Chapter 54

2667 Words
          Kami terdiam mendengar cerita dokter Akar. Masih sulit untuk di percaya kalau semua berubah sebegitu cepatnya. Hanya dalam satu malam saja. Berubah dengan begitu drastis, sulit untuk di percaya. Tapi itulah yang terjadi hari ini.             “Maaf kalau saya seperti pecundang yang kabur begitu saja. Saya malah menyelamatkan diri sendiri, saya egois,” gumam dokter Akar. Dokter Akar menundukkan kepalanya. Rendra menepuk bahu dokter Akar pelan.             “Gak dok. Bukan salah dokter. Saya rasa yang dokter lakukan ini sudah benar,” ujar Rendra. Aku dan Kara mengangguk setuju.             “Iya, kalau dokter juga terinfeksi, lantas siapa yang bakal obati mereka?” tanyaku.             “Sesekali kadang kita perlu sedikit egois, yah demi kebaikan semua,” timpal Kara. Dokter Akar mendongak. Ia menatap kami dengan mata penuh binar. Dokter Akar mengusap air matanya yang turun. Ia tersenyum tipis.             “Kalian benar,” gumamnya. “Makasih. Saya jadi semangat lagi. Saya berjanji, akan menemukan penyebab dari semua ini dan mengobati mereka semua hingga sehat seperti semula,” pinta dokter Akar. Ia menepuk dadanya pelan.             “Ya, semangat dokter! Kami akan dukung dokter!” timpalku. Aku mengepalkan tanganku dan melayangkannya di udara. “Ayo semangat dokter Akar! Pasti bisa!”             Dokter Akar membalikkan badannya dan menyinggungkan senyum lebar. Ia memeluk kami semua erat.             “Makasih. Makasih banyak kalian. Saya bersyukur bisa bertemu dengan kalian,” gumamnya pelan.             Kami menepuk punggung dokter Akar pelan. Ia orang dewasa yang terjebak dalam situasi sulit dan membutuhkan dukungan dari orang lain. Saat seperti ini, terlalu egois sepertinya akan merubahmu menjadi zombie.             “Anu dok, dok bisa lepas pelukannya gak?” tanya Rendra. “Sesek nih dok, keteken ama seat belt,” lanjut Rendra. Dokter Akar melepaskan pelukannya.             “Ah maaf.”             Rendra melepaskan seat belt dan menarik napas dalam- dalam dan membuangnya. Sebuah notifikasi dari maps memecahkan keheningan sesaat ini.             “Kalian sudah tiba di tujuan. Harap tidak meninggalkan mobil tanpa terkunci, terima kasih.” ****             Mobil berhenti otomatis begitu tiba di tempat. Kami menatap keluar melalui jendela dan melongo. Mobil berhenti tepat di sebuah gedung yang tampak sangat lusuh. Tak ada papan reklame di sana yang menunjukkan gedung apa itu. Cahaya lampu luar juga remang- remang. Sampah kertas berserakan di luar sana, terbang terbawa angin.             “Ini tempat apa?” tanyaku.             “Mungkin gedung kosong yang udah di tinggalin,” jawab Rendra. Ia mematikan mode autopilot dan membuka kunci pintu mobil. “Ayo kita keluar.”             Aku membuka pintu mobil. Aku melangkah keluar dengan ragu. Suasana mencekam sangat terasa di sini. Semua keluar dari mobil dan berdiri di depan gedung. Aku mendongak menatap gedung berlantai 5 ini. Aku menelan ludah. Ini beneran tempat yang aman?             “Yakin aman?” tanya Kara. “Agak mencurigakan,” lanjutnya.             “Ayo kita masuk,” ajak Rendra. Ia membuka pintu dan masuk lebih dulu ke dalam. Kami saling bertukar pandang dan menyusul Rendra.             “Hah heh Ren, tunggu! Yakin aman nih?” tanya Kara. Rendra tidak menggubrisnya. Ia terus berjalan. Pintu terbuka otomatis dan kami melongo.             Memang benar tidak boleh menilai dari luarnya saja, karena ya itulah yang terjadi pada gedung ini. Bagian luarnya boleh kumuh, tapi bagian dalamnya sangat mengagumkan! Lampu gantung yang menghiasi langit- langit sangatlah mewah, menyinari ruangan yang semuanya berwarna emas berkilau. Hampir semua ornament berhiaskan emas.             “Wow,” gumam kami bersamaan.             “That’s amazing!” ujar Kara. Semua mengangguk setuju. Kalau begini mah, kesan mencekam dan menakutkan tadi seketika hilang. Aku memantapkan langkah untuk masuk lebih dalam. Setiap inchi dari tempat ini berhasil membuatku kagum.             “Permisi … apa ada orang?” tanya kami begitu tiba di meja resepsionis. Tak ada respon. Kami mengintip ke dalam sana. Sepertinya tak ada orang. Tapi kenapa tempat ini seperti sangat terawat?             “Selamat datang,” ujar seseorang yang muncul dari bawah meja. Kami tersentak kaget. Seorang wanita berdiri di depan sana, wajahnya yang cantik semakin cantik dengan senyum yang menyinggung di wajah mungilnya.             “Selamat datang. Perkenalkan, nama saya Mitha. Ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan yang bernama Mitha itu. Senyum ramah tersungging di bibirnya.             “Anu, apakah tempat ini penginapan?” tanya dokter Akar.             “Iya pak. Ini hotel Akuna, hotel bintang 5 yang sudah berdiri sejak 20 Maret 2040. Hotel kami mengutamakan pelayanan yang mandiri dengan fasilitas yang mewah dan harga yang miring agar semua kalangan bisa menikmatinya,” jelas Mitha. Dokter Akar mangut- mangut.             “Apakah masih ada kamar yang kosong saat ini?” tanya dokter Akar sambil melihat list kamar yang tersedia.             “Untuk saat ini semua kamar sedang kosong pak,” jawab Mitha. Dokter Akar terpenjat, lalu mangut- mangut.             “Bisa kosong semua gini ya,” bisik Kara di belakang.             “Jadi bapak sekalian, mau pesan kamar yang mana? Kami juga menyediakan suite room untuk family.” Mitha menunjukkan sebuah gambar dari brosur yang ada di meja.             “Suite room untuk family?” tanya dokter Akar. Mitha mengangguk.             “Iya pak. Jadi ini ruangannya besar seperti apartemen, ada 3 dan 4 kamar di dalamnya, juga ruang tamu, meja makan, ruang keluarga dan balkon dengan sofa. Jika anda ingin memesan ruangan ini, ada 2 pilihan, untuk 3 kamar atau 4 kamar, balkonnya dengan sofa atau hanya kursi kecil dengan meja. Bisa anda pilih sesuai dengan kebutuhan. Saya sarankan anda memesan ruangan ini, karena cocok untuk anda dan anak- anak anda,” jelas Mitha panjang lebar. Kami tercekat mendengar perkataan Mitha di akhir. Aku, Rendra, dan Kara saling bertukar pandang. Bisa- bisanya kami di anggap anaknya dokter Akar. Kenal juga baru.             Dokter Akar tidak terlalu menanggapi perkataan Mitha. Ia hanya mangut- mangut sambil melihat brosur yang di tunjuk. Ia menompang dagunya.             “Agaknya begini lebih bagus deh, daripada kamarnya terpisah- pisah. Kalau ada apa- apa gak repot. Gimana menurut kalian?” tanya dokter Akar sambil membalikkan badannya menghadap kami.             “Anu, kami terserah aja sih dokter. Tapi ya kami juga gak banyak duit, maklumlah masih anak sekolah,” jawab Rendra. Dokter Akar berdecik dan melambaikan tangannya.             “Udah gak usah khawatir masalah biaya,” ujar dokter Akar. Ia mengeluarkan kartu berwarna hitam legam dari kantongnya. “Saya bayarin. Aman. Tenang aja kalian, saya jamin semua deh selama kalian bareng saya,” lanjut dokter Akar.             Kami menatapnya dengan tatapan kagum dan bertepuk tangan. Syukurlah, seengaknya selama masa begini, hidup kami tidak terlalu luntang luntung dan gembel karena biayanya terbatas.             “Yo, hidup sugar daddy!” ujar Kara. Ia bertepuk tangan semakin kencang. Rendra menjitak Kara.             “Heh! Gak boleh gitu!” tegur Rendra. Kara meringis kesakitan. “Makasih ya papa, udah ajak kami nginap bareng,” ujar Rendra.             “k*****t! Sama aja elu anjir,” gerutu Kara.             “Sudah sudah.” Dokter Akar merelai. “Ya sudah, kita pesan yang 4 kamar aja ya, biar masing- masing ada kamarnya sendiri. Oke?” usul dokter Akar. Kami bertiga mengangguk serempak.             “Baik mbak Mitha, saya pesan suite room family yang 4 kamar ya mbak,” ujar dokter Akar. Mitha mengangguk dan mengetik pesanan kami di komputer miliknya.             “Oke baik pak. Reservasi untuk berapa lama?” tanya Mitha. Kami saling pandang. Kami menginap di sini tanpa rencana, jadi tidak tahu akan bertahan sampai berapa lama.             “Mau berapa lama kita nginap di sini?” bisik dokter Akar pada kami bertiga. Kami mengangkat bahu.             “Jangan jawab semampu saya. Kalau semampu saya, 2 bulan juga mampu,” lanjut dokter Akar. Kami bertiga saling pandang dan membalikkan badan. Kami berembuk untuk mengambil keputusan.             “Gimana? Jadi berapa lama kita nginap di sini?” tanyaku pada Rendra dan Kara.             “Aku juga bingung sih. Kita juga gak tau bisa menetap lama apa enggak di sini kan,” jawab Rendra.             “Tapi kalau tinggal sebentar di sini kasian banget. Gak bisa ngerasain semua fasilitas yang ada di sini,” timpal Kara. Aku dan Rendra menatap Kara dengan tatapan tajam. Ini anak, bener- bener deh gak mau rugi banget. Kara yang di tatapi hanya mengernyitkan alisnya.             “Kenapa? Kalian juga pasti tertarik kan dengan semua fasilitas yang ada di sini?” tanya Kara. Yah …             “Ya .. gak salah sih memang. Tapi kalau kelamaan kita di sini juga gak enak deh sama dokter Akar, udah di bayarinnya full,” ujar Rendra.             “Jadi gimana? Udah tau berapa lama?” tanya dokter Akar. Ia melongokkan kepalanya di tengah kami. Kami tersentak kaget dan balik badan.             “Hah heh … kayaknya 3 hari aja deh dok. Kita kan kayaknya bakal lanjut jalan lagi gak sih,” jawab Rendra sambil menyikut aku dan Kara. Aku dan Kara mengangguk serempak.             “Iya dok, 3 hari aja. Kan kita mau bantu dokter meneliti juga kan?” timpalku. Kara dan Rendra mengangguk setuju. Kami bertiga nyengir lebar.             “Oke ya sudah,” gumam dokter Akar. Ia membalikkan badannya dan kembali ke meja resepsionis. Kami mengikuti dari belakang.             “Baik mbak Mitha. Kami reservasi kamarnya untuk seminggu,” ujar dokter Akar. Kami melotot mendengarnya. Seminggu?             “Baik. Untuk seminggu ya,” ulang Mitha. Ia mengetik pesanan di komputer, setelah itu memberikan kunci ruangan pada dokter Akar.             “Bakik pak ini kuncinya. Selamat istirahat dan menikmati pelayanan kami,” ujar Mitha ramah. Dokter Akar menerima kuncinya dan mengernyitkan alis.             “Lah loh, saya belum bayar reservasi kamarnya mbak,” ujar dokter Akar.             “Ah sebelum masuk kamar, sebaiknya kalian scan sidik jari kalian di sini.” Mitha menggubris pernyataan dokter Akar. Ia menunjukkan ke sebuah alat pemindai sidik jari. Kami memindai sidik jari kami di sana satu persatu. Hasil dari sidik jari langsung terhubung ke komputer di meja resepsionis. Mitha mangut- mangut melihat hasilnya.             “Oke baiklah. Kali ini saya yakin kalian sehat dan tidak terinfeksi dengan penyakit misterius di luar sana,” ujar Mitha.             “Iya, memang mbak. Tapi mbak, saya belum bayar biaya reservasi mbak …” Dokter Akar kembali memberitahu.             “Kalian tidak perlu membayarnya. Semua yang ada di sini gratis. Kalian bebas gunain fasilitas apa aja yang ada di sini,” ujar Mitha. Kami melongo. Gratis? Semuanya?             “Tapi … kok bisa …?” tanya dokter Akar terbata. Mitha mengangguk.             “Ya, bisa. Untuk saat ini, kami memberikan pelayan gratis kepada siapa saja. Kami menjamin keamanan di sini. Kami yakin tidak akan ada zombie yang datang di sini untuk menyerang, karena mereka tidak akan tertarik dengan robot. Semua yang ada di sini menggunakan bantuan robot, termasuk saya,” jelas Mitha. Kami terbelak kaget. Jadi selama ini Mitha itu robot?             Kami menatap Mitha lebih dekat. Kami menyentuh tangan Mitha. Meraba tangannya yang begitu halus. Nyaris tidak bisa di percaya kalau Mitha adalah robot, karena kulitnya begitu mulus dan tampak sama persis dengan manusia. Aku menatap mata Mitha lamat- lamat. Papa pernah bilang, cara membedakan manusia dengan robot AI yang sedang marak saat ini adalah dengan melihat matanya. Mata manusia dan mata robot berbeda jauh.             “Ah, benar. Dia robot AI!” ujarku sambil menunjuk Mitha. Mitha tidak memiliki pupil mata seperti manusia. Mitha mengangguk dengan santun.             “Ya, memang benar. Saya Mitha, saya robot AI yang melayani kalian selama di sini.” Mitha memperkenalkan dirinya lebih. “Selamat datang di hotel Arkuna. Selamat beristirahat. Biar saya antarkan kalian ke ruangan.” ***             Kami tiba di ruangan yang di tuju. Ruangan ini berada di lantai 5 dan terletak paling ujung. Kami naik ke sini menggunakan lift yang super cepat, hanya dengan sekali kedip kami sudah tiba di lantai 5. Mitha mengambil kartu kunci sensor dan menempelkannya di gagang pintu. Setelah terdengar bunyi ‘bip’, barulah pintu terbuka.             Kami melongo sesaat. Benar- benar ruangan ini cukup menakjubkan. Lorong kecil dan sebuah rak sepatu menyapa kami.             “Harap lepaskan sepatu kalian dan menggantinya dengan sandal rumah yang tersedia,” pinta Mitha sambil menunjuk ke rak sepatu. Kami melepaskan sepatu dan menyusunnya dengan rapi di rak sepatu dan memakai sandal rumah yang tersedia. Kami berjalan menyusuri lorong yang dindingnya di hias oleh lukisan besar.             “Nah, ini adalah ruang tamunya.” Mitha memberitahu. Kami melongo sesaat. Kami tidak menyangka bahwa ruangan ini akan begitu besar. Lihatlah, ruang tamunya saja cukup besar dengan sofa empuk yang menemani dan lampu gantung yang bergantung indah di sana. Tanpa basa- basi, Kara langsung mendaratkan dirinya di sofa ruang tamu.             “Wah gilak, ini mah empuk banget!” gumam Kara penuh takjub.             “Ya, saya harap kalian tidak loncat- loncat di atas sofa dengan kaki kotor kalian,” ujar Mitha ketus. “Mari, kita lihat kamarnya,” ajak Mitha.             Kami membuntuti Mitha dari belakang. Kami tiba di kamar yang paling ujung. Mitha kembali menempelkan kartu kunci ke gagang pintu dan pintu terbuka lebar. Sekali lagi, kami di buat terkagum. Sebuah ranjang king size yang megah ada di sana, dengan meja rias berwarna coklat muda berbingkai emas.             “Mari masuk,” ajak Mitha. Kami masuk ke kamar itu. “Ini kamar utama. Kamar ini memiliki closet pakaian tersendiri,” lanjut Mitha. Ia mengajak kami masuk ke dalam closet pakaian. Memang ukurannya tidak terlalu besar, tapi lemarinya hanya bisa di buka dengan kartu kunci yang sama. “Ada beberapa setel pakaian di sini memang, kalian boleh menggunakannya sebebas kalian,” ujar Mitha. Benar, di sana ada baju handuk dan 4 potong piyama yang cantik.             “Sebelah sana, ada kamar mandi dan toilet.” Mitha membuka pintu yang tak jauh dari closet pakaian. Kamar mandinya tak kalah mewah, dengan bath tub yang besar dan ada telivisi tergantung di dindingnya. Kamar mandi ini berhiaskan warna emas yang elegan. Tak hanya bath tub, ada juga shower di sana. Tentu saja ada westafel yang sudah di lengkapi dengan perlengkapan mandi, termasuk bath boom.             “Ada air dingin dan air panas di sini. Kalian bebas memilihnya sesuai keinginan. Kalian tinggal menyentuh saja tombol ini, maka akan keluar airnya sesuai yang kalian mau. Kalian juga bisa menggabungkan keduanya.” Mitha menekan salah satu tombol dan keluarlah uap air panas. Lalu Mitha menekan kedua tombol yang ada secara bergantian dan keluarlah air hangat.             Jam di tangan Mitha berbunyi. Mitha melirik jamnya dan mangut- mangut.             “Maaf, ini sudah waktunya kami istirahat. Sebaiknya kita akhiri saja room tour ini,” pinta Mitha. Kami mengangguk. Mitha mengajak kami kembali ke ruang tamu.             “Ini kunci kalian. Kunci itu udah di namain sesuai kegunaannya. Kalau ada apa- apa, silakan pencet tombol sebelah pintu masuk. Saya akan segera datang,” pinta Mitha sambil menunjukkan sebuah tombol merah di sebelah pintu.             “Saya pamit dulu. Selamat beristirahat.” ***             Kami berkumpul di ruang tamu begitu Mitha keluar dari ruangan. Kami mengelilingi dokter Akar yang menatap kunci di tangannya.             “Jadi, kalian mau pilih kamar yang mana?” tanya dokter Akar sambil menunjukkan kunci di tangannya. Kara menompang dagunya.             “Aku yang mana aja sih jadi kok dok,” jawab Rendra. Kara sibuk menghitung kunci yang ada.             “Hem, gue harus dapat kamar yang bagus. Tadi kunci kamarnya yang mana ya …” gumam Kara.             “Wei, semua kamar bagus kok. Udah deh mana aja,” gerutuku. Kara menatap lamat kunci- kunci itu.             “Aku yang ini aja deh,” ujar Rendra sambil mengambil salah satu kunci. “Oh kamar 1 ternyata. Hem, mana pun deh,” timpal Rendra.             “Aku … hem yang mana ya …” gumamku sambil memperhatikan kartu yang ada di tangan dokter Akar.             “Ya ampun kalian ini. Yang mana aja jadi kok, asal bisa tidur saja,” ujar Rendra memberitahu. Ya, benar juga sih memang kata Rendra.             “Ya sudah aku ambil yang ini deh.” Aku mengambil salah stau kunci di tangan dokter Akar. “Oh, kamar 3,” gumamku sambil menunjukkan kunci.             “Gimana Kar? Udah tau mau kunci yang mana?” tanya dokter Akar pada Kara. Kara masih tak bergeming dan masih sibuk menatap kunci di depannya.             “Bentar dok. Saya harus dapat yang bagus pokoknya!” jawab Kara. Dokter Akar geleng- geleng kepala.             “Ah, kayaknya yang ini bagus deh!” ujar Kara sambil mengambil salah satu kartu di tangan dokter Akar. “Hem, kamar 2. Semoga aja bagus deh,” gumam Kara.             “Oke sudah semua ya? Berarti saya kamar 4 ya,” gumam dokter Akar. “Ya sudah, kalian bawa saja barang kalian ke kamar masing- masing ya. Selamat istirahat.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD