Prolog

637 Words
Langit nampak cerah sekali hari ini, banyak anak-anak, remaja maupun orang dewasa tengah melakukan aktivitas mereka di bawah sana. Segerombolan anak laki-laki tengah asyik bermain bola basket, nampak jelas keceriaan di wajah mereka ketika salah satu tim mereka memasukkan bola basket itu ke dalam keranjang. Namun, ada seorang laki-laki berusia dua puluh tahun yang hanya diam di kamarnya, sama sekali tidak berniat turun untuk ikut bermain. Laki-laki bernama lengkap Justin Hanney itu sibuk dengan kegiatannya sendiri yaitu memainkan sebuah rubik, membolak-balik rubik itu agar warnanya bisa sama. Meskipun sudah berulangkali memainkan permainan itu, tak ada rasa bosan di hatinya. Seakan-akan bermain rubik adalah suatu hal wajib yang menjadi rutinitasnya. Seorang wanita paruh baya yang tengah mengintip di balik pintu kamar putranya pun menghela napas ketika melihat sang putra yang malah selalu asyik dengan mainan rubiknya, tak ada niatan di hati putranya itu untuk bergabung dengan yang lainnya. Padahal, jendela sengaja ia buka agar ada sedikit saja kepedulian atau ketertarikan sang putra pada sesuatu di luar sana, nyatanya rencananya kali ini gagal. Seperti sebelum-sebelumnya yang tak pernah berhasil membuat putranya itu mau keluar dari rumah untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya, entah sampai kapan putra satu-satunya itu akan begini. Avril–nama Ibu Justin, sudah lelah dah pasrah akan keadaan putranya tersebut. "Justin ...." panggil Avril pelan. Ia memasuki kamar Justin yang bernuansa hitam putih, warna kesukaan Justin. "Justin, kau tidak berniat ingin ke luar? Bermain dengan teman-temanmu di sana?" tanya Avril pada Justin yang masih sibuk dengan permainan rubiknya. Seperti biasanya pula, Justin hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan sang ibu. Avril merasa sangat lelah sekali, Justin terlalu keras kepala. Ini semua juga salahnya karena sedari dulu Justin melakukan sekolah home schooling, hanya saat SMA saja putranya itu mengikuti sekolah formal. Itu pun tidak berdampak baik karena Justin selalu mendapat bully-an dari teman-temannya dulu. Hingga semua bully-an itu berdampak pada keadaan mental Justin saat ini, laki-laki itu cenderung pendiam, tertutup dan juga tidak percaya diri dengan keadaan sekitarnya. Merasa kalau ia lebih rendah dari orang lain, sesuai ejekan teman-teman di SMA-nya dulu. "Mau sampai kapan kau seperti ini, Nak? Semua sudah Ibu lakukan. Tapi kenapa kau sama sekali tidak ada perubahan?" tanya Avril menatap penuh kesedihan pada sang putra yang sibuk dengan permainan rubiknya. Seorang ibu mana yang tidak akan sedih ketika melihat keadaan putranya yang seperti ini? Sudah bertahun-tahun lamanya Avril harus bersabar menghadapinya sikap Justin yang seperti ini, sudah banyak hal yang Avril lakukan untuk mengembalikan keceriaan putranya. Bahkan ia sudah sering mengajak Justin ke psikolog, sayangnya hal itu belum juga membuahkan hasil. "Apa Ibu boleh mengambil rubik di tanganmu?" tanya Avril. "Tidak, ini milikku. Ibu tidak boleh mengambilnya." Dengan cepat, Justin menyembunyikan rubik mainannya di belakang tubuhnya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan ibunya lakukan pada permainan rubiknya itu, maka dari itu ia langsung menyembunyikan mainan kesayangannya itu. "Justin, ayo! Setidaknya kau harus keluar sebentar saja, Nak. Ya?" Justin menggeleng dengan tegas. "Justin hanya ingin di kamar saja, Bu. Mereka semua punya kelebihan, Justin merasa rendah ketika berhadapan dengan mereka semua." Alasan itu yang terus saja Justin katakan. Pernah suatu waktu Avril mengajak Justin pergi ke rumah sahabatnya, sahabatnya memiliki seorang anak laki-laki yang usianya sama seperti Justin. Justin sama sekali tidak berniat bermain dengan anak itu, Justin memilih sibuk bermain dengan rubiknya. Menundukkan kepalanya dalam-dalam seakan ia adalah orang yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, berbanding terbalik dengan orang lain yang memiliki banyak kelebihan. Sebenarnya kekurangan Justin hanya satu, ia tidak pandai bergaul. Jika dikatakan cerdas, Justin sejak dulu memang orang yang cerdas. Sayangnya karena sifatnya yang pendiam, ia dulu sering diejek oleh temannya. Luka di hatinya masih membekas hingga sekarang, entah keajaiban dari mana yang bisa mengembalikan kebahagiaan Justin. *** Hallo semuanya, author kembali lagi membawa cerita bertema fantasi. Semoga suka ya, jangan lupa tap love dan komen. Terima kasih ❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD