Musim yang buruk

1802 Words
Clara duduk termenung mengamati Andrew yang tampak pulas dalam tidurnya. Kemarin ia langsung membawa Andrew kembali ke Apartemennya. Dalam keadaan mabuk, beberapa kali pria itu menyebut nama Vionna, dan menangis menunjukkan kesedihannya yang selama dua bulan ini ia pendam. Andrew mengungkapkan segala perasaannya, pernyataan cinta yang begitu dalam serta patah hati yang teramat menyayat. Andrew, meski dia begitu ramah dan sopan terhadap semua orang, tetapi sebenarnya dia adalah pribadi yang tertutup. Sangat jarang menunjukkan perasaannya. Tetapi kemarin, Clara menyadari bahwa Andrew benar – benar sangat mencintai Vionna seolah tidak bisa hidup jika tidak bersama wanita itu. Suara lenguhan menyentak lamunan Clara, Andrew membuka mata dan perlahan – lahan bangun dari tidurnya. "Clara." Panggil Andrew ketika matanya sudah fokus melihat obyek di sekitarnya. "Ahh... kau sudah bangun." Clara bangkit dari duduknya lantas menyodorkan teh hangat yang sedari tadi dibawanya. "Minumlah! Kemarin kau mabuk berat." Andrew meringis kemudian menerima teh hangat tersebut lantas meminumnya. "Kau pasti merasa aku sangat buruk kan?" Tanya Andrew menyadari bahwa kelakuannya dua bulan ini begitu aneh karena masalah rumah tangganya. "Tidak juga." Clara menggidikkan bahu. "Tetapi itu pertama kali aku melihat mu mabuk seperti orang gila." Andrew terkekeh mendengar candaan Clara. Ia kemudian bangkit dan menatap dirinya di cermin. Benar – benar berantakan seperti orang gila. "Clara, apa kemarin aku mengatakan hal – hal aneh saat mabuk?" Clara mengangguk, tak mau membohongi sahabatnya itu. Pria itu kemarin benar – benar mencurahkan segala isi hatinya bahkan ke hal – hal yang tak Clara ketahui sebelumnya. Dan curahan hati Andrew itu membuat rasa sesak di dadanya. Melunturkan angan Clara terhadap cintanya. Cinta yang sudah ia pendam selama lebih dari 9 tahun kepadanya. "Bibi sangat mengkhawatirkan mu, Andrew." Ucap Clara. Nyonya Rixton yang tidak lain adalah ibu Andrew kemarin malam menelepon Clara untuk membujuk puteranya tersebut pulang. Meski nyonya Rixton belum tahu keadaan rumah tangga puteranya, tetapi ibu mana yang tidak mempunyai firasat bahwa dua bulan ini, puteranya mempunyai masalah serius sehingga terjadi perubahan di dalam diri Andrew. Andrew mengangguk. "Aku janji kemarin adalah yang terakhir." Ia tersenyum tipis menatap dirinya sendiri di cermin. "Aku hanya ingin meluapkan emosi ku." "Aku tahu." Clara bangkit dan melangkah keluar dari kamar, "Bersihkan dirimu! Aku harus bekerja. Sampai jumpa." Pintu pun ditutup, dan Clara tahu, meski Andrew berkata seperti itu untuk menguatkan diri, tetapi tatapan Andrew masih menyimpan kesedihan. *** Hari ini pertemuan dengan klien penting di sebuah restoran ternama. Clara duduk dengan tenang, meski perasaannya tidak begitu tenang. Pertemuan ini sebenarnya adalah tugas Sophia tetapi wanita itu tiba – tiba merasakan sakit di kepalanya dan dengan terpaksa Clara menggantikan tugas penting itu. Clara takut jika pertemun ini tidak berjalan mulus lantaran dia merasa di musim ini, nasibnya tidak terlalu mujur. Dia benci musim semi, sampai – sampai dia tidak ingin keluar rumah selama musim ini berakhir. Musim semi seolah menjadi momok menakutkan bagi diriya, karena rasa – rasanya ketika musim semi tiba, kejadian tidak mengenakkan selalu terjadi padanya. "Perwakilan dari Decide Group?" Tanya seorang pria menghampiri meja nomer 8 tempat Clara duduk. Clara mendongak dan mendapati seorang pria berkacamata dengan setelan jas rapi berdiri di depannya. "Ya tuan, saya perwakilan dari Decide Grup." Clara tersenyum sembari menjabat tangan lelaki di depannya. "Apakah anda tuan~" Jeda sejenak Clara mencoba mengingat nama klien ini. "Tuan Jack?" Lelaki itu tersenyum membalas jabat tangannya, "Saya Hudson, utusan tuan Jack. Kalau begitu, bisakah kita langsung mendiskusikan mengenai kerjasama ini?" "Tentu tuan." Dan tak lama ketika Clara hendak membicarakan masalah kerjasama perusahaan tempatnya bekerja dengan JL Company, tiba – tiba seorang wanita muncul dari arah belakangnya dan secara mengejutkan menyiramkan segelas air ke rambut Clara menciptakan keterkejutan seisi restoran. *** 30 menit sebelumnya. "Tuan gawat!" seorang pria tergopoh – gopoh menghampiri mobil hitam yang terpakir itu. Dan langsung masuk ketika mobil itu terbuka. "Jangan masuk ke restoran!" Pria yang duduk di kursi belakang mobill itu hanya bergumam malas. Matanya terpejam, tangannya bersendekap santai dengan kedua kaki berselonjor menyilang. "Tidak tahu kah kau, aku ada pertemuan penting?" "Ya, saya tahu tuan. Te... tetapi ini mungkin lebih penting." Paul berseru ragu. Pria itu buru – buru mengejar mobil tuannya ketika mendapat informasi penting yang menyangkut keselamatan tuan besarnya ini. Bahkan dia sampai harus menerobos lampu merah demi mencegah tuannya memasuki restoran. "Sebaiknya itu benar – benar penting, Paul." Desis pria di sampingnya. Sepenting apa informasi itu sehingga anak buahnya ini sampai rela datang jauh – jauh dan menghentikan mobilnya. "No... nona Daniella datang. Dan dia hendak melabrak nona....." Lucas membuka mata. "Apa?" Berdecak jengkel, meruntuki wanita yang disebut. "Wanita gila itu benar – benar....." Lucas mendesis. Mengetuk – ngetuk jemarinya berpikir. Untuk beberapa saat tidak ada suara. Sampai kemudian Lucas menarik sudut bibirnya mendapat ide brilian. "Hudson, gantikan aku menemui perwakilan Decide!" Perintahnya kepada pria yang sejak tadi terdiam memegang kemudi. "Baik tuan." Jawabnya tanpa banyak berpikir. "Tapi, aku tetap akan masuk." Lucas tersenyum miring. "Aku ingin melihat bagaimana Daniella mempermalukan diri sendiri." **** 'Pertemuan di hotel Shine. Tetapi terlebih dahulu mereka akan makan di restoran sebelah.' Daniella membaca pesan dari informannya. Kaki jenjangnya memasuki restoran yang juga merupakan bagian dari hotel tersebut. Manik cokelatnya mengedarkan pandang mencari perempuan jalang yang membuat Lucas berpaling darinya. 'Wanita itu berambut panjang dan mengenakan pakaian hitam.' Sekali lagi satu pesan masuk. Daniella membacanya. Dadanya bergemuruh tak karuan. Ingin sekali dirinya segera melabrak perempuan tak tahu diri itu. "Aku ingin melihat wajah perempuan itu." Daniella mendesis. Mengetuk – ngetuk jemarinya di atas meja tak sabar. Pun dengan matanya yang masih memindai lokasi, mencari sosok yang dicari. "Lucas, Lucas dimana kalian?" Dan beberapa menit kemudian, ia menemukannya. Seorang wanita dengan balutan jas warna hitam seperti halnya pakaian pria yang difeminimkan duduk di meja nomor 8. Wanita itu menguncrit rambut panjangnya dengan ikatan rapi. Satu hal yang membuatnya yakin bahwa itu adalah perempuan yang dimaksud ialah ketika dia melihat Hudson, salah satu orng kepercayaan Lucas duduk di depan perempuan itu. Mungkin Lucas sengaja menyuruh Hudson menemui wanita itu terlebih dulu. Baiklah ini lebih bagus jika tidak ada Lucas. Dia akan memberi pelajaran pada wanita itu sehingga menjauhi Lucas untuk selamanya. Lalu tanpa pikir panjang, Daniella meraih gelas air minum yang ada di mejanya. Ia melangkah mendekati perempuan itu, lalu tanpa basa – basi menyiramkan air tersebut ke rambut perempuan berjas hitam itu menyebabkan keterkejutan seisi restoran. *** Clara tersentak kaget ketika sesuatu mengguyur bagian kepalanya. Membuat rambutnya basah, pun dengan wajahnya. Rasa dingin mengalir ketika bongkahan es batu terbenam di puncak kepalanya dan beberapa jatuh melewati rambutnya kemudian terhenti di bahunya. Clara menoleh, ingin melayangkan protes tetapi wanita di belakangnya terlebih dulu marah dan menampar pipinya. Apa – apa'an ini? "Kau! Dasar jalang, berani – beraninya mendekati Lucas." Clara ternganga. Benar – benar tidak habis pikir tiba – tiba seorang wanita datang marah – marah tak jelas padanya. Lalu apa tadi? Lucas? Apa – apa'an? Dia tidak pernah mengenal seorang yang dimaksud. Sepertinya perempuan ini salah sasaran. Tetapi tak ayal tindakan wanita itu padanya membuatnya marah. Atensi para pengunjung resto sudah pasti tertuju padanya. Tetapi bukan itu yang ia pedulikan, melainkan pria di depannya. Dia adalah klien penting, dan peristiwa ini sudah pasti merusak image perusahaan. Clara takut jika gara – gara ini, kerjasama kedua perusahaan gagal. JL Company adalah perusahaan besar sementara Decide hanyalah perusahaan kecil. Ketika mendapat kesempatan tawaran kerjasama dari perusahan sebesar itu, tentu saja Decide harus menunjukkan penawaran kerja terbaik agar perusahaan itu tertarik berkerjasama dengan Decide. Clara harus menahan emosi. Dengan tenang, Clara mengusap wajahnya yang basah kemudian mengambil es batu yang masih menempel di bahu kanannya dengan acuh memakan es batu tersebut. "Nona, sepertinya anda salah sasaran. Saya tidak mengenal anda dan siapapun itu yang bernama Lucas." "Pembohong." Daniella berteriak menggebu – gebu. Hendak menampar Clara lagi namun wanita itu segera menghindar. Lalu tanpa melihat ke arah Daniella, Clara kembali duduk dengan acuh tanpa memedulikan wanita yang memancarkan aura permusuhan di sampingnya. "Tuan Hudson, maaf ini hanya kesalahpahaman. Dan bisakah kita teruskan kembali pembicaraan kita?" Hudson menatap Clara yang tampak tenang seolah tak terjadi apapun meski rambut wanita itu basah kuyup gara – gara kelakuan Daniella. Dan sekilas dia melirik Daniella yang masih tak sadar salah sasaran. Sementara itu, di kejauhan, di lantai atas Lucas melihat pertunjukkan menarik tersebut dengan antusias. Sebelah alisnya terangkat ketika perempuan yang menjadi sosok salah sasaran Daniella terdiam tak menanggapi perlakuan Daniella padanya. Seharusnya perempuan itu berbalik menampar Daniella dan menyerang wanita gila itu bukan? sehingga terjadi pertengkaran yang hebat dan akan membuat satpam keamanan datang kemudian menangkap perempuan itu. Dia ingin melihat pertengkaran hebat. Tetapi sepertinya ini juga cukup bagus. "Kau memang perempuan tak tahu malu ya? Merebut kekasih orang lain lalu bersikap sok tidak tahu apapun." Daniella tampak geram lantaran wanita itu tak menggubrisnya, dia lalu menarik Clara kembali dari duduknya. Clara menghela nafas. "Nona, jangan mempermalukan diri Anda sendiri. Tidakkah Anda melihat saya di sini sedang bersama seorang pria?" Clara menunjuk Hudson dengan lirikannya. "Saya sedang membahas pekerjaan. Kontrak penting." Clara menunjuk beberapa dokumen yang di bawanya, "Dan saya tidak mengenal Lucas." Raut wajah Daniella sejenak berubah ketika melirik dokumen yang dipegang wanita itu. Dan dia menatap Hudson yang kini tersenyum sopan ke arahnya. "Ya nona, kami sedang berdiskusi masalah pekerjaan." Daniella menelan ludah. Belum sepenuhnya percaya, tetapi ketika sebuah pesan kembali dikirimkan di Hpnya, sontak wajah Daniella memucat sepenuhnya karena malu. 'Nona Daniella, maaf ternyata salah informasi. Tuan Lucas datang ke resto untuk membicarakan bisnis. Bukan bertemu kekasih barunya.' Dan Daniella langsung pergi. Meski merasa bersalah karena salah sasaran, tetapi keangkuhannya mengalahkan segalanya. Dia enggan minta maaf kepada wanita itu. Sial. *** Benarkan setiap musim semi tiba, kejadian buruk selalu menerpanya. Benar – benar sial. Clara segera menuju kamar mandi setelah presentasinya dengan perwakilan JL Company selesai. Dia hanya berharap bahwa kejadian memalukan barusan tidak mengubah JL Company berkerjasama dengan Decide. Kalau sampai itu terjadi, bisa habis dia. Clara menghela nafas dan menatap dirinya sendiri di cermin. Manik kelamnya sontak berkaca – kaca menumpahkan segala amarah yang sedari tadi ia pendam. Sejujurnya dia juga sangat malu, marah dan juga sedih. Bukan hanya karena tiba – tiba perempuan tak dikenal menyiramnya di tempat umum, melainkan karena semua kejadian yang dialaminya selama musim semi ini. Patah hati. Hancur. Sesak dan juga nelangsa. Cintanya bertepuk sebelah tangan bahkan ketika bertahun – tahun ia sama sekali tidak bisa menghapus cinta itu. Rasanya kosong, jiwanya hampa. Dan jika ditelisik dari kehidupannya yang lalu – lalu, rasanya dia memang menyedihkan. "Ya Tuhan, ku harap keburukan ini segera berakhir." Clara mendongak, menahan bulir air matanya yang hampir jatuh. Kemudian ia membasuh wajahnya ke wastafel serta merapikan rambutnya. Ia melepaskan jasnya yang terdampak basah kemudian menentengnya di lengannya. Menyisakan kemeja warna putih yang membalut tubuhnya dengan pas. Lalu ketika dia hendak keluar dari restoran, langkahnya terhenti ketika mendapati sosok yang sangat familiar berjalan memasuki loby hotel. Perempuan bergaun hitam seksi dan tampak elegan. Mata Clara melebar. "Vionna...." Dan seorang pria. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD