Perempuan berpayung kuning

2200 Words
( Pertemuan pertama hanya sebuah perjumpaan, pertemuan kedua kebetulan, pertemuan ketiga ialah ketetapan dan inilah yang disebut TAKDIR ) Tak pernah terbayangkan bagi seorang Nathan, dia akan bertemu kembali dengan wanita itu. Perempuan berpayung kuning yang membuat jantungnya berdebar saat pertama kali ia melihatnya. Dan bahkan di setiap kali ia berjumpa, debaran itu semakin kian terasa. Kuat, sangat kuat, semakin kuat dan seolah debaran itu tak akan pernah bisa berhenti. Nathan berjalan pelan menyaru kerumunan para tamu undangan, tumpukan gelas sampanye membentuk piramid di atas meja bertaplak putih berkilauan indah ditempa sinar lampu candelainer. Cantik dan elegan. Tetapi arah pandangan Nathan bukan ke piramida sampanye itu, melainkan ke seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari tempat itu. Berbincang lalu tersenyum menanggapi percakapan dua wanita lainnya yang berdiri di sampingnya. Cantik. Itulah hal pertama yang terbelesit di pikirannya. Senyumnya… tatapannya… gerakan tubuhnya…. gerakan matanya ketika berkedip, gerakan jemarinya saat meraih segelas sampanye kemudian ia teguk. Wine itu meluncur di bibir merahnya, memberi jejak basah yang tampak bekilau. Lalu bibir itu mengulum, mencecap sisa wine itu seolah begitu slow motion. Hati Nathan berdesir. Lalu beberapa detik kemudian ia mengerjap menyingkirkan hal apapun yang hendak melintas di pikirannya. Saat Nathan hendak berbalik, tiba - tiba Julia menoleh ke arahnya. "Hey, kau teman Alea kan?" Deg… Untuk sesaat Nathan kembali membeku. Iris cokelatnya melebar saat perempuan yang menjadi atensinya tadi memutari meja lalu berjalan menghampirinya. Kali ini Nathan benar - benar terkejut sekaligus tak menyangka. Meski ini adalah pertemuan ketiga mereka setelah terakhir kali berjumpa di pesta ulang tahun Alea, tak disangka bahwa Julia masih mengingatnya bahkan menyapanya lebih dulu. Ini bukan mimpi kan? Nathan mengerjap lalu dia mengangguk. Setengah kikuk tidak tahu harus bagaimana. Pelipisnya tiba - tiba menjadi berkeringat. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Dia takut salah bicara, salah sikap atau apapun itu di depan perempuan ini yang membuatnya nanti memandangnya negatif. Terlebih.... Nathan menunduk melihat penampilan dirinya sendiri. Kemeja putih dibalut rompi hitam dengan celana senada serta dasi kupu - kupu terbalut rapi. Baki berada di tangan kanannya. Dari semua momen, kenapa mereka harus bertemu di saat seperti ini? Saat dirinya harus melakukan pekerjaan shiftnya sebagai pramusaji. Ohh... Bukan dirinya merasa malu karena pekerjaannya. Hanya saja.... Nathan hati - hati menatap Julia. Jika Julia bisa menghadiri pesta mewah semacam ini, berarti Julia bukan orang biasa. Dirinya harus sangat sadar diri jika menyukai perempuan ini. Dia tidak mau nasib cintanya seperti dulu, dimana mantan kekasihnya meminta putus lalu tiba - tiba bertunangan dengan laki - laki lain karena dirinya kurang mapan. Itu sakit sekali. Tetapi semua itu sudah lampau. Semenjak itu Nathan pikir hatinya telah mati rasa, namun ternyata setelah dua tahun berlalu, hatinya kembali merasakan debaran lagi. Akan tetapi kali ini sepertinya temboknya terlalu tinggi. Dia akan susah memanjatnya. "Kau bekerja di sini?" Lamunan Nathan buyar saat Julia kembali bersuara. Wanita itu tetap memasang senyum bersahabat, "Kebetulan aku juga bekerja di sini." Sambung Julia seolah menyadari apa yang ada di pikiran Nathan. "Pengasuh anak tuan rumah." Katanya lagi sambil menunjuk gadis kecil berbando merah muda yang tengah asyik menikmati kue. Hal itu seolah telah menjelaskan mengenai keberadaan Julia di pesta mewah ini. Dan hal itu juga seolah menjadi bisikan untuk seorang Nathan agar dia tidak berkecil hati. Harus bangkit dan semangat. Semangat untuk mendekatinya. Dan ya, kata - kata dari Julia itu membuat moodboster Nathan naik. Setidaknya status mereka tidak terlampau jauh dan Nathan mempunyai kesempatan. Mungkin inilah takdir yang Tuhan berikan untuknya. Setelah berhari - hari yang lalu Nathan dipenuhi kegelisahan dan penyesalan lantaran tidak berani meminta nomer handphone Julia, Tuhan memberikan kesempatan lain untuknya. Yakni hari ini. Saat dirinya tengah menyajikan hidangan pesta, sekelabat dia melihat perempuan yang tak asing. Jantung Nathan seketika berdentum kala menyadari bahwa itu ialah Julia. Lalu tanpa sadar, dirinya diam - diam mengikuti wanita itu dan terpaku di tempat ini_ dengan Julia sekarang yang menyapanya lebih dulu. 'Kesempatan. Kesempatan. Kesempatan dan jangan kau sia - siakan lagi Nathan!' Bisik hatinya. Nathan kemudian menghirup nafas dalam - dalam. Lalu diberanikannya menatap tepat ke mata Julia. Mengumpulkan keteguhannya. "Julia, senang bisa bertemu denganmu lagi." Dan inilah awal dari kedekatan hubungan mereka. *** “Nathan, terimakasih sudah menjemputku.” Julia menghela nafas lega lalu tersenyum saat Nathan telah tiba. Gadis itu segera mengatupkan payung kuningnya kemudian memasukkannya ke dalam tas totenya. “Apa kau sudah menunggu lama di sini?” Tanya Nathan sembari membukakan pintu mobil untuk Julia. Dia khawatir, hujan di luar sana begitu derasnya sementara Julia berdiri sendirian di halte tanpa penutup yang sepi ini. Bahkan payung yang gadis itu gunakan tadi nyaris tak bisa melindunginya dari derasnya hujan,. Baju Julia basah pun dengan rambut serta wajahnya yang terciprat hujan. Wanita ini pasti sudah lama berdiri di sini menunggu bus yang bahkan mungkin tidak akan datang di cuaca seperti ini. “Tidak kok. Tidak sampai satu malam aku di sini. Hehe.” Jawab Julia. Gadis itu seperti biasa masih bercanda dan tersenyum meski keadaannya tak memungkinkan untuk seorang melengkungkan bibirnya. Umumnya perempuan pasti akan sangat kesal dan sedih jika dalam keadaan seperti ini bukan? Tetapi berbeda dengan Julia, setelah mengenalnya selama tiga bulan, Nathan menyadari bahwa dalam keadaan apapun gadis itu akan selalu tersenyum. Begitu sabar dan tidak pernah mengeluh. Begitu ceria dan membuat hati Nathan selalu merasa berdebar. Dia bersyukur bisa memiliki perempuan ini di sampingnya. “Maaf membuatmu menunggu lama. Lain kali jika ada situasi seperti ini lagi, kau harus segera menghubungiku ya! Aku akan menjemputmu.” Ucap Nathan. Dia mengusap rambut Julia yang basah dan menatapnya hangat. Julia mendongak, “Justru aku yang minta maaf telah merepotkanmu. Kau harus bekerja dan tiba - tiba aku menelponmu seperti tadi. Aku ~.” “Tidak… kau tak perlu minta maaf. Aku malah senang kau menelponku.” Potong Nathan. Dia tadi tengah mengantarkan seorang penumpang di bandara lalu tiba - tiba Julia menelponnya dan meminta bantuan padanya. Ohh tentu saja Nathan tak keberatan, dia malah senang. Tapi masalahnya dia tadi masih harus mengantar penumpang sampai ke tujuan sebelum dengan cepat membawa taxinya ke tempat gadis itu berada. Dan tidak disangka, Julia berdiri sendirian menunggu bus di tengah hujan lebat seperti ini. Pasti sudah berjam - jam Julia di sana hingga pada akhirnya terpaksa menghubunginya untuk menjemput. “Mulai sekarang kau tak usah menunggu bus. Aku yang akan menjemputmu, Julia.” “Tidak perlu Nat, kau ha~” Nathan menggeleng. Tahu bahwa Julia akan menolaknya karena tidak mau merepotkan, “Anggap saja kau adalah penumpang VVIP taxiku dan aku adalah supir pribadimu.” “Hahaha… aku tidak bisa membayarmu.” Balas Julia dengan nada guyon. Nathan ikut tersenyum, menatap hangat, “Bayar saja aku dengan senyummu, Julia.” Dan Julia tidak bisa berkata apa - apa lagi saat Nathan menatapnya seperti itu. Gadis itu menunduk menyembunyikan pipinya yang memerah. “Terimakasih Nathan.” *** Seharusnya Julia tak perlu mengucapkan kata terima kasih untuk setiap hal yang Nathan lakukan padanya karena bagi Nathan, dialah yang seharusnya mengucapkan kalimat itu. Sejak bertemu Julia, hidupnya yang kelabu berubah menjadi berwarna. Sejak mengenal Julia, hidupnya yang monoton menjadi begitu indah, dan sejak berdekatan dengan Julia, Nathan merasa menjadi pria yang paling beruntung di dunia ini. Meski kenyataannya, sebenaranya dia bukanlah orang yang beruntung. “Nathan, kau sangat berbakat.” Ucap Mr. Joshep yang tak lain ialah dosen di kampus Nathan menimba ilmu. Nathan adalah salah satu penerima beasiswa di jurusan olah raga. Dia pintar dan cekatan, dia juga rajin serta pekerja keras. Tak hanya berbakat, dia juga menjadi mahasiswa teladan. Dan di semester akhirnya ini, dia tengah menargetkan untuk bisa menjadi perwakilam dalam olimpiade bulu tangkis tingkat internasional. Dengan kemampuannya, dia yakin bisa. Mimpinya ialah menjadi atlit dan bisa memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan melalui perlombaan ini, dia ingin mewujudkan mimpinya. “Tapi Nathan~.” Mr Joshep menghela nafas, “Maaf, sudah ada yang mengisi perwakilan kejuaraan itu.” Apa? Seketika jantung Nathan seperti disentak keluar. Bagaimana bisa posisi yang seharusnya untuknya tiba - tiba digantikan oleh orang lain? Semua orang di kampus ini tidak ada yang meragukan bakat Nathan. “Siapa?” Nathan setengah menggertakkan giginya. Kecewa. Dia sudah bekerja keras bahkan Mr. Josheplah yang dulu mengatakan bahwa dirinya yang akan menjadi perwakilan. Tapi kenapa sekarang berbeda? Mr. Joshep menatap Nathan hati - hati. Dia menghela nafas merasa bersalah, “Martin Verme.” Seketika itu Nathan mendongak menatap Mr. Joshep tak menyangka. Di antara orang - oranng berbakat lainnya, kenapa harus Martin? Padahal yang lebih layak dari dia banyak. Tetapi kenapa? “Apa maksudnya ini Mr. Joshep?” Nathan mulai kesal, “Bukankah anda bilang sayalah yang akan menjadi perwakilan? Kenapa tiba - tiba Martin? Lebih dari itu selain dia seharusnya ba~” “Cukup Nathan!” Mr. Joshep lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Dia tahu bahwa mahasiswanya itu akan melayangkan protes. Tetapi sebelum itu dia tak ingin itu terjadi. Mr. Joshep kemudian bersendekap, “Kau tahu kan, biaya mengikuti kompetisi sangat mahal Nathan.” Tentu saja dia tahu. Oleh karena itu dia juga bekerja keras menghasilkan uang untuk kompetisi ini. “Apa kau sanggup memberikan satu juta Doll Nathan?” Sebelum Nathan menjawab, Mr. Joshep kembali menambahkan, “Pihak Martin bisa memberikannya, bahkan lebih.” Sudut bibir Mr. Joshep terangkat, “Maafkan aku Nathan, tapi segalanya butuh uang.” Imbuh Mr Joshep lalu segera berdiri dan meninggalkan Nathan yang tergugu di tempat. Segalanya bukan butuh uang, tetapi lebih tepatnya segalanya adalah tentang uang. Nathan meringis. Impiannya sejak lama, musnah sudah. Lagi - lagi dia harus kalah karena uang. Nathan berjalan lesu melintasi arena lapangan. Para calon atlit tampak begitu semangat berlatih. Dan di sana, dia melihat Martin tengah tersenyum bangga mendapat ucapan selamat dari mahasiswa lainnya. Martin juga melihatnya. Lelaki itu tersenyum menatap dirinya dengan tatapan mencemooh. Sebelah tangannya merangkul seorang perempuan. Dia Sheila, mantan kekasihnya. Tetapi dia sama sekali tak cemburu. Nathan hanya kecewa karena posisinya sebagai atlit telah digeser lelaki itu. “Nathan, sabar ya!” Ucap Alea. Sahabatnya yang menenangkannya. Nathan mengangguk, dia juga tidak bisa melakukan apapun karena ini juga masa usianya untuk bisa menjadi atlit. *** “Nathan, siapa bilang kau tak bisa melakukan apapun lagi?” Julia menepuk pundaknya. Gadis itu berkata, “Satu mimpi hilang, tetapi bukankah kau masih bisa membuat mimpi yang lain?” “Percayalah, selama kita masih bernafas, kita masih bisa melakukan banyak hal.” Julia mengulurkan tangannya ke arah Nathan yang sejak tiga hari ini tampak murung. “Kau mau menjadi apapun, kau pasti bisa melakukannya. Jika gagal, lakukan lagi! Jika gagal lagi! Tetap lakukan! Jadi, jika kembali gagal dan berkali - kali gagal! Maka kau bisa membuat mimpi yang lain. Mimpi yang pasti akan kau wujudkan kelak.” Julia tersenyum, dia lalu menyeret Nathan mengajaknya berlari ke suatu tempat. Di tengah kota. Gadis itu berhenti di tengah kerumunan orang - orang yang berlalu lalang. Cahaya lampu dari kendaraan serta bangunan - bangunan di sekitarnya bertebaran memberi nuansa indah dari gelapnya malam. “Lihat!” Julia menunjuk seorang pedagang pakaian yang ada di sudut jalan. Seorang lelaki tua yang kakinya tampak pincang. "Dia dulu bercita - cita ingin menjadi pelari. Tetapi sebuah kecelakaan menimpanya hingga akhirnya kakinya menjadi seperti itu." Jelas Julia. "Tapi Nathan, dia akhirnya menemukan mimpi yang lain dengan menjadi penjual pakaian. Hingga akhirnya dagangannya ramai kan? Meski kakinya pincang, dia masih bisa menggunakan tangan serta mulutnya untuk mewujudkan mimpi." Nathan memperhatikan bagaimana lelaki tua yang pincang itu tampak bersemangat dan begitu terampil menggolah kata - kata agar pembeli mau membeli dagangannya. "Lalu pria itu! Dia dulu ingin menjadi tentara. Tetapi karena fisiknya lemah, dia akhirnya memutuskan untuk menjadi seniman." Julia kembali menunjuk seorang pemuda kurus nan jangkung yang duduk di kursi dengan kuas serta kanvas untuk menggambar. Nathan kembali memperhatikan orang yang ditunjuk Julia. "Lalu lihat! Dia dulu ingin menjadi pramugari. Tetapi karena tingginya tidak mencukupi, dia akhirnya berpindah haluan dan menjadi pegawai kantoran." Julia lalu menunjuk seorang wanita berpakaian rapi yang tengah berjalan di trotoar sembari menenteng tas hitam kerjanya. "Lalu pria di sana! Dia dulu ingin jadi aktor, tetapi~." Dan gadis itu kembali menunjuk satu orang kemudian mengungkapkan banyak hal. Lagi dan lagi, Julia menunjuk beberapa orang. Dan kali ini, Nathan hanya memandangi gadis itu yang tampak begitu semangat menjelaskan berbagai hal. Setelah penjelasan ke empat yang semakin lama semakin random, Nathan menyadari apa yang Julia jelaskan saat ini sebenarnya hanyalah sebuah karangan. Tetapi Nathan mengerti akan maksud gadis itu. Dia ingin menunjukkan padanya bahwa dunia masih berputar. Masih banyak orang yang hidup dengan penuh semangat meski apa yang menjadi keinginannya tidak tercapai. Dan perlahan, bibir Nathan melengkung membentuk senyuman. Perempuan di depannya ini, adalah moodbosternya. Dia perempuan berpayung kuning. Payung pemberi keteduhan, dan Kuning simbol keceriaan. Dia memberikan keteduhan di hati Nathan dan keceriaan di dalam jiwanya. Seketika semangat Nathan kembali bangkit. "Dan lihat! Aku sebenarnya ingin menjadi dokter. Tetapi karena keluargaku bangkrut dan tidak punya uang lagi untuk biaya kuliah maka aku memutuskan untuk menjadi~." Ucapan Julia terputus kala Nathan tiba - tiba menariknya kemudian mencium bibir wanita itu. "Terimakasih Julia! Dan tahukah kau, bahwa aku jatuh cinta padamu." Jeda sejenak, Nathan melepas ciumannya. "Aku ingin kau menjadi kekasihku, Julia!" "Itulah mimpiku sekarang." *** *Nb : Baca kisah ini pelan - pelan dan temukan hal menakjubkan yang akan menanti di bab - bab berikutnya. Jangan lupa review dan komen. Terimakasih!

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD