Satu

1693 Words
Marieta Orlando sedang menikmati secangkir teh chamomile kesukaannya. Dia tidak sendirian sore ini, putra semata wayang yang sangat dibanggakannya turut menikmati kebiasaan sorenya itu. Jerome Orlando membantu sang ibu menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir tembikar motif burung camar kesayangan ibundanya. “Besok aku mau ke Jepang. Mami mau titip apa?” tanya Jerome setelah menyelesaikan aktivitasnya. “Kenapa pertanyaannya tidak kamu ganti, Mami mau ikut Jerome ke Jepang? Begitu lebih enak didengar,” balas Marieta sambil menyembunyikan senyum keibuannya. Jeroma tersenyum kemudian menjawab, “nanti mami kecapekan, terus sakit. Aku nggak tega kalau lihat mami sakit.” Jerome menepuk punggung tangan ibundanya. Berharap kali ini ibunya tidak akan bersikeras ikut perjalanan bisnisnya ke luar negeri. “Makanya kamu cepat cari istri, Jey! Biar ada yang temenin mami kalau kamu ke luar negeri. Ada yang urus mami juga kalau mami jatuh sakit.” “Asisten rumah tangga di rumah ini masih kurang jumlahnya untuk membantu mengurus semua kebutuhan mami? Aku ke luar negeri nggak lama, Mi. Paling lama lima hari.” “Mami pengen ke Jepang, Jey.” Marieta mulai merajuk. “Next time kalau bukan untuk urusan bisnis aku pasti akan ajak mami ya.” “Kalau next time mami nggak mau cuma berduaan aja.” “Loh, kenapa? Lagian juga kalau nggak berduaan maunya ber berapa, Mi?” tanya Jerome menahan senyum gelinya. “Bertiga sama istri atau minimal calon istri kamu,” jawab Marieta tegas, seolah tidak ada kata penolakan di balik ucapannya. Jerome mendesah lesu. Dia bangkit dari kursi, membenahi jas dan sedikit membungkuk untuk mengecup kening ibundanya. “Aku kembali ke kantor dulu ya, Mi,” ucapnya setelah menegakkan badan kembali. “Pikirkan lagi ucapan mami, Jey! Usia mami sudah memasuki usia senja. Mami ingin lihat kamu menikah. Mami juga ingin segera menggendong cucu. Nggak ada lagi yang Mami inginkan di dunia ini selain dua hal itu, Jey,” rajuk Marieta panjang lebar dengan mata berkaca-kaca. Jerome tersenyum lembut. Dia berlutut di depan lutut ibundanya tanpa memedulikan sedikitpun celana bahannya akan kusut ataupun terkena noda debu di lantai. Jerome meraih kedua tangan ibundanya, mencium dalam-dalam punggung tangan yang mulai mengerut itu seakan oksigen terbaik bisa ia temukan di sana. Jerome yang terkenal dingin, angkuh, dan tidak banyak bicara itu mendadak menjadi anak yang super manis bila berada di depan ibunya. Dia akan bersikap layaknya remaja yang masih haus akan belaian seorang ibu. Padahal sudah 35 tahun ia habiskan bersama sang ibu, tapi kasih sayang itu masih saja terasa kurang untuk memuaskan dahaganya akan cinta ibu. Marieta menarik salah satu tangan yang ada dalam genggaman putra semata wayangnya. Dengan lembut dan penuh kasih sayang ia menyentuh serta mengusap puncak kepala putra kebanggaannya. Jerome bukan hanya buah hatinya, tetapi sudah menjadi belahan jiwa bagi Marieta. “Doakan aku selalu ya, Mi,” ucap Jerome menahan haru. “Pasti, Jey. Tapi tolong segera penuhi permintaan Mami. Sekalipun kamu tidak pernah membawa seorang perempuan ke hadapan mami yang kamu akui sebagai calon istri. Minimal sebagai kekasih. Beda sekali dengan adikmu yang berganti perempuan semudah mengganti celana dalamnya.” Jerome tertawa kecil mendengar ucapan Marieta soal adik laki-laki Jerome. “Pasti akan aku perkenalkan pada mami. Kalau tiba waktunya,” ucap Jerome penuh kelembutan. “Tapi kapan, Jey? Teman-teman arisan mami pada nanyain terus, kapan Jerome nikah Jeng Rieta? Gitu,” rajuk Marieta, sambil menahan senyumnya saat memperagakan gaya bicara teman-teman sosialitanya. “Mami jawab saja, pria mapan tapi masih single itu sekarang sedang tren dan Jerome Orlando sedang mengikuti trend itu.” Marieta memukul pelan kepala Jerome karena gemas atas jawaban asal putranya, lalu mengusapnya penuh kasih sayang. “Paling bisa kamu itu kalau disuruh ngeles,” ujarnya. Jerome beranjak dari berlututnya, kembali mengecup puncak kepala sang ibunda lantas benar-benar pamit pergi kali ini. Berlama-lama di hadapan sang ibu topik yang menjadi pembahasan pasti tidak jauh-jauh dari urusan jodoh dan pernikahan. Jerome kurang suka membicarakan hal itu dengan siapapun termasuk ibunya sendiri. Meskipun sikap Jerome mendadak lunak dan lemah bila sedang berada di hadapan ibunya, tidak lantas membuat Jerome jadi mudah mencurahkan semua isi hati pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Saat berada di dalam mobil yang sedang melaju menuju perusahaannya, sebuah notifikasi pesan singkat masuk ke ponselnya. Sebuah senyum tipis terlukis di wajah Jerome membaca pesan dari sekretarisnya, mengabarkan produk jaket pria yang baru saja launching kemarin sudah laku ratusan ribu lembar, berkat model baru yang menjadi brand ambassador produk tersebut. Namun senyum tipis itu seketika memudar saat membuka pesan singkat dari ibunya yang sudah mengatur makan malam romantis untuknya dengan seorang perempuan setelah Jerome pulang dari perjalanan bisnisnya ke Jepang. Kalau Jerome menolak maka ibunya akan mogok makan dan menolak bertemu Jerome sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Jerome mendesah pasrah. Dia menyandarkan punggung sepenuhnya ke sandaran jok mobil. Panggilan telepon dari sekretarisnya bahkan tidak dihiraukan. Jerome memijat puncak hidung mancungnya. Berusaha keras menebak rencana besar apa yang sedang disusun oleh ibunya saat ini? Dia harus segera mencari cara supaya Marieta tidak terus-terusan merongrongnya soal pernikahan apalagi sampai mengatur kencan romantis untuknya dengan perempuan asing. Hal semacam itu sama sekali tidak ada dalam kamus besar kehidupan seorang Jerome Orlando yang tahun ini usianya akan memasuki angka tiga puluh tujuh, CEO dari Orland’s Group yang terkenal dingin, angkuh dan tidak tersentuh kehidupan pribadinya itu. (***) Seorang perempuan muda dengan potongan rambut bob sebahu terlihat pusing dan beberapa kali menghela napas panjang saat membaca tumpukan amplop berisi tagihan beberapa kartu kredit, dan tagihan lainnya. Sebuah kesalahan besar menggunakan banyak kartu kredit tapi tidak tahu cara menggunakannya dengan baik. Dia adalah Irza Brignita Syafitri atau lebih dikenal dengan Irza Syaf. Dia perempuan pecinta dunia gemerlap malam dan segala kesenangan duniawi. Hanya satu hal yang dia tahu di dunia ini, bersenang-senang hingga dia kelelahan akibat terlalu lama bersenang-senang. Sebuah gedoran keras di pintu kamarnya mengalihkan konsentrasi penuh Irza kala menatap deretan angka dengan jumlah fantastis, yang tertera di lembaran putih berlogo sebuah bank swasta internasional atas namanya. Irza mendesah lesu, melangkah lunglai menuju pintu kamar. “Apa?” tanya Irza ketus pada salah satu penghuni kos yang ditinggalinya. “Pinjem duit dong, Kak,” ucap remaja yang tadi menggedor pintu kamarnya. “Hah? Lu pikir gue rentenir? Nggak ada,” jawab Irza dengan ketus. “Ayolah, Kak. Duit lo kan banyak dapat dari Om-om tajir.” “Sialan lo! Beneran nggak ada. Lagi pusing duit yang ada gue sekarang.” “Lagak lo ngomong gitu kalau ada temen minjem duit. Tar malam juga lo pasti clubbing, ye kan?” “Kalo gue bilang nggak ada ya, berarti beneran nggak ada. Kenapa jadi lo ngurus hidup gue, bocah!” ketus Irza, hampir saja dia melempar remaja tersebut dengan apa saja yang bisa dijangkau oleh tangannya. Remaja tadi mencibir, memutuskan segera berlalu dari hadapan Irza, sebelum perempuan itu meledak karena emosi. Irza menutup pintu dengan keras hingga dentumannya terdengar memekakkan telinga orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia mengempaskan tubuh ke ranjang, mengusap wajah dengan kasar lantas meraih bantal untuk meredam jeritan sebagai bentuk pelampiasan kebingungannya. “Mana gajian masih lama,” keluh Irza saat menatap ponsel yang sedang menampilkan saldo di rekening tabungannya. Dia keluar dari aplikasi mobile banking-nya. Layar ponselnya menampilkan potret seorang aktor muda dan tampan idolanya. Irza tersenyum miris menatap foto nyaris toples model berbakat bernama Rigel A tersebut, lantas melempar ponselnya ke sembarang arah tetapi masih di atas ranjang. Hal seperti ini bukanlah yang pertama kali dialaminya. Sebenarnya Irza sudah tahu risikonya bila berurusan dengan kartu kredit. Ini bukanlah hal baru baginya. Namun bukan Irza Syaf namanya bila mudah trauma pada suatu penyebab persoalan yang mempersulit hidupnya. Irza kembali menggunakan kartu kredit dan debitnya untuk berfoya-foya ketimbang menabung untuk mengantisipasi bila mengalami kesulitan dalam perekonomiannya. “Masa gue mesti nyari sugar daddy?” cetus Irza ketika pikirannya sudah mulai buntu. “Tapi nggak bakal nutut. Gue cuma punya waktu dua puluh hari lagi menjelang tutup bulan,” monolognya lagi. Irza lalu mendesah pasrah sembari meremas penuh frustrasi rambutnya sendiri. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang tidak seberapa nyaring, tapi mampu membuat Irza terperanjat karena terkejut. Dia pikir debt collector yang sedang berusaha mencarinya, mampu menemukan kontak ponsel Irza yang sudah puluhan kali ganti sejak tiga bulan yang lalu. Namun ternyata dugaannya salah. Teman baiknyalah yang justru sedang berusaha menghubunginya. “Jinan?” gumam Irza saat menatap layar ponselnya. “Nomer kamu kenapa ganti lagi, Ir?” tanya Jinan tanpa basa basi setelah Irza menerima panggilan telepon darinya. Irza memang selalu mengabari teman baiknya itu setiap kali ganti nomor ponsel. Hanya pada Jinan dia bisa percaya sepenuhnya. “Iya, Nan. Ada apa telpon gue?” “Kamu lagi sembunyi dari siapa? Gonta ganti nomor handphone seperti gonta ganti celana dalam saja.” Irza terbahak mendengar kelakar temannya itu. “Nggak lagi sembunyi dari siapa-siapa. Ada apa, sih?” tanya Irza sekali lagi. “Kamu nggak kangen aku? Sudah sebulan lebih kamu ngilang-ngilang.” “Lagi sibuk gue, Nan.” “Sibuk apa?” tanya Jinan penuh cemooh. “Ya kerjalah. Banting tulang demi masa depan.” Jinan tergelak. Membuat Irza ikut tersenyum mendengar suara tawa teman baiknya itu. “Masa depan siapa? Apa kamu sudah ada rencana membentuk masa depan dengan seseorang?” tanya Jinan. “Ya kalau ada cowok tajir melintir yang ngajakin mah, hayuk ajalah. Capek gue kerja mulu tapi nggak kaya-kaya.” “Astaga, Irza! Ada-ada saja kamu tuh. Mau aku kenalin sama temannya Daddy, nggak? Dia lagi cari istri,” tanya Jinan lagi, menyebut panggilan untuk suaminya. “Ogah! Om-om bangkotan temen lakik lu. Dahlah, mending gue cari om-om yang muda tapi tajir aja.” “Mana ada? Keburu kamunya yang menua.” “Rese lo! Eh, udahan ya, gue mau siap-siap dulu.” “Kamu mau siap-siap ke mana, Ir? Ke club?” “Iyalah. Bisa gila gue kalau nggak dapat pelampiasan.” “Kamu lagi ada masalah apa, Ir? Ada yang bisa aku bantu?” “Nanti kalau udah mentok, gue minta bantuan elo.” “Selalu seperti itu. Kamu harus segera meninggalkan dunia malam, Ir.” “Iya nanti kalau gue nikah sama om-om tajir melintir, hamil dan punya anak, gue pasti ninggalin dugem, kok.” “Kenapa nggak dari sekarang aja?” “Iya nanti gue pikirin lagi.” Lalu hening selama beberapa saat. Suara tangis bayi menginterupsi keheningan yang sempat terjadi. Kemudian Jinan pamit untuk mengakhiri panggilan teleponnya. Irza segera bersiap seperti yang diucapkannya tadi di telepon. Namun dia berbohong. Tujuannya bukan ke tempat hiburan malam seperti tebakan Jinan. Justru Irza sedang menghindari tempat-tempat keramaian saat ini. Karena dia pernah beberapa kali berhasil ditemukan oleh salah satu penagih hutang ketika sedang berada di night club. ~~~ Continued… ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD