Suasana di antara ketiganya kembali kaku. Sohwarin kehabisan kata-kata menghadapi putrinya yang terus menghujami Kalief dengan ucapan tajam.
Dengan lirikan penuh iba, Sohwarin memandang Kalief yang hanya bisa tertunduk, tampak begitu tertekan. Hatinya tergerak. Perlahan ia meraih tangan Kalief di depan Sabine, seolah ingin memberi keberanian.
Sabine menatap jijik pada pemandangan itu, tapi Kalief justru merasa mendapat tenaga baru. Ia mengangkat wajahnya, menatap balik ke arah Sabine.
“Saya berjanji tidak akan menjadi parasit di rumah ini. Saya tetap akan bekerja, dan tidak akan menggunakan uang kalian sepeser pun,” ucapnya dengan suara lantang.
Sabine mendengus sambil mengangkat sudut bibirnya. “Baiklah… kita lihat saja nanti.”
Ketegangan pun sedikit mereda, membuat Sohwarin bisa bernapas lega.
Sabine lalu berdiri, meraih centong nasi dengan gerakan agak terburu-buru. Perutnya memang sudah lapar. Namun gerakannya yang sembarangan membuat Kalief salah tingkah.
Kalief yang duduk tepat di depan Sabine dapat melihat dengan siluet bra Sabine dengan jelas. Karena gugup Kalief sampai menjatuhkan sendok ke lantai. Kalief terpaksa menunduk ke bawa meja karena hendak mengambil sendok yang terjatuh di lantai, namun bukan hanya sendok yang ia lihat, ia dapat melihat jelas bagian kewanitaan Sabine yang hanya di lapisi celana dalam. Apalagi Sabine duduk dengan posisi mengangkang.
Kalief langsung bangkit tak jadi mengambil sendok. Wajahnya memerah apalagi saat dia kembali bertatapan dengan Sabine.
Sabine menangkap perubahan ekspresi itu. Kedua alisnya bertaut, hatinya bertanya-tanya. “Kenapa wajahnya mendadak merah begitu?” gumamnya dalam hati. Ia sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya baru saja terjadi di bawa sana.
Setelah makan malam selesai, Sabine segera bangkit dari kursinya. Ia berniat langsung menuju kamar, melepaskan penat sekaligus rasa jengkel yang sedari tadi menumpuk.
Namun langkahnya terhenti ketika suara Sohwarin memanggil namanya.
“Sabine.”
Ia menoleh dengan malas. “Ada apa, Ma?”
Sohwarin menatap putrinya dengan sorot serius. “Besok kamu ada janjian makan malam dengan Edric, kan?”
Sabine mendesah singkat. “Ya…” jawabnya datar, seolah tidak tertarik membicarakan topik itu.
“Datanglah dan pakai pakaian yang bagus, Bine,” lanjut Sohwarin. “Jangan buat papamu di atas sana kecewa. Belajarlah untuk menerima Edric mulai sekarang… karena dia adalah pria pilihan papamu.”
Kata-kata itu menohok Sabine. Ada kekesalan yang menjalar di dadanya setiap kali mendengar nama papanya disebut sebagai alasan. Bibirnya bergerak seolah ingin membantah, tapi akhirnya hanya suara berdehem lirih yang keluar.
Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Sabine kembali memutar tubuhnya dan melangkah pergi menuju kamar.
Setelah tubuh Sabine menghilang di balik pintu kamar, keheningan menyelimuti ruang makan. Kalief masih duduk menikmati makanan penutupnya, sebelum akhirnya ia menoleh pada Sohwarin dengan raut penuh rasa ingin tahu.
“Siapa Edric?” tanyanya hati-hati.
Sohwarin meletakkan sendoknya, lalu menatap Kalief sebentar. “Itu calon suaminya Sabine.”
Alis Kalief terangkat. “Loh… Sabine sudah punya calon suami?” Suaranya terdengar benar-benar penasaran.
“Ya,” jawab Sohwarin singkat. “Malah mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Semua itu adalah perjanjian antara mendiang suamiku dengan rekan bisnis sekaligus sahabatnya… Papanya Edric.”
“Oh begitu…” Kalief mengangguk pelan, mencoba memahami. “Baguslah kalau Sabine sudah punya calon suami yang baik.”
Sohwarin justru menghela napas panjang. Ia bersandar, memangku dagunya dengan tangan kiri di atas meja. Tatapannya melayang, tapi sesekali menoleh pada Kalief, mengagumi gurat ketampanan pria itu.
“Sebenarnya…” ia mulai dengan nada lirih, “Aku merasa Sabine tidak sungguh-sungguh ingin menikahi Edric. Sejak ia memutuskan melanjutkan S2, aku tahu maksudnya. Putriku itu hanya ingin mengulur waktu.”
Kalief diam, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Sohwarin.
Sohwarin menunduk sebentar sebelum kembali menatapnya. “Dalam perjanjian itu jelas tertulis, pernikahan Sabine dan Edric baru bisa dilaksanakan jika keduanya sudah menyelesaikan pendidikan. Dan… Sabine seakan menjadikan hal itu alasan untuk menunda takdir yang sudah ditentukan untuknya.”
“Jadi begitu,” jawab Kalief singkat.
Namun dalam hatinya, ia justru diliputi rasa iba. Sabine terjebak pada sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Barangkali itulah alasan mengapa gadis itu tumbuh keras, mudah tersulut emosi, dan selalu bersikap tajam terhadap orang lain.
Kalief meletakkan sendok perlahan di atas piring, gerakannya begitu teratur dan penuh kehati-hatian. Setiap langkah kecilnya saat makan mencerminkan wibawa, seakan ia terbiasa dengan meja-meja makan berkelas.
“Kalief…” suara lembut Sohwarin memanggil, memecah lamunannya.
“Ya?” Kalief menoleh. Sohwarin tersenyum tipis, menatapnya penuh perhatian.
“Kalau dilihat-lihat… kau sangat mahir menggunakan peralatan makan. Kau juga paham betul tata krama di meja makan.” Sohwarin menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi dengan ragu. “Kau sepertinya berasal dari keluarga kalangan mampu, dan-”
Ucapannya terhenti. Ada keragu-raguan di matanya, seakan takut menyinggung. Setelah menarik napas, ia melanjutkan dengan hati-hati, “Logat bicaramu juga… terdengar bukan berasal dari Indonesia. Benarkah?”
Sohwarin jarang sekali menyinggung soal masa lalu Kalief. Hubungan mereka selama ini berjalan tanpa banyak pertanyaan. Namun kini, setelah mereka berdua bersepakat untuk melangkah lebih jauh menuju pernikahan, rasa ingin tahu itu tak bisa lagi ia bendung. Ia ingin mengenalnya lebih dalam, pria yang kelak akan berbagi hidup dengannya.
Kalief tersenyum tipis, seakan pertanyaan Sohwarin menyentuh sesuatu yang ingin ia lupakan dan kubur dalam-dalam. Ia menunduk sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku memang pernah tinggal dan bekerja di Singapura.”
Sohwarin mengangguk pelan, menunggu lanjutan kalimat yang tak kunjung datang. “Hanya itu?” tanyanya hati-hati.
Kalief menatapnya sebentar, sorot matanya teduh namun menyimpan sesuatu yang sulit di untuk di mengerti. “Ya. Untuk saat ini… itu saja yang perlu kau tahu.” Suaranya lembut, tapi tegas.
Sohwarin sempat terdiam, merasa ada dinding tak kasatmata yang memisahkan mereka. Meski begitu, ia tak ingin memaksa. Ia tahu, setiap orang memiliki masa lalu yang belum tentu siap dibuka.
Kalief lalu mengalihkan pandangan ke arah piring kosong di depannya. "Maaf Sohwa aku terpaksa berbohong." batinnya.
Merasa suasana menjadi canggung, Sohwarin tersenyum kecil lalu mencoba mencairkan suasana.
“Kalief… betisku pegal banget nih,” ucapnya lembut. “Mungkin karena usiaku sudah tidak muda lagi, aku jadi cepat lelah. Kalau boleh… maukah kau memijat kakiku?”
Kalief menoleh dengan sedikit ragu, tapi kemudian tersenyum sopan. “Boleh. Kalau begitu, mari ke ruang tamu. Aku akan membantu memijat kakimu.”
Sohwarin terkekeh pelan, menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Jangan di ruang tamu dong. Aku malu kalau pembantu sampai melihat.” Ia lalu condong mendekat, suaranya menurun nyaris berbisik di telinga Kalief. “Di kamarku saja, ya.”
Kalief merasakan desiran aneh menjalar di tubuhnya ketika napas hangat Sohwarin menyentuh kulitnya. “Tapi…” suaranya tercekat, tak mampu menyelesaikan kalimat.
Sohwarin menepuk pelan punggung Kalief, senyumnya penuh arti. “Tenanglah… aku tidak akan meminta lebih. Kau hanya perlu memijat kakiku saja.”
Kalief terdiam sejenak, ragu-ragu menimbang ucapannya. Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata pelan, “Baiklah… ayo kita lakukan.”
Senyum puas melintas di wajah Sohwarin. Ada kilatan kemenangan di matany karena akhirnya berhasil meyakinkan Kalief untuk masuk ke dalam kamarnya. Dengan langkah ringan, ia berdiri dan memimpin jalan menuju kamarnya.
Kalief mengikuti dari belakang, perasaannya bercampur aduk. Hatinya berdesir aneh, setengah gelisah, setengah penasaran. Setiap langkah yang mendekatkannya ke kamar itu terasa berat, seolah ia tengah melangkah ke dalam ruang yang penuh rahasia.
Saat pintu kamar tertutup, suasana berubah sunyi. Cahaya yang hanya berasal dari lampu tidur menambah rasa canggung di udara. Sohwarin duduk di tepi ranjang, menyingkap sedikit rambut yang menutupi wajahnya, lalu tersenyum pada Kalief.
“Aku tidak bercanda, Kalief,” ucapnya lembut. “Aku benar-benar ingin kau memijat kakiku.”
Kalief menelan ludah, lalu menarik kursi kecil yang ada di dekat meja rias. Ia duduk berhadapan dengan Sohwarin, berusaha menenangkan hatinya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Sohwarin mengangkat kakinya perlahan, menarik roknya hingga kedua kakinya yang putih mulus terekspos jelas. Ia perlahan-lahan meletakkan kakinya di pangkuan Kalief. Sentuhan pertama itu membuat jantung Kalief berdetak kencang.
Kalief mulai memijat betis Sohwarin dengan hati-hati. Jemarinya bergerak teratur, membuat Sohwarin memejamkan mata menikmati sensasi itu.
“Enak sekali, Kalief…” ucapnya, senyumnya merekah.
Sesekali terdengar desahan lirih yang membuat suasana kamar semakin sarat ketegangan. Kalief berusaha fokus pada pijatannya, namun kehangatan yang mengalir dari tubuh Sohwarin membuatnya sulit berkonsentrasi, apalagi suara yang di keluarkan oleh Sohwarin terkesan di buat-buat.
Semakin lama, Sohwarin mulai berani. Ia perlahan mengangkat roknya lebih tinggi, hingga kulit pahanya mulai terekspos. Tatapannya menggoda, seolah ingin menguji seberapa jauh Kalief akan bertahan.
Namun tepat saat jemarinya hendak menarik rok lebih jauh, Kalief buru-buru menahan tangan Sohwarin. Gerakannya spontan, namun tatapannya tegas.
“Please, Sohwa…” suaranya bergetar, tapi jelas. “Kau sudah berjanji, kan? Aku hanya akan memijat betismu.”