Kerudung Fatma yang Basah

1124 Words
"Oh, nggak Fatma. Alhamdulillah dibantu Bulek jadi ada yang bantu diemin. Oya, apa tadi hujan? Kenapa kerudung kamu basah, Fat?" "Oh, ini. Aku keringetan aja Mbak. Muter-muter pasar. Hehe." Wanita itu memegangi kerudungnya. Aku manggut-manggut. "Syukurlah. Aku takut kamu sakit karena kehujanan." "Oya kalau gitu aku pamit ke dapur, bantu Ibu. Nanti kalau ada apa-apa panggil aku aja." "Ya, makasih." Senyumku terkembang. Ku perhatikan gadis yang punggungnya menjauh itu. Gadis yang dulu masih anak-anak, kini telah dewasa. Tapi kalau dipikir, tubuhnya berbeda jauh dari setahun lalu terakhir kami bertemu. Lebih berisi dan ... kenapa bagian dadanya terlihat sama denganku yang sedang menyusui? Atau ... Karena memang postur seseorang bisa berubah? Padahal sudah melewati masa pubertas. Ah, entahlah. Kenapa aku sibuk menilai fisiknya. Mungkin karena dia makannya lebih banyak, jadi BB nya pun naik. Kuraih cemilan di nakas yang Fatma belikan. Sekitar sepuluh menit, Mas Sabil datang. Aku pun meletakkan cemilan itu, dan bersiap menyambutnya dengan senyuman. Anak-anak juga masih pulas. Semoga setelah ini, pria itu tak lagi marah-marah seperti sebelumnya. "Assalamualaikum." Mas Sabil masuk ke dalam kamar. "Waalaikumsalam." Aku tersenyum. Namun, senyum itu memudar saat melihatnya terlihat segar. Sangat berbeda dari biasanya. "Apa kamu habis mandi, Mas? Kok rambutmu basah?" Aku bertanya begitu, karena pakaiannya tak basah dan hanya rambutnya saja. "Ahm, i- iya." Pria itu menjawab ragu. Sejak kapan dia bisa terlihat tak enak begitu di depanku. sekali, apa ini kebetulan? Fatma dan Mas Sabil datang hampir bersamaan dan dua-duanya .... Ish mikir apa, sih aku?! ___________ Kenapa ini sangat kebetulan. Mas Sabil dan Fatma datang hampir berbarengan dan dua-duanya ... memiliki keanehan. Sama-sama basah. Ish, mikir apa sih, aku? Dua-duanya orang baik. Mana mungkin pria yang memiliki idealisme seperti Mas Sabil berkhianat? Apalagi kondisi istrinya sakit setelah melahirkan caesar. "Kamu udah makan?" tanya Mas Sabil, seolah tengah mengalihkan perhatian. Kuanggukkan kepala pelan. Tentu saja aku sudah makan, ada Bulek yang sangat telaten memasak untukku. Hanya saja aku tak fokus pada pertanyaan itu, pikiranku masih terganggu oleh kebetulan-kebetulan tadi. Sikap pria ini juga aneh. Dia jadi kalem begini. Atau mungkin karena tak sesetres biasa saat pulang. Dalam seminggu ini, Mas Sabil saat pulang dari toko, biasa disambut dengan tangisan bayi, popok kotor yang menumpuk. Belum lagi makan seadanya yang dibeli di luar. Juga ditambah membantuku ke kamar mandi. Yah, tentu saja lelahnya berlipat-lipat. Aku tahu bagaimana pekerjaan di toko. Satu-satunya peninggalan Bapak untukku itu, menjadi sumber mata pencaharian kami. Berkat toko itu juga, kami bisa renovasi rumah, beli mobil dan terkahir tabungan kami buat biaya bersalin yang ternyata di luar ekspektasi. Karena itulah kami harus bekerja keras setelah habis-habisan setelah membayar biaya itu. Mas Sabil jadi tetap giat bekerja, mengelola toko itu sendiri. Sejak meninggalnya Bapak, aku sempat membayar pegawai untuk menjaganya. Dan setelah menikah, Mas Sabil lah yang mengelolanya, sementara aku bekerja sebagai seorang guru. Hingga akhirnya memilih resign saat tahu bayi dalam kandunganku kembar. Mungkin karena ada gen Mas Sabil, yang juga punya kembaran, anak kami pun ditakdirkan sama. Bedanya jika mereka berdua sama-sama laki-laki, anakku kembar perempuan, padahal suami sangat menginginkan anak laki-laki. Pria yang kembar identik dengan Mas Sabil itu kini ada di Kalimantan. Wajahnya sangat mirip, sama-sama tampan. Katanya usaha propertinya tengah berkembang. Kabar terakhir yang aku dengar, istrinya akan melahirkan. Sayang hubungan di antara kami tidak begitu baik. Meski Nabil, adik Mas Sabil itu pria baik, tapi istrinya subhanallah .... judes dan pencemburuan. Dia tak segan memusuhiku hanya karena cemburu. Hingga kami memutuskan saling menjauh ketimbang saling menyakiti. Dulu ... padahal saat kami menikah, bergantian saling membantu. Aku bisa paham, kelelahan jadi pemicu Mas Sabil yang dulu bersikap dingin, beberapa bulan ke belakang cenderung bicara kasar dan menyakiti hati. Ya, dia dingin. Karena aku tahu, dia menikahiku sebagai pelarian. Sayang saja aku tak pernah tahu siapa mantannya? Wanita yang putus menikah dengannya karena sesuatu hal. Entah apa? Kadang aku berpikir, apa dia memang tak pernah mencintaiku dan hatinya hanya untuk mantannya saja? Itu kenapa dia dingin, dan sekarang kasar ucapan. Bahkan bisa dihitung jari nafkah batin yang Mas Sabil berikan untukku. Namun, meski begitu aku berusaha sabar. Karena dulu jatuh cinta untuk kali pertama melihatnya. Saat itu pula aku berjanji, jika kelak Allah takdir kan kami bersama, aku akan jadi istri yang sholehah. Bukan hanya bersikap lembut pada suami dan setia, tapi juga penurut dan sabar. Untung saja, setelah meminta tolong, Bulek dan Fatma, mereka mau datang. Aku sangat bersyukur. Keberadaan mereka, sangat membantu ternyata. Bahkan baru sebentar sikap Mas Sabil langsung berubah. Pria tampan itu melepas jaket yang membalut tubuhnya dan menaruh di tempat biasa. Meletakkan hape di nakas yang dikeluarkan dari kanton jaket itu. Berdiri sebentar melihat dua bayi kami. Tanpa ekspresi, seperti biasa. Ia menghela napas dan beranjak akan keluar. Melihatnya begitu, ada sesuatu yang membuat hati ini terasa nyeri. Entah, sampai kapan sikapnya begitu? Bisa menerima kehadiran anaknya yang bukan laki-laki. "Mau ke mana, Mas?" Pria itu tak menoleh. "Aku lapar." "Mas, sebentar!" panggilku agar ia berbalik menghadapku dan mendengarkan semua ucapanku. "Hem. Ya?" Mas Sabil berbalik, hal itu membuatku tersenyum. Senang sekali rasanya diperhatikan. "Oh. Ya. Bukankah seharusnya kita mengadakan tasmiyah dan memberi nama untuk kembar?" "Oh, soal itu. Kita tunggu kamu sembuh dulu. Aku gak mau merepotkan Bulek dan Fatma. Mengurusmu dan anak-anakmu saja, pasti mereka sudah sangat lelah. Apalagi kalau sampai ada acara." Hem. Aneh Mas Sabil ini. Kenapa malah mikir gitu? Kan bisa minta bantuan orang. "Kan bisa catering, Mas." "Lim, kita itu baru habis-habisan loh. Aku harap kamu ngerti itu. Jadi perlu jeda untuk mengumpulkan uang." Jadi itu alasannya. Masuk akal, sih. "Oh, ya. Benar. Maaf, Mas," ucapku lemah. Merasa bersalah karena membuat bebannya bertambah-tambah. "Kamu, pikirin saja dulu nama untuk mereka," ucapnya kemudian sembari berlalu pergi. Detik kemudian langkahnya kembali terayun meninggalkan kamar kami. Aku akan meraih ponselku sendiri. Rasanya sudah lama sekali tak membuka sosial media dan pesan chat. Bukan hanya terlalu sibuk mengurus anak dan diriku sendiri, rasa lelah membuatku tak berselera membuka-buka benda pipih itu, meski kadang ada sedikit waktu-waktu senggang. Namun, belum lagi ponsel itu kuraih, ponsel Mas Sabil bergetar di sampingnya. Tak membuang waktu, kuangkat lebih dulu panggilan itu. "Halo, assalamualaikum," sapaku pada orang di ujung telepon. Entah siapa, karena nomor baru, tak ada nama kontak yang disematkan di sana. "Waalaikumsalam." Suara berat seorang pria terdengar di ujung telepon. "Masnya ada Mbak?" "Mas Sabil?" "Benar. Eh, ya bukan, ya. Tadi yang ketemu sama saya di pasar." Pria itu menyambung ragu. Mungkin pelanggan Mas Sabil yang baru. Makanya nomornya belum sempat disimpan juga. "Oh ya, benar berarti," sahutku. "Ada yang bisa saya bantu? Suami saya ada di belakang, apa perlu saya panggilkan?" "Oh, istrinya? Saya pikir Kakaknya soalnya suaranya beda dengan yang tadi." "Hah?" Ada sesuatu yang menyentakku. Berbeda dengan yang tadi? Apa maksudnya? Kami kan tadi tidak ketemu. Next ya Kakak ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD