CHAPTER 3 – DESTINED

1477 Words
"Sejauh apapun kau berlari, jika takdir menginginkan kau kembali, kau bisa apa?"   *****               Netra abu-abu itu ... Jessy sangat mengenalnya. Mata yang dulunya selalu menatap dingin ke arahnya, mengeluarkan tatapan penuh intimidasi yang membuat nyali wanita itu menciut seketika, mata kelam yang terlihat gelap dan menyeramkan. Tapi, hati kecil Jessy tak bisa memungkiri rasa rindu yang menyeruak dalam sudut paling tepi.             Pria situ masih diam, menatap wajah Jessy dengan raut yang sulit diartikan. Perlahan-lahan wajahnya semakin mendekat, kini badan keduanya benar-benar menempel satu sama lain, bahkan Jessy bisa merasakan harum mint yang menguar dari hembusan napas hangat pria itu.             Tiba-tiba saja dia semakin memajukan wajah dan Jessy tak sempat menolak saat bibir panas itu menempel di atas bibirnya. Tubuh Jessy menegang dengan lutut gemetar hebat. Pria itu memanfaatkan kesempatan dengan baik, sebelum kesadaran Jessy kembali, dia sudah lebih dulu melumat bibir manis itu penuh gairah, bermain dengan sapuan kasar. Jessy merasa ada amarah dari dalam ciuman pria itu. Tapi kenapa?             "Liam." Akhirnya Jessy bisa menyebutkan nama pria itu meski dengan suara bergetar hebat.             Pria bernama Liam itu melepas ciumannya, lalu menatap wanita di hadapannya cukup lama, lalu dia berdiri tegak, melepaskan kurungan pada tubuh Jessy dan berjalan santai meninggalkan wanita yang masih syok karena serangan sialan yang tiba-tiba diberikannya.             Tanpa sadar, cairan bening mengalir dari mata melewati kedua pipi wanita malang itu, ada perasaan takut yang menyusup di hati, perasaan takut akan kembali jatuh, kembali jatuh pada pesona seorang pria b******k bernama Liam Peterson! ***               "Jessy ... wake up!" Vinze menggoyang-goyangkan tubuh wanita yang masih bergelung di dalam selimut tebal kesayangannya. Sudah lebih dari lima kali ia bolak-balik ke kamar ini hanya untuk membangunkan sahabatnya itu, tapi hasilnya nihil.             "Hmmm ...." Si pemilik kamar hanya bergumam malas lalu melanjutkan acara tidur cantiknya.             "Apa yang terjadi? Kenapa kau jadi pemalas sekali?" Vinze merengut sambil berkacak pinggang, tapi tidak ada sahutan dari dalam selimut.             "Okay, sekarang pilihlah, bangun sekarang atau aku akan memanggil Evan untuk menanganimu!" ancam Vinze akhirnya.             "Arrgh ... Kau ini menyebalkan sekali, Ze," dengus Jessy dari balik selimut yang masih menggulung tubuh mungilnya. Mendengar nama Evan cukup untuk membuat Jessy bangkit dari tidurnya, dia terlalu malas mendengar pria itu mengoceh memberi nasehat layaknya tetua kerajaan kuno.             "Kau yang menyebalkan! Pulang dengan keadaan menangis, matamu sembab dan kau terliht seperti zombie, tidak mau makan, tidak mau minum, bahkan berbicara pun tidak mau, lalu kau mengurung diri sendiri di kamar sampai siang hari begini! Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya kami? Jika memang ada masalah, harusnya beritahu kami! Kau anggap apa kami ini, ha?" Vinze menatap sahabatnya itu tajam, bukannya dia kesal tanpa alasan, tingkah Jessy kali ini benar-benar berbeda dari biasanya.             "Maaf ...." Jessy menatap sendu ke arah Vinze, sekarang posisi mereka berhadapan. Wanita itu duduk di kasur dengan melipat kedua kakinya.             Vinze menghembuskan napas sambil memijat pelipisnya. "Jika kau tidak ingin bercerita, setidaknya jangan membuat kami khawatir dengan menyiksa dirimu sendiri," ucap wanita itu lembut.             "Ze, maaf aku tidak bermaksud membuat kalian khawatir, aku juga tidak bermaksud menutupi masalahku, hanya saja aku ... aku butuh waktu untuk menangis sepuasku." Jessy meremas jari tangannya, dia benar-benar menyayangi sahabat-sahabatnya, ia tidak ingin mereka salah mengartikan sikapnya kemarin.             Vinze berjalan mendekat ke kasur lalu duduk dan memeluk tubuh lemah Jessy. "Dengarkan aku baik-baik Jess, kami sangat menyayangimu, kau sudah seperti adik bagiku, aku tidak main-main dengan ini." Ia memberi jeda sejenak dan menghirup napas dalam-dalam.  "Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi aku ... maksudku kami akan selalu setia di sini bersamamu, mungkin kami tidak bisa membantu apa-apa, tapi kami akan selalu memelukmu seperti ini, Jess, menguatkanmu."             "Ah, aku jadi terharu." Itu suara Evan, sebenarnya ia dan Dawa sudah sedari tadi ingin masuk ke dalam, tetapi berhubung mereka tidak ingin merusak suasana, jadilah mereka hanya berdiri di ambang pintu tanpa mau mengganggu.             "Kemarilah, peluk aku," ucap Jessy manja.             "Ah, dasar anak kecil." Evan mencibir, tapi tetap berjalan ke arah kasur diikuti Dawa, lalu mereka sama-sama memeluk wanita yang sejak kemarin mengurung diri sendiri di kamarnya. Keempatnya berpelukan bersama.             "Terimakasih," ucap Jessy tulus, ia mengeratkan pelukan sambil memejamkan mata, seketika itu juga sekelebat bayangan masa lalu menghantam ingatannya.   Flashback               "Apa kau juga menuduhku?" tanya seorang gadis berambut coklat tua, matanya sudah berkaca-kaca.             "Aku bukan menuduh, itu fakta," balas gadis di hadapannya santai.             "Kau sahabatku, Key, harusnya kau percaya padaku, bukan seperti ini!"             "Stop, Hera! Sahabat bukan berarti aku menelan mentah-mentah kesalahanmu, lagipula kau pikir aku mau bersahabat dengan seorang pembunuh?"             Gadis yang dipanggil Hera tersentak, tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Pembunuh?  Ia disebut seorang pembunuh oleh sahabatnya sendiri? Menyedihkan!             "Sebaiknya kau tidak usah menemui kami lagi, kau hanya membuat kami malu, bahkan Ken sangat membencimu sekarang," lanjut key lagi.             "Kukira kalian benar-benar sahabatku, tapi ternyata kalian semua fake!" Hera mengucapkan kalimat penuh penekanan, setelah itu ia bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan gadis bernama Key itu sendirian, dalam hati ia berjanji tidak akan menemui mereka lagi sesuai permintaan mereka. Bahkan jika Tuhan mempertemukan mereka kembali ia akan berpura-pura tidak mengenali mereka. Flashback off               Mengingat kejadian itu tak terasa air mata Jessy kembali mengalir, bukan sedih saja yang ia rasakan, tapi perasaan takut yang mendominasi, takut bahwa sahabat dalam pelukannya ini melakukan hal yang sama dalam bayangannya tadi.             "Berjanjilah satu hal, berjanjilah apapun yang terjadi kalian akan tetap di sampingku, mempercayaiku dan memelukku seperti ini," pintanya lembut.             "I promise, Jess." Dawa mengagguk kuat sebagai jawabannya.             "Aku janji,” ucap Vinze seraya mengeratkan pelukan.             "Aku mungkin tidak akan bisa terus di sampingmu, juga tidak bisa selalu memelukmu seperti ini. Tapi percayalah, kau orang yang paling kupercayai di dunia ini, Jess, aku tidak akan bisa selalu di sampingmu karena aku akan maju ke depan untuk menghancurkan orang-orang yang ingin melukaimu, aku janji untuk itu, Princess." Itu adalah suara Evan.             "Pantas saja banyak wanita bertekuk lutut di bawah kakimu, ternyata kau pintar berkata-kata manis seperti ini!" Dawa mencibir sambil melepas pelukan mereka.             Jessy tertawa ringan melihat wajah Evan yang sudah ditekuk masam, tanda ia kesal. "Terimakasih Evan, kau yang terbaik!" ucapnya penuh ketulusan. Seketika itu senyum sumringah kembali terpancar di wajah pria itu.             "Baiklah, mari kita makan siang, Dawa sudah masak makanan kesukaanmu. Kau belum makan sedari pagi ‘kan?" Vinze turun dari kasur, berdiri lalu menarik Evan untuk keluar dari kamar Jessy.             "Mandilah, setelah itu kita makan bersama. Ini hari minggu, bersemangatlah!" Dawa tersenyum sambil mengepalkan tangannya ke udara tanda ia memberikan semangat pada Jessy.             "Thank you, Wa," ucap Jessy, setelah Dawa pergi ia bergegas ke kamar mandi, tidak ingin membuat sahabatnya kembali khawatir dengan tingkah konyolnya kemarin hanya karena pria sialan itu!  Ah, mengingat tentang pria itu membuat kepalanya kembali pusing. Benar-benar sialan! ***             Seorang pria baru saja keluar dari kamar mandi hotel mewah yang ditempatinya semalam, ia tengah memasang kancing pada kemejanya. Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang wanita masih tertidur pulas tanpa sehelai benang di atas kasur berukuran king size.             Pria itu berjalan ke arah kasur tanpa melirik ssedikit pun wanita itu, lalu ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan melemparkannya ke atas kasur, ia menatap nanar kearah uang yang telah di lemparnya, entah apa yang dipikirkan oleh otak cerdas brengseknya itu.             "Oh, Liam Sayang, kau sudah bangun, Honey?" Wanita itu menguap dengan gerakan anggun, lalu bangkit dari kasur dengan gerakan s*****l, tanpa malu-malu ia berjalan ke arah Liam, berniat menggoda.             Sementara pria itu hanya menatapnya datar, tanpa repot-repot menyambut uluran tangan wanita yang dipakainya semalam. "Apa itu kurang?" tanyanya, lalu kembali merogoh saku dan mengeluarkan lembaran uang yang kemudian ia lemparkan lagi ke kaki wanita itu. Setelahnya, dia melangkah ke pintu keluar, meninggalkan wanita itu yang merengek ingin ia kembali.             Begitulah kehidupan seorang Liam Peterson  empat tahun belakangan ini. Wanita dan minuman adalah sesuatu yang sudah biasa untuknya. Ia tak merasa bersalah sama sekali, toh wanita-wanita itu yang dating menawarkan diri dengan menggoda dan bertekuk lutut di kakinya untuk ditiduri.             ‘Mereka hanya mengharapkan uangku, bahkan rela menjual diri untuk mendapatkannya, mereka menciptakan diri untuk dinikmati.’ Itulah yang ada di pikiran pria berambuta tembaga itu .             ‘Bahkan gadis itu juga melakukannya, dia sudah punya aku, tapi kenapa begitu serakah dan menjerat pria lain ke pelukannya? Bukankah semua wanita sama saja?  Sama-sama mata duitan?’ Liam memejamkan mata saat mengingat fakta itu lagi. Ia berjalan  cepat menuju parkiran dan masuk ke dalam Lamborghini miliknya. Pikirannya kacau, ia menjalankan mobilnya perlahan. Kilat kejadian semalam melintas cepat di kepalanya, ternyata wanita itu tak juga berubah, selalu menjerat pria sesuka hatinya. Liam mencengkram kuat kemudi sampai jari tangannya memutih, kata-kata manis yang dilontarkam sepasang kekasih itu benar-benar membuat otaknya memanas hingga berakhir di klub malam.             Dia meninggalkan Jessy begitu saja karena tak mau kehilangan control pada dirinya, apalagi saat hasratnya langsung memuncak karena ciuman sepele tadi malam. Padahal, wanita lain harus mati-matian menggodanya agar berhasrat untuk meladeni gairah mereka.             "Sial!” Pria itu memukul stir dengan kasar. “Aku akan balas dendam padamu, Angel, tunggu saja, permainan akan segera dimulai," gumamnya pasti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD