Menyalahkan Orang Baik

1280 Words
Aku terdiam. Dan berusaha mengalihkannya dengan menggnedong sulung kemudian menyusuinya. Namun, Bulek tak terima dan mengejar jawabanku. Wanita tua itu segera duduk di sisi ranjang, memiringkan tubuh menghadapku. Mataku hanya bisa menangis tanpa berani menatapnya. Detik kemudian, Fatma mendekat dan menarik tangan Bulek. "Sudah Bund. Jangan dibahas, kita pergi saja." Fatma menggeleng kepala. Saat melihat ke arah matanya, dua mata gadis itu sudah menangis. Ya Tuhan, baru sekarang Fatma meminta bundanya meninggalkanku. Waktu terjeda. Hening. Bulek menatap kami secara bergantian. Waktu-waktu itu cukup memberi kesempatan sulung untuk kembali tidur. Tampaknya Bulek juga sengaja menunggu bayi itu tidur. Aku pun meletakkannya. "Halimah, Bulek sangat mengenalmu, Bapak dan Ibumu. Mereka baik, dan Bulek tak mau membalas kebaikan mereka dengan keburukan yang menyakitimu. Percayalah ... Fatma tak mungkin merebut suamimu. Bulek bisa jamin." Bulek menatapku dalam-dalam. Dalam penglihatanku yang berembun karena dihalangi air mata, bisa kulihat keseriusan di sana. Kulirik sebentar, Fatma yang berdiri tak jauh dariku. Kepalanya menunduk dengan bahu yang berguncang hebat. Dia juga menangis. Melihatnya membuatku merasakan sakit. Bagaimana gadis pendiam dan pemalu itu harus selalu menjadi pelampiasan kekesalan dan kemarahanku? Dia bahkan sekarang bertahan di sisiku, tak kabur atau berlari mengejar Mas Sabil. Harusnya itu cukup untuk mengguncang hatiku bahwa dia tak mungkin seorang pelakor. Emosi dalam d**a ini semakin membuncah. Ada rasa bersalah begitu dalam. Bisa-bisanya aku mencurigai Fatma yang sangat menyayangiku, dia bahkan memberikan boneka kesayangannya karena melihatku menangis dulu. Dia selalu menolak pria yang mendekatinya karena aku menyukainya dan kini dengan pikiran jahatku mengatakan dia telah berselingkuh dengan Mas Sabil. "Bulek tahu suasana hatimu sedang buruk, Nduk." Bulek menarik tubuhnya. Kenudian menatapku yang menangis. " Tapi tolong ... jangan membenci Fatma. Dia ...." Ucapan wanita itu terhenti. "Dia ...." Suara Bulek kemudian terdengar serak. "Kamu tahu sendiri ... selama ini dia selalu mengalah padamu, kan? Dia selalu menurut perkataan Bulek agar mengalah pada kakaknya, kalau nggak nanti kakak sedih dan pergi dari rumah kita. Dia mengalah karena takut kamu sedih dan kamu tak mau jadi adiknya lagi." Benar yang Bulek katakan. Aku terlalu bodoh! Tak punya hati! Tak tahu diri! Tak tahu terimakasih! Harusnya aku melihat ke belakang, siapa yang memberiku perlindungan saat Ibu dulu meninggal? Bulek yang memeluk dan memberiku kasih sayangnya yang hangat. Sampai aku merasa Ibuku masih hidup. Bulek tak pernah pilih kasih. Jika bisa diungkap, akulah yang mengambil sebagian milik Fatma. Kasih sayang Bulek harus terbagi untukku. Bahkan dia harus sering mengalah untukku setelah Bulek memintanya. "Iya, Bulek. Maaf. Maafkan Halimah." "Fatma ...." Kini aku ingat gadis yang tengah menangis itu. Kiraih tangannya, hingga ia pasrah mendekat. Kupeluk tubuh Fatma yang berisi. "Maaf Fatma, maafkan Mbak, ya." Fatma semakin terisak. Sementara itu kueratkan pelukan ke tubuhnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama sadar, bahwa kami saling menyayangi. Sungguh durjana jika aku berpikir, gadis baik hati itu merebut suamiku! _________ Setelah hanya ada suara isak tangis dalam ruangan, suasana akhirnya hening untuk beberapa saat. "Biar Bulek ambilkan pudingnya lagi." Ibu Fatma bangkit, dari sisi Halimah, sembari menyeka air matanya yang sempat jatuh karena insiden tadi. Halimah terdiam, masih menggenggam kedua tangan Fatma yang berdiri di depannya. Memperhatikan tangan yang dulu sering dipeganginya, saat bermain, saat berjalan pergi bersama, dan saat Fatma membutuhkan perlindungan Halimah. Wanita yang merasakan nyeri beberapa kali di perutnya karena menangis tersedu itu, menyeka air matanya lalu mendongak menatap Fatma yang terdiam dengan mata yang basah dan menunduk. "Kenapa kamu diam saja? Harusnya kamu marah dan maki aku Fatma.". "Maaf, Mbak." Suara serak itu terdengar lirih. "Bukan minta maaf. Kenapa kamu minta maaf? Kamu harusnya memaki, bukan minta maaf." Halimah merasa kesal. Tadinya ia pikir bisa menghajar Fatma dengan kata-kata jahatnya. Namun, Fatma justru membuatnya merasa sangat bersalah. Setidaknya jika gadis itu tak bersalah, di harus balik memaki. Dengan begitu, Halimah tak berdosa karena memfitnah orang baik-baik. Fatma mengangguk beberapa kali. "Iya, maaf." Lagi, suara itu terdengar. Ia kemudian pergi karena tak bisa mengendalikan hati, ada sesuatu yang menyesakkan d**a dan membuat matanya terus terasa panas. Hingga air mata itu terus leleh membasahi pipi. Halimah membuang napas dengan berat. Berkali. Meski rasa bersalah itu begitu besar, ia juga merasa senang sekaligus lega. Tak ada hubungan terlarang yang ia tuduhkan pada suami dan adik sepupunya. Dua orang itu sangat berbeda sikap, tapi Halimah begitu mencintai mereka. Jangan sampai apa yang dipikirkannya. Halimah merasa tak akan kuat menghadapinya. Sementara Fatma terus bergerak, menjauh. Sejauh-jauhnya dari Halimah, agar bebas melampiaskan semua yang dirasa hatinya. Satu-satunya tmpat yang dituju adalah kamar. Sampai di sana, gadis berparas cantik itu menangis sejadi-jadinya. Bahkan saat ia marah dan disalahkan pun, ia tak akan balas memaki dan mengeraskan suaranya di depan Halimah. Apalagi ketika berada di kondisi sekarang .... Di ruangan yang paling dekat dengan dapur itu, Halimah tak mungkin bisa mendengarnya. Karena posisinya jauh dari kamar paling depan. Belum lagi suara murottal yang sengaja distel, dan diperdengarkan pada si kembar oleh kedua orang tuanya, membuat suara di kejauahan tak terdengar. Sang Ibu yang membawa nampan berisi puding di tangan, berhenti di depan pintu kamar, tempat mereka istirahat selama berada di rumah Halimah. Pintu kamar itu terbuka separuh. Menatap dengan hati miris perih ke arah anaknya yang tengah menangis tersedu sendirian di dalam kamar. Namun, mau bagaimana lagi. Tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Bahkan jika waktu diputar ... wanita itu akan tetap menikahkan Halimah dengan Sabil. Pria yang dulu menurutnya baik dan akan menjadi imam yang baik bagi Halimah kelak. "Maafkan Ibu Fatma," gumamnya. Ibu Fatma mendesah panjang, sambil menahan air mata yang sudah kembali menggenang agar tak jatuh ke pipi. Ia kemudian memilih pergi, mengantarkan makanan untuk Halimah. Meski sebenarnya ia juga sangat ingin memeluk puterinya dan menenangkan. Memberinya kehangatan kasih sayang seorang ibu. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dilakukan. Datang pada Halimah. Memberinya makanan, dan bersikap seolah tak terjadi apa pun. _______________ Sabil keluar rumah dengan emosi. Tak menyangka harus berdebat panjang dengan Halimah, di depan Fatma dan ibunya pula. Yang lebih membuatnya syok, wanita itu tak pernah sekali pun meninggikan suaranya di depan Sabil. "Lagian kenapa juga dia buka-buka hapeku tanpa izin, sih? Kan begini jadinya. Ya Tuhan ...." Pria itu mendesah panjang. Kesal rasanya. Meski Sabil sendiri, sudah mempersiapkan hari ini datang. Sejak awal ia sudah menduga, bahwa semuanya akan terungkap cepat atau lambat. Apalagi wataknya yang sulit menyembunyikan perasaannya sendiri. Sampai di dalam mobil dan menutupnya. Memastikan tak ada siapa pun yang akan melihat atau pun mendengarnya melakukan sesuatu. Kemudian dirogoh ponsel dalam sakunya. "Lagi pula aku belum tahu apa dia mau tinggal di rumah itu, ah Mas Yono ini. Aku sudah bilang akan menelepon, kalau jadi baru urusan transfer mentransfer. Eh, malah main kirim nomer rekening saja. Mana ketahuan Halimah lagi," gerutunya. Dikirim lebih dulu chat pada Yono sebelum melakukan panggilan. [Iya, Mas saya pastikan dulu ke orangnya.] Send. Kemudian menghubungi nomor lain, untuk memutuskan mengambil rumah itu atau tidak. "Assalamualaikum, kamu di mana?" "Waalaikumsalam. Masih di Bandara lah Bang." Suara di ujung telepon menjawab. "Di mana? Bandara Soekarno Hatta?" "Elah, ya masih di kotaku." "Huft. Kukira ambil penerbangan pagi. Pantes aja gak sampe-sampe," keluh Sabil. "Iya, ada sedikit masalah. Sebelum pergi aku harus benar-benar memastikan asetku aman sebelum datang ke sana." "Ya, ya. Maaf, ya. Malah merepotkan kamu." "Huum. Santai ajalah. Sepertinya ada masalah besar." "Ya, sangat besar. Sampai aku tak bisa mengatasinya sendiri." "Oke. Aku tutup dulu, Bang. Aku harus check in. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Sabil mendesah. Merasa lega. Semoga semua rencananya bisa menyelamatkan pernikahannya. Walau harus ada hati-hati yang dikorbankan, tapi ini demi si kembar. Selesai berbincang dengan orang di ujung telepon, ia pun menulis pesan penting untuk seseorang. "Hati-hati, ya. Naruh ponsel. Maaf untuk yang tadi. Kita keluar malam ini gimana?" Sabil tersenyum saat menulis pesan itu. Ia merasa berdebar setiap kali berinteraksi dengan pemilik nomor tersebut. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD