat. Aku balas tersenyum. Menggerakkan bibir seakan hendak menjawab, tapi dengan cekatan berbalik lantas mendorong pintu. Tak kuhiraukan teriakan si mbak yang menyuruh sabar menunggu antrean. “Astafghfirullaah!” Seorang wanita hamil memekik tertahan saat melihat kemunculanku. Ia duduk di hadapan Aldri, menatapku dengan wajah terkejut. Satu tangan bergerak-gerak di d**a, sementara tangan satunya mengusap perutnya yang besar. Saat menoleh, Aldri langsung menggelengkan kepala. Tatapan terkejut dan tak suka terpancar jelas di manik matanya. Aku bertingkah cuek dengan memperhatikan almari di belakang Aldri yang disesaki buku-buku tebal serta beberapa botol obat warna putih. Tanganku perlahan bergerak membekap hidung karena tak tahan dengan bau obat dan pendingin ruangan yang begitu menyengat. “Aldri, kamu harus bertanggung jawab! Gara-gara kamu, Bapak dan ibuku pergi dari rumah!” kataku setelah cukup lama bertingkah konyol. Aldri menulis sesuatu di secarik kertas dan mengangsurkan pada sang ibu. Wanita itu segera bangkit, lewat di sampingku dengan pandangan kesal serta bibir maju ke depan. Sungguh kekanak-kanakan sekali dia. “Apa Anda mau periksa juga?” Aldri menatapku. “silakan berbaring,” lanjutnya. Ia berdiri, tangannya menggenggam alat seperti telepon genggam. Entah apa namanya. “Jangan pura-pura bodoh, deh!” ketusku, sebisa mungkin menghindari tatapan dinginnya. “Saya tidak pura-pura bodoh,” jawab Aldri menggunakan bahasa formal. Kusentak napas keras. “Sudahlah, akuin aja, pasti kamu udah tau kalau aku gak hamil, kan’? Ibuku, pasti sudah cerita bahwa aku gak pernah keluar malam, aku gak pernah keluar selain untuk mengajar, ikut menderes, ikut mburuh nanam padi, ngungsi mencuci, dan ....” “Maksud Anda?” Aldri mengernyit. Sepasang alisnya yang tebal hitam nyaris bertaut. Aku melangkah mendekat. “Maksudku ... jelas sekali, a-kuuu, bu-kan, wa-nita, murahan. Gak mungkin aku hamil sedangkan aku masih sendiri!” “Tapi, tadi siang, bukannya Anda pendarahan?” Tatapan Aldri menyiratkan bahwa ia sedang menyangsikan penjelasanku. Aku kembali melangkah sampai jarak kami menjadi sangat dekat. Kutatap Aldri, kemudian berkata sambil menahan terjangan rasa malu. “Mens, menstruasi, aku sedang ... haid.” “A ... a-pa?” Aldri tercengang, tampak tidak percaya. Kepalanya menggeleng pelan. Lalu seolah tersadar, ia tertawa terpingkal-pingkal sampai membungkuk dengan kedua tangan memegangi perut. Si mbak yang berdiri di ambang pintu juga ikut tertawa. Aldri menatapnya lalu mengibaskan tangan, si mbak langsung melenggang pergi. Aldri kembali menatapku masih sambil tertawa, membuat dadaku bergemuruh menahan kesal. Sekaligus malu. “Sudahlah, jangan mengolokku lagi!” “Aku minta maaf,” ujarnya. Tatapannya yang tadi tak bersahabat, kini melembut. “Minta maaflah setelah menemukan orangtuaku! Gara-gara kamu, mereka pergi dari rumah, tau!” Aku menatapnya galak. Dalam hati aku menerka-nerka. Tadi, ia bersikap tak mengenakkan karena mengira aku w**************n, atau karena ia berpikir tak bisa mendekatiku? Aku menatap Aldri dan mengembuskan napas kuat. Hening. Karena Aldri hanya membisu, aku memilih membalikkan badan dan melangkah pergi. Baru saja langkahku tiba di teras rumahnya yang ramai, tiba-tiba ia berseru sambil berjalan mendekat. “Berikan aku nomer HP-mu!” Apa telingaku tak salah dengar? Nomer HP? Apa karena aku tak hamil, ia kembali ingin mendekatiku? Ya ampuun. Selain bersikap baik kalau ada maunya saja, ternyata, ia juga tak punya rasa malu. “Nomer HP-mu.” Ulangnya. Di belakangnya, si mbak dan beberapa pasien terus memperhatikan kami. “Dengar,” kataku, menatapnya tak senang. “Meskipun aku gak hamil, aku tetap gak mau dekat denganmu. Ibuku ternyata gak menjodohkan kita. Itu berarti, kita gak perlu bertemu la—“ Aldri berdeham. Lalu menepuk dahinya. “Aku akan bantu kamu mencari orangtuamu, Nona. Maka, berikan nomer HP-mu agar aku bisa menghubungimu jika sudah menemukan mereka,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. Sebagian orang tersenyum kecil. Bahkan, ada yang tanpa perasaan tertawa terpingkal-pingkal seperti si mbak. Konyol sekali, sih, mereka. Apanya yang lucu, coba? Sungguh menyebalkan. “Atau ... apa aku harus langsung ke rumahmu begitu tahu keberadaan orangtuamu?” Aku menyentak napas. Lalu mendikte nomer HP dengan wajah memanas karena malu. Si mbak ikut mencatat. Ingin sekali aku protes. Namun belum sempat melakukannya, si mbak sudah berjalan menjauh yang segera disusul oleh Aldri. Aku langsung pergi daripada orang-orang di kursi tunggu semakin memandangku aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD