BAB 9 – Bertemu Raymond

1388 Words
Mobil yang dikendarai Gaven masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah mewah. Pekarangan itu sangat luas, dengan berbagai hiasan yang begitu menyejukkan mata. Di sisi kanan dan kiri pekarangan itu, tumbuh pohon-pohon cemara dan pohon bonsai yang dibentuk sedemikian rupa. Beberapa malah ada yang dibentuk mirip binatang. Gaven begitu terpana melihat keindahan pekarangan rumah, halaman dan taman itu. Tidak lama, mobil yang dikendarai Gaven pun berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik. Rumah yang bercat putih dengan gerbang utama yang begitu mewah. "Gaven, parkiran ada ruang bawah tanah." "Dari mana masuknya, Mbak?" "Kamu belok ke kanan, nanti di sebelah kiri, kamu akan melihat gerbang basement. Masuk saja ke dalam, nanti akan ada lift di bagian dalam." Rose menjelaskan. "Baik, Mbak." jawab Gaven, ramah. Gaven tertegun dengan rumah milik Rose. Gaven seakan tidak berada dalam sebuah rumah, akan tetapi lebih mirip hotel. Dalam basement itu, terdapat beberapa mobil mewah lainnya. Mulai dari Lamborghini, hingga mobil antik bergaya klasik, terparkir di tempat itu. "Mbak, maaf ... Ini rumah apa hotel?" Gaven terlihat bingung seraya memperhatikan sekeliling basement. Gaven dan Rose masih berada di dalam mobil. "Suami saya adalah seorang pejabat sekaligus pebisnis hebat. Bisnisnya ada di mana-mana hingga ke eropa. Jadi, tidak aneh jika ia bisa membangun rumah semewah ini dengan segala fasilitasnya." "Iya, saya tahu dari infotainment. Suami baru anda, adalah orang yang sangat hebat dan memiliki bisnis besar. Ia juga adalah seorang pejabat yang begitu disegani. Saya tidak menyangka bisa bertemu apalagi ditawari pekerjaan oleh orang hebat seperti anda." Gaven tertegun. “Ah, kamu berlebihan, Gaven. Justru saya yang beruntung bisa bertemu denganmu. Punya sopir sekaligus pengawal pribadi yang masih begitu muda dan juga sangat tampan.” Rose menatap Gaven dari belakang dengan tatapan yang tidak biasa. “Mbak bisa saja, saya jadi malu.” Gaven merona. “Sudahlah, ayo kita ke atas. Saya ingin mempertemukan kamu dengan suami saya, kebetulan saat ini suami saya sedang ada di rumah.” “He—eh, apa saya akan bertemu dengan bapak Raymond?” Gaven tergagap. “Iya, memangnya kenapa?” “Ti—tidak, saya tidak percaya diri.” “Hahaha ... kamu ini ada-ada saja. Memangnya kamu mau ngapain sampai tidak percaya diri? Mau melamar putrinya?” “Melamar putrinya? Mana mungkin, Mbak. Saya tahu siapa Liliana, putri bapak Raymond. Saya dan dia bagai punguk merindukan bulan.” Gaven tersenyum manis. “Kamu tahu siapa Liliana?” “Siapa yang tidak tahu dengan Liliana, Mbak. Keluarga mbak dan bapak Raymond itu sudah sangat amat terkenal.” “Hehehe ... ya sudah, ayo kita ke atas. Sekalian aku ingin memberikan uang muka untuk gaji kamu.” “Be—benarkah, Mbak?” “Iya ... Oiya, jangan gugup seperti itu, Gaven. Aku tidak suka jika kamu terlalu kaku.” “I—iya, Mbak.” “Ayo kita segera turun dan naik ke lantai dua. Kita akan menemui suami saya di sana.” Gaven langsung turun dari mobil dan dengan cekatan membuka pintu untuk Rose. Rose tersenyum manis diperlakukan istimewa oleh pengawalnya. Rose tidak pernah bersikap seperti itu kepada pengawal terdahulunya. “Ayo ikut saya.” “Iya, Mbak.” Gaven mulai mengikuti langkah kaki Rose. Wanita itu membawa Gaven kesebuah lift yang akan membawa mereka ke lantai dua rumah itu. Tepat di depan pintu lift, Rose berpapasan dengan Liliana—putri tunggal Raymond. “Mama ... Lian mau ke rumah  teman dulu, ada keperluan.” Liliana berhenti sejenak ketika berpapasan dengan Rose. “Iya, jangan lupa pakai masker. Mama mau mengenalkan pengawal baru mama kepada papa kamu. Pengawal mama sebelumnya, tiba-tiba tewas mendadak di pusat perbelanjaan tadi siang.” “Oiya? Kok bisa?” “Entahlah, mungkin kena serangan jantung. Atau jangan-jangan terjangkit virus.” Rose menjelaskan. “Benarkah? Kalau begitu mama juga harus diperiksa.” Liliana tampak cemas. “Tidak perlu Lian, mama yakin mama sehat-sehat saja. Oiya, mama ke atas sekarang, bisa?” “Silahkan, Lian juga harus berangkat sekarang. Lian pergi dulu, Ma.” “Tidak bawa pengawal?” “Tidak perlu, Lian deket kok.” “Baiklah, hati-hati di jalan.” “Iya, Ma. Lian pergi dulu.” Liliana melangkah meninggalkan Rose yang hendak masuk ke dalam lift. Namun netra cokelat pekat milik Liliana, sekilas bertemu pandang dengan netra cokelat terang milik Gaven. Gadis dua puluh satu tahun itu tertegun sejenak, dengan ketampanan dan netra indah milik Gaven Althair. Gaven tergagap ketika netranya beradu sesaat dengan netra Liliana. Ada getaran yang tidak biasa yang terjadi dalam hati Gaven. Namun pemuda itu sadar, ia tidak pantas untuk memiliki perasaan yang tidak biasa itu. Ia dan Liliana bagaikan langit dan bumi. “Gaven, ada apa?” Gaven yang tengah tercenung seraya tertunduk, tersentak tatkala mendengar sapaan Rose. “Ma—maaf ... saya ....” “Saya kenapa? Kamu tertegun dengan Liliana? Kamu suka sama dia?” Rose menggoda. “Ti—tidak ... itu tidak mungkin. Bisa-bisa aku dibunuh sama bapak Raymond.” “Hahaha ... bukannya nanti malah kamu yang akan membunuh Raymond?” Rose benar-benar membuat Gaven semakin tergagap. Wanita itu begitu senang menggoda Gaven dan membuat wajah pemuda itu merona. “Ma—maaf, Mbak. Itu tidak mungkin.” “Hahaha ... ya sudah, aku akan hentikan semua ini. kamu ini terlalu polos, Gaven. Ayo kita ke atas sekarang.” Rose pun mulai melangkah masuk ke dalam lift, disusul oleh Gaven. Rose menekan angka dua, karena tempat yang ia tuju, memang berada di lantai dua. Gaven kembali tercenung, rumah itu sungguh mewah dan begitu luas. Seraya berjalan mengikuti langkah kaki Rose, netra Gaven tak pernah luput dari rasa kagum atas bangunan yang memang terlalu berlebihan untuk sebuah rumah. “Gaven, kita akan menemui suami saya.” “I—iya, Mbak.” Rose masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas, Gaven mengekori dari belakang. Di ruangan itu, ada sebuah meja kerja berukuran besar. Di sana, sudah duduk seorang pria berusia empat puluh lima tahun bernama Raymond. Pejabat sekaligus pemilik bisnis gelap yang cukup berbahaya. “Mas, apa kabar?” Rose segera menghampiri suaminya seraya mengecup lembut pipi pria itu. “Baik, jadi ini pemuda yang kamu ceritakan di pesan pribadi tadi.” Raymond bangkit dan mulai memperhatikan Gaven dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Iya, Mas. Ia sangat istimewa. Aku percaya, ia bisa kita gunakan untuk melawan dan menghancurkan musuh-musuh kita,” bisik Rose. “Hhmm ... tapi apa kamu yakin?” “Yakin, Mas.” Gaven menjadi salah tingkah. Ia tidak nyaman tatkala Raymond begitu menatap dan memperhatikan Gaven dengan saksama. “Siapa namamu, anak muda?” Raymond akhirnya bersuara. “Ma—maaf, saya Gaven, Pak. Gaven Althair.” “Gaven ... nama yang bagus. Kamu lulusan apa?” “Saya sedang kuliah, Pak. Akan tetapi semester ini saya tengah mengurus istirahat sementara, karena orang tua saya tidak sanggup membayar uang kuliah saya. Pandemi yang terjadi membuat ke dua orang tua saya kehilangan pekerjaan mereka.” Gaven tertunduk, ia bersedih. “Apa benar yang dikatakan istri saya? Apa kamu memiliki kekuatan istimewa?” Raymond mulai mendekat. Ia tertarik dengan sikap sopan santun yang dimiliki Gaven. “I—iya, Pak.” Gaven kembali tergagap. “Mengapa kamu gugup?” “Maaf, saya sudah berjanji kepada orang tua saya untuk tidak menggunakan kekuatan itu. Namun, apa yang sudah dilakukan oleh pengawal istri anda, itu sudah berlebihan. Saya menjadi tersulut emosi, maaf ....” Gaven tertunduk. “Hahaha ... jangan merasa sungkan seperti itu, Gaven. Justru itu bagus untukmu, kamu jadi bisa bekerja dengan kami. Kamu bisa membantu perekenomian ke dua orang tuamu. Bahkan saya pastikan, jika kamu mau bekerja dengan baik, maka kamu akan berlimpah kekayaan.” Raymond mengambil korek yang ada di atas meja, dan mulai menghidupkan rokok miliknya. “Maksud anda? Apakah ada pekerjaan lain selain mengawal dan menyupiri istri anda?” Gaven kebingungan. “Hahaha ... ada pekerjaan yang lebih baik lagi dengan gaji yang lebih besar. Aku bisa saja memberimu dua puluh hingga tiga puluh juta sebulan.” “Oiya? Pekerjaan apa?” “Nanti akan kita bicarakan. Sekarang saya tinggal dulu, silahkan kamu membahas masalah pekerjaanmu dengan istri saya. Untuk kerja sama kita, saya akan panggil lagi nanti untuk membahas pekerjaan dan gaji yang akan kamu terima.” “I—iya, Pak.” Raymond pun berlalu meninggalkan Rose dan Gaven di ruangan itu. Gaven masih kebingungan, sementara Rose menatap pemuda itu dengan senyuman. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD