Empat

1431 Words
“Jey, sarapan dulu!” panggil Marietha dari arah dapur saat melihat Jerome sedang menapaki anak tangga dari arah kamarnya dengan langkah terburu.  “Sarapan di kantor aja, Mi,” sahut Jerome tanpa menatap ke arah Marietha sedang berada. Tubuh atletisnya pagi ini dibalut dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap yang semakin menyempurnakan penampilannya. Wajahnya tampak segar dan harum maskulin yang sangat khas menguar dari tubuhnya.  Jerome terus melangkah menuju ruang kerjanya tanpa memedulikan ibunya yang kini sedang menatap kesal padanya. Jerome meraih ponsel untuk mengecek pesan masuk. Beberapa pesan berasal dari orang-orang yang tidak penting menurutnya. Jerome terlalu malas untuk membalas pesan yang hanya berupa basa basi itu. Dia lebih memilih menghubungi model sekaligus brand ambassador yang sedang dicari-carinya, Rigel. Namun hingga panggilan ketiga tidak ada jawaban dari Rigel.  Jerome: Lo udah berani nggak angkat telpon gue? Sudah bosen hidup lo! Alternatif terakhirnya Jerome mengirim pesan bernada mengancam pada Rigel lalu sengaja mematikan ponselnya. Rencananya dia akan memberi pelajaran pada laki-laki yang sudah membuatnya kesal beberapa waktu terakhir. Karena sampai detik ini Rigel masih belum menampakkan batang hidungnya untuk sekadar memberi penjelasan pada Jerome soal kejadian memalukan dan mencoreng nama baik perusahaan terutama nama baik Jerome Orlando sebagai pemilik perusahaan.  Tepat di saat Jerome hendak keluar dari ruang kerjanya, Marietha sedang berdiri di depan pintu dengan tangan melayang di udara, hendak mengetuk pintu. Marietha menggiring Jerome menuju ruang makan. Sebenarnya wanita itu punya rencana lain kenapa begitu memaksa Jerome untuk sarapan bersama pagi ini. Dia ingin mencari tahu hasil dari makan malam bersama Heriza semalam.  Aroma roti panggang, daging dan telur tercium, mampu menggugah selera makan seorang Jerome. Demi menghemat waktu Jerome bergegas mengambil roti bakar yang telah diisi oleh daging, telur dan daun selada di dalamnya, kemudian menyantapnya dengan lahap.  Marietha yang sedang duduk di hadapan Jerome tersenyum lembut melihat anaknya makan dengan lahap. “Mau dibawain untuk bekal makan di kantor?” tanyanya.  “Nggak perlu, Mi,” jawab Jerome.  Marietha hanya bisa menghela napas panjang. Selalu saja begitu jawaban Jerome. Meski anak laki-lakinya itu kini telah tumbuh dewasa, Marietha masih sangat ingin menghabiskan waktu hanya untuk merawat putra pertamanya itu. Jerome memang sosok anak yang pendiam dan tidak pernah merepotkan sejak kecil. Semenjak rumah tangga orang tuanya hancur sosok Jerome yang tadinya hanya pendiam, berubah menjadi dingin dan tidak tersentuh. Awalnya Marietha menganggap bahwa hal itu lumrah dialami oleh anak korban perceraian orang tua. Namun semakin ke sini dia mulai khawatir. Terlebih mengingat hingga usia menjelang 38 tahun, Jerome sama sekali tidak pernah terdengar sedang mendekati seorang lawan jenis, apalagi terikat dalam sebuah komitmen dengan seorang wanita. Bahkan selama hidupnya Jerome hanya tersenyum lembut pada satu orang wanita, yaitu ibunya. Hal itu tentu saja membuat Marietha cemas dan sedih melihat anaknya yang tampak sempurna itu seperti ada yang kurang dalam hidupnya.  Namun kekhawatiran seperti itu tidak pernah dirasakan oleh Jerome. Saat usia 12 tahun Jerome mendapati rumah tangga orang tuanya sudah tidak harmonis lagi. Kedua orang tuanya sering terlibat pertengkaran hebat di depan mata Jerome. Dua orang dewasa yang begitu dikagumi dan dihormati oleh Jerome itu saling memaki, menghina dan menyakiti tanpa memedulikan keberadaan Jerome. Hal itulah yang membuat Jerome takut berkomitmen bahkan enggan menikah hingga usianya nyaris mencapai kepala empat. Dia terlampau dihantui rasa khawatir rumah tangganya akan berakhir seperti rumah tangga orang tuanya. Hingga pada akhirnya menikmati kesendirian dan memastikan ibunya tidak pernah merasa kekurangan dalam hal apa pun terasa lebih menyenangkan bagi Jerome.  *** Irza mengetukkan jari di pinggiran ponselnya sambil berpikir. Pagi ini batas waktu yang diberikan untuknya kembali berkurang satu hari. Tempat mana lagi yang bisa dia datangi untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan yang tengah menimpa kehidupan nyamannya selama ini. Sebentar lagi menjelang pertengahan bulan dan dia belum juga mendapatkan uang sepeserpun untuk melunasi hutangnya.  Irza mulai merasa gelisah. Terlebih saat membaca artikel berita tentang kekejaman debt collector yang tidak pandang bulu dan tanpa belas kasih dalam menagih hutang. Berurusan dengan debt collector merupakan hal paling dia sesali dalam hidupnya. Namun kini Irza bisa apa? Nasi sudah menjadi bubur dan dia harus menghadapi hasil dari perbuatannya sendiri.  Hari ini Irza harus bekerja seperti biasanya. Kemarin dia sudah libur kerja selama dua hari untuk mencari jalan keluar persoalan hutang yang tengah melilitnya, tapi tidak mendapatkan hasil apa pun. Dan kini dia tidak ingin mengalami kesulitan di tempat kerja karena harus menghadapi atasannya yang dingin dan tidak ramah. Untung Irza sudah terlatih menghadapi berbagai macam karakter manusia dan persoalan hidup. Jadi menghadapi orang dengan sifat lebih buruk dari Roman pun bisa dihadapi oleh seorang Irza. Jalan hidup sudah menempa dan membentuknya tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan tidak mudah menyerah menghadapi persoalan hidup seberat apa pun.  Beberapa saat kemudian Irza sudah tiba di kantor. Setelah menempelkan kartu karyawan di mesin scan, Irza berjalan santai menuju bilik kerjanya. Tidak lama kemudian salah satu rekan kerjanya menghampiri meja Irza.  “Ir, nanti malam party yok. Ditraktir sama Pak Aries nih,” ujar teman kerjanya tersebut, menyebutkan nama pimpinan utama di divisi kerja tempat Irza bekerja.  “Nggak ah, males.” “Tumben lo? Kapan lagi party gratisan?”  “Males aja.” Tidak lama kemudian terdengar suara berat dari arah belakang kursi Irza. “Pagi, cantik,” sapa Bimo, rekan kerja Irza yang lainnya dan terkenal badboy.  Irza mengangkat kepala dan melirik sekilas pada Bimo. Laki-laki itu memang tampan dan menawan. Tapi sayang bukan selera Irza karena usia mereka sepantaran dan tentu saja Bimo tidak tergolong pria mapan yang sering menjadi incaran Irza.  “Pagi,” jawab Irza malas.  “Kalo lo nggak mau ikut party-nya Pak Aries, gimana kalau kita private party aja?”  “Males!”  “Tempatnya lo yang ngatur deh!”  “Dahlah sana! Gue mau kerja.”  Saat ini Irza sedang tidak tertarik untuk bersenang-senang. Dia masih sangat menghindari tempat hiburan malam, karena khawatir debt collector akan menemukannya di sana. Sebenarnya tawaran dari dua teman kantornya ini sangat sayang untuk dilewatkan. Namun mau bagaimana lagi, nyawanya lebih penting untuk saat ini ketimbang pesta yang tidak akan pernah ada puasnya. Tidak hanya itu saja, Irza bahkan sengaja makan siang di kafetaria demi menghindari tempat umum. Hal itu tentu bukan hal yang biasa dilakukan oleh Irza.  Ponselnya berdering saat Irza baru saja mengakhiri pekerjaan sore ini. Dari nomer asing. Tangan Irza gemetar hebat saat melihat deretan nomer yang tidak ada dalam daftar kontak ponselnya. Pasti debt collector. Begitu pikir Irza. dia lalu segera menonaktifkan ponsel dan menyimpan ponsel di dalam tasnya.  Dari menara Khawas Group, Irza sengaja lewat pintu belakang gedung untuk sarana keluar masuknya. Dia benar-benar tidak berani lewat pintu utama karena merasa sedang diawasi kalau melewati pintu itu.  Irza melangkah tergesa melewati gang demi gang. Perasaannya mengatakan ada seseorang yang sedang mencoba mengikutinya dari belakang. Namun saat dia menoleh tidak ada seorang pun yang berada di belakangnya. Tepat saat Irza menghentikan langkah dan menoleh, dia melihat dua orang berperawakan besar mengenakan jaket boomber warna coklat gelap serta mengenakan topi sedang berdiri sambil mengawasinya. Dua pria itu tidak bisa dikenali oleh Irza karena mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya.  “Ngapain lo berdua ngikutin gue?” bentak Irza dengan sisa keberaniannya.  “Kamu sedang dalam pengawasan. Kalau tidak mau diikuti cepat selesaikan urusan pembayaran kartu kredit kamu.”  “Gue sudah minta tenggat waktu sampai akhir bulan ini sama pihak bank. Jadi berhenti mengikuti gue!”  “Hal yang sama selalu kamu katakan sejak lima bulan yang lalu. Tapi kenyataannya sampai detik ini sepeserpun uang kamu belum masuk untuk membayar pokok sekaligus bunga dari kartu kredit yang kamu gunakan.” “Sial!” Irza berbalik badan lalu berlari kencang Irza terus berlari melewati gang yang tampak sepi menjelang maghrib. Di ujung gang dia melihat sebuah mobil mewah sedang terparkir. Tanpa pikir panjang Irza berlari ke arah mobil tersebut. Mesin mobil dalam keadaan menyala, Irza menggedor kaca jendelanya dengan sangat kencang.  “Buka!!!” ujar Irza.  Namun pintu mobil tidak kunjung terbuka. Kepalan tangan Irza semakin keras menggedor kaca jendela sambil terus berusaha membuka pintu mobil.  “Aku dikejar orang jahat. Mereka mau merampok dan memperkosaku!" mohon Irza. Detik berikutnya pintu mobil terbuka dan Irza segera masuk ke dalamnya. “Cepat jalan!” ucap Irza dengan napas terengah sambi mengguncang bahu pengemudi yang tak dikenalnya itu.  “Buruan jalan! Kalau nggak kita bakal dibunuh sama mereka!” pekik Irza penuh frustrasi. Pengemudi tersebut menjalankan mobil sesuai perintah Irza. Setelah merasa aman Irza bisa bernapas lega dan duduk dengan nyaman di bangku penumpang belakang. Dia tidak peduli kemana arah laju mobil yang sedang ditumpanginya ini. Yang terlintas di benaknya hanyalah bisa menyelamatkan diri dari kejaran dua debt collector yang sedang mengincarnya.  ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD