Dua

1786 Words
Ellea sampai rumah satu jam kemudian. Memang jarak antara kantor dan rumah dapat ditempuh selama satu jam dengan sepeda motor. Terkadang dia merasa sangat lelah dengan rutinitasnya. Sesampai di rumah, dia melihat kedua anaknya yang tampak bermain ponsel. Dia masih tinggal dengan kedua orang tuanya dan satu adiknya yang masih kuliah semester terakhir. Dia mendapat dua kamar, karena anak pertamanya yang laki-laki sudah menginjak usia remaja, 12 tahun. Sementara anak keduanya, perempuan berusia enam tahun. Ibu Ellea masuk ketika Ellea membuka jaketnya. “Tadi Ghais dan Ghania ngambek, enggak mau les karena rebutan makanan,” adu sang ibu. Ellea yang masih lelah, terbawa perasaan karena hubungannya, juga karena pikirannya yang kalut kesusahan mencari uang itu segera memberi tatapan tajam pada dua anaknya. “GHAIS! GHANIA! Benar yang dikatakan nenek???” tanya Ellea dengan sorot mata tajam. Kedua anaknya menghampirinya dengan rasa takut. “Kalian ini! Mama pusing cari uang untuk sekolah kalian! Disuruh les saja ngambek!! Kamu pikir gampang cari uang!! Mama dimarahin! Mama kerja keras! Semua untuk kalian!!!” ujar Ellea yang memang terbakar emosi. Memang harusnya sepulang kerja itu waktu untuk beristirahat setelah lelah, sehingga pancingan sekecil apa pun bisa membuatnya darah tinggi. Ditarik tubuh Ghania, putrinya yang berada di dekatnya dan dipukul bokongnya cukup keras. “Sudah Ell,” ujar sang ibu namun Ellea yang seperti kesetanan terus memukul bokongnya hingga anak mungil itu menangis dan memohon ampunan. “Maafin Nia mama, Nia janji enggak akan ulangi,” rintih Ghania. Namun Ellea tak puas hati. Dia tarik Ghais dari depan kamarnya dan memukul lengannya. Sementara ibunya keluar dari kamar dengan perasaan penuh bersalah. “Kamu juga! Kamu sudah besar, sudah mau SMP bukannya jaga adiknya, justru rebutan makanan! Apa kurang makanan yang mama kasih????” teriak Ellea, benar-benar dia sambat dan terus memukuli Ghais setelah memukul Ghania. Kemudian dia meledak dalam tangisnya. Menangis cukup keras, meraung seperti anak kecil. Mungkin luka batinnya memang benar-benar belum sembuh. Terkadang dia bisa mengendalikannya. Namun entah mengapa malam ini dia tak bisa mengendalikan amarahnya? Ellea berjongkok, menumpahkan tangisnya, sungguh dia sangat marah dan kecewa, dia juga kesal pada dirinya sendiri. Dia mulai menyesal mengapa dia menumpahkan kekecewaannya pada dua anaknya itu? Ghais tak seperti Ghania yang terus menangis, dia hanya terdiam dengan sorot mata terluka. Duduk berdiam diri melihat ibunya menangis, sementara Ghania sudah memeluk ibunya seraya terus meminta maaf. Ellea berusaha menenangkan tangisnya. “Sekarang kalian sikat gigi, terus tidur!” perintah Ellea sejurus kemudian. Dia duduk di ranjang dan menutup wajahnya. Air matanya tak mau berhenti keluar. Dia kemudian berbaring. Ghania menelusup ke pelukannya masih terisak. “Maafin Nia ya mama, Nia janji enggak ulangi,” tutur Ghania. Ellea semakin terisak, anak sekecil ini tak seharusnya mendapatkan pelampiasan marahnya. Ellea memeluk putri kecilnya itu dan mengecup kepalanya. “Iya, jangan diulangi ya,” tutur Ellea mengumpulkan kata-katanya karena isak tangisnya membuat suaranya susah keluar. “Iya mama,” tutur Ghania. Ellea benar-benar menyesal, dia mengecup kepala Ghania dan meminta maaf padanya karena terlalu keras memperlakukan putrinya. Mereka bertangisan berdua seperti anak kecil. Lalu Ghania tertidur. Ellea masih menangis dalam diam, entah berapa lama dia menangis, dia hanya meratapi nasibnya yang naas. Betapa sulitnya dia mendapatkan kebahagiaan? Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Dan dia sudah merasakannya beberapa tahun ini. Terutama satu tahun belakangan ini. Sebelumnya Ellea memiliki job sampingan menulis artikel, namun satu tahun ini dia tak pernah mendapat job itu lagi, sehingga hanya mengandalkan gajinya yang standar upah minimun regional daerah. Sementara kedua anaknya harus melangkah sekolah ke jenjang yang lebih tinggi berbarengan. Mantan suaminya hanya mengirim sedikit uang, itu pun setelah Ellea mengancam akan mengantar kedua anaknya untuk dirawat dia dan istrinya. Mantan suaminya tak sanggup dan berkata akan mengirim uang. Namun uang kirimannya selalu dipotong dengan mengatakan akan membayarnya, namun tak pernah dibayarkan. Ellea mengalami masalah yang bertumpuk seperti itu. Dia ingin bahagia di hubungannya, namun dia tak juga mendapat kebahagiaan itu. Ghais sepertinya sudah tidur, Ellea tak mendengar suara ponselnya. Ellea bangkit dari rebahannya dan memandang cermin. Matanya sudah sangat bengkak, syukurlah besok libur jadi dia tak perlu berpura-pura menangis dengan alasan habis menonton drama korea. Ellea melihat ponselnya, ada pesan masuk dari sahabatnya, yang mengatakan bahwa suaminya mungkin bisa membantunya memasukkan anak pertama Ellea ke sekolah menengah pertama yang dia inginkan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, Ellea membalas pesan itu. “Gue lagi nangis,” tulis Ellea. “Kenapa? Karena mas K?” balas, Lila, teman Ellea. “Salah satunya.” “Sini main ke rumah.” Kebetulan rumah Ellea dan Lila memang tak jauh, mereka bertetangga hingga mereka bersahabat sejak usia balita. “Males sudah malam.” “Yee, ya sudah, lagi pula kan kita sudah sering peringatkan. Nikmati rasa sakitnya sampai capek!” balas Lila. Ellea hanya mendengus dan mengirim stiker di kolom chat tersebut. Hari sabtu besok, dia akan menebus rasa bersalahnya dengan mengajak kedua anaknya makan di kedai es krim yang terkenal enak itu. *** Ellea terbangun mendengar suara dering ponselnya, tak biasanya ada yang menelepon di pagi buta seperti ini. Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Seharian kemarin dia menebus rasa bersalah kepada anak-anak dengan memakan es krim dan berjalan santai sore di alun-alun. Dia juga sudah meminta maaf pada kedua anaknya dan mengatakan bahwa dia tidak seharusnya melakukan itu. “Mas Kenzi?” tutur Ellea membaca nama pemanggilnya. “Ya, Mas?” ujar Ellea ketika panggilan tersebut tersambung. “El, ibu masuk rumah sakit sejak kemarin. Kondisinya sudah setengah sadar. Aku butuh bantuan kamu,” tutur Kenzi yang terdengar cukup panik. “Bantuan apa, Mas?” tanya Ellea seraya bangkit. “Keinginan terakhir ibu, untuk melihatku menikah El, tolong menikahlah denganku, aku enggak akan tenang jika ibu pergi tanpa melihat aku menikah lagi.” Ellea tampak menimbang. Menikah? Ketika Ellea membahas apakah ada kemungkinan mereka menikah, Kenzi bahkan selalu diam. Bahkan selama tiga tahun dekat dengan Kenzi, tak pernah sekalipun pria itu ke rumahnya. Bagaimana cara dia meyakinkan orang tuanya? Dia pernah menyebut nama Kenzi namun tak ada kemajuan dalam hubungan mereka. Kenzi pun tak pernah singgah ke rumahnya meski Ellea pernah mengundangnya. “Aku bilang bapak dulu ya Mas,” ucap Ellea pada akhirnya. “Iya El, kalau kamu bersedia, aku jemput kamu dan bapak ya, tapi jika kamu memang enggak bersedia, aku enggak akan memaksa El,” tutur Kenzi yang terdengar putus asa. “Iya Mas, nanti kukabari,” ucap Ellea. Dia pun keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar orang tuanya. “Kenapa El?” suara sang ibu terdengar dari dalam. Ibu dan ayahnya berbeda usia lima belas tahun, itu sebabnya ibunya masih terlihat muda sementara ayah Ellea terlihat jauh lebih tua. Pintu kemudian terbuka, wajah ibunya yang baru bangun tidur terlihat. “Bisa bangunin bapak, Bu?” tanya Ellea. “Pak, bangun,” ujar Ibu Ellea. Ayah Ellea pun tampak mengulet dan keluar dari kamar. Ellea sudah menunggu di ruang tamu. Di mana hanya terdapat sofa yang tampak usang. Keluarga Ellea juga bukan dari keluarga berada. “Ada apa? Belum subuh ini,” ujar ayah Ellea yang rambutnya sudah memutih, tubuhnya tampak agak ringkih. Berbeda dengan istrinya yang masih bugar. “Pak, Ellea mau menikah.” “Hah? Kamu mimpi? Menikah sama siapa?” tanya ibunya. Ellea menggaruk keningnya dan membasahi bibirnya. Harus dari mana dia ceritakan? Apalagi selama menjanda memang Ellea tak pernah terlihat dekat dengan siapa pun. “Ibu dan bapak ingat aku pernah bilang kalau aku dekat dengan mas Kenzi kan temanku di kantor? Ibunya masuk rumah sakit, dan keinginan terakhir ibunya melihat mas Kenzi menikah, karena itu dia mau menikahiku,” ucap Ellea. “Kamu nih,” sungut sang ibu. Ayahnya menghela napas. “Kamu mau menikah dengan dia? Nikah dibawah tangan lho ini,” ucap ayahnya yang tampak bijak. “Aku ... sayang dia Pak,” ucap Ellea seraya menunduk, mungkin ini kesempatan satu-satunya menikah dengan lelaki yang dicintainya. “Kalau seandainya ibu atau bapak yang ada di posisi ibunya, aku juga pasti akan lakukan hal yang sama.” Ellea berusaha memperkuat argumennya. “Terus kita ke rumah sakit sekarang?” tanya ayah Ellea yang sepertinya terdengar setuju. “Ini pernikahan lho? Masa sembarangan gini?” protes sang ibu. “Ini kan darurat, Bu.” Ayah Ellea mencoba membela putrinya. Memang Ellea dan ibunya sejak dulu sering berselisih paham. Banyak hal yang tidak cocok di antara mereka. “Nanti mas Kenzi jemput, kalau bapak mau menikahkan kami,” tutur Ellea. “Ya sudah ayo,” ujar ayah Ellea. Ibu Ellea hanya mendengus. Ellea segera memberi kabar pada Kenzi yang kemudian bersiap menjemputnya berbekal peta yang diberikan Ellea. Kenzi mencium punggung tangan ayah Ellea dan duduk di teras. “Maaf ya Pa, saya baru memperkenalkan diri sekarang.” “Ya sudah tidak apa-apa, memangnya ibu kamu sakit apa?” “Stroke pak, tiba-tiba saja jatuh dan tidak sadarkan diri,” jawab Kenzi. Ibu Ellea keluar setelah memakai pakaian rapih. Ellea pun memakai baju rapih. “Ya sudah, ayo kita berangkat,” tutur ayah Ellea. Kenzi membuka kan pintu untuk ayah Ellea yang duduk di depan, samping pengemudi. Sementara Ellea dan ibunya duduk di belakang. Kenzi mengemudikan mobil itu, dia telah menyiapkan penghulu yang merupakan salah satu kerabat terdekatnya. Perawat dan dokter menjadi saksi pernikahan yang dilangsungkan di kamar rumah sakit tersebut. Hadir pula kakak perempuan Kenzi dan juga suaminya. Ellea yang hanya mengenakan blouse putih lengan panjang dan kain untuk kebaya itu menunduk ketika Kenzi menjabat tangan ayahnya dan mengucapkan ikrar suci pernikahan. Ucapan kata sah dari saksi dan juga penghulu yang menikahkan mereka menyetujui ikrar itu, dilanjutkan pembacaan doa. Kini Ellea telah menjadi istri Kenzi secara agama. Ibunya yang masih setengah sadar itu tampak tersenyum meski mulutnya tak bisa banyak berbicara. Ellea mencium punggung tangan Kenzi. Kenzi mengusap kepala Ellea dengan senyum tipis. Lalu Ellea dan Kenzi menyalami kedua orang tua Ellea, juga menyalami ibu Kenzi. “Bu, aku sudah menikah seperti yang ibu inginkan,” ucap Kenzi dengan suara bergetar. Ibunya hanya mengiyakan dengan kedipan matanya. Tangannya menggenggam erat tangan Ellea. “Te – ri – ma kasih, ti-tip Kenzi,” ucapnya terbata. Ellea menitikkan air mata. Ibu Kenzi memejamkan mata seolah sangat lelah dan mengantuk. Hingga Ellea dan Kenzi ke luar dari kamar itu. Orang tua Ellea diantar pulang oleh sepupu Kenzi, Ellea sudah mengganti kain setelan kebaya itu dengan celana panjang. Dia menunggu di luar dengan Kenzi. Tak banyak berbicara, Kenzi hanya mengucap kata maaf pada Ellea. Ellea memegang tangannya menguatkannya. Lalu kakak ipar Kenzi keluar dari kamar rawat sambil berlarian, Kenzi masuk ke ruang rawat itu, lalu para dokter dan tenaga medis lain berlarian masuk. Mereka berusaha menyelamatkan ibu Kenzi. Kondisinya kembali tenang, namun kesehatan sang ibu berangsur memburuk. Hingga pada siang menjelang sore hari, nyawa ibu Kenzi tidak terselamatkan. Namun Kenzi telah berhasil mewujudkan keinginan terakhirnya untuk menikah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD