Chapter 57

2402 Words
          Aku bersender di pinggir balkon. Angin sepoi- sepoi di malam hari menerpa badanku. Aku melirik ke bawah sana. Jadi teringat dengan perkataan dokter Akar tadi.             “… Kalau ada apa- apa, kita harus keluar dari sini secepatnya, loncat lewat balkon pun boleh asal selamat aja.”             Aku melirik ke bawah sana. Bulu kudukku merinding seketika. Tak bisa rasanya aku bayangkan untuk loncat ke lantai 5. Tak yakin bisa selamat, kecuali kamu memang bisa parkour. Yah, mungkin bisa saja selamat tapi pasti aka nada lecet yang tak ringa, minimal patah tulang, yang terparah ya tentu saja duluan masuk tanah tanpa sempat hitung dosa.             “Kamu kenapa?” tanya dokter Akar. Aku mengeleng pelan.             “Ah gak apa kok dok,” jawabku. Aku kembali melirik ke bawah. “Saya kebayang aja apa yang dokter bilang tadi, kalau ada apa- apa kita loncat ke bawah. Saya sih gak yakin bakal selamat kalau loncat dari sini,” lanjutku. Dokter Akar tertawa kecil.             “Ya ampun. Bisa- bisanya kamu kepikiran begitu,” ujar dokter Akar. Beliau mengelengkan kepalanya. “Itu hanya hem, seperti sebuah perumpamaan aja. Yah, begitulah. Kalau memang ada apa- apa, kita kan masih bisa keluar dari pintu darurat,” jelas dokter Akar. Ia melirik ke bawah. “Yah kalau lewat sini mah, kayaknya keburu di samperin ama ajal sih sebelum selamat sampai bawah.”             Aku menegak ludah. Ya memang tidak salah sih dengan apa yang dokter Akar katakan. Mereka yang selamat setelah loncat dari lantai 5 adalah orang yang sudah menggunakan seluruh keberuntungannya untuk seumur hidup. Mungkin untuk hidup setelahnya, ia lebih sering di timpa sial.             “Udah udah jangan di tengokin terus ke bawah, nanti jatuh loh,” ujar dokter Akar. Aku tersentak saat sadar aku sudah memanjat pinggiran balkon dan memajukan badanku. Kalau saja pembatas itu tidak tinggi, mungkin aku bisa terjun bebas ke bawah sana. Aku turun dengan hati- hati dan mundur perlahan menjauhi pinggiran balkon.             “Hati- hati, meleng dikit tadi bisa jatuh sih,” celetuk dokter Akar. Jantungku berdebar kencang. Aku mengatur napasku yang sudah satu dua karena shock.             “Hei tenang, kamu masih selamat. Lihat, kamu sekarang udah di sini. Udah duduk dulu deh biar agak tenang,” pinta dokter Akar. Beliau menuntunku untuk duduk berselonjor di kursi santai. Aku menarik napasku lebih pelan agar lebih rileks.             “Hampir dok. Hampir aja tadi saya lompat, kalo gak dokter bilang mungkin udah wassalam,” gumamku. Dokter Akar mangut- mangut.             “Udah udah, lain kali lebih hati- hati aja. Jangan bengong kalau berdiri di pinggir balkon itu.” Dokter Akar mengingatkan. Aku mengangguk pelan. Dokter Akar melirik jam tangannya. “Kita masuk aja yuk, udah agak malem,” ajak dokter Akar. Beliau menuntunku untuk bangkit dari duduk.             “Iya dok, ayo kita tidur.” ***             Kara dan Rendra duduk berdua di ruang tamu sambil menonton film di televisi. Semangkuk popcorn menemani mereka. Dokter Akar menghampiri mereka.             “Kalian nonton apa nih?” tanya dokter Akar sambil mengambil segenggam popcorn. Mereka tak menggubris pertanyaan dokter Akar.             “Nonton apaan sih kok fokus banget …” gumam dokter Akar. Beliau melirik ke televise dan tercengang saat melihat ada adegan kissing di atas ranjang yang terpampang di sana. Aku terkesiap kaget. Dokter Akar mengambil remote dan langsung mematikan TV tersebut.             “Yah … dokter …” gerutu Kara dan Rendra berbarengan.             “Heh! Kalian nonton apaan itu hah, ada adegan kissing nya segala! Di atas ranjang pula! Nonton film ena ena kalian ya?!” terka dokter Akar.             “Ih apaan sih dok! Siapa juga yang nonton film begituan?!” protes Kara.             “Kami lagi nonton film horror loh dok! Dih dokter ini, lagi seru juga!” timpal Rendra.             “Apaan film horror kok isinya adegan ranjang begitu? Kan kalian bisa skip lewati bagian begituan!” bantah dokter Akar.             “Yaelah mana seru dok!” gerutu Kara dan Rendra berbarengan.             “Mana ngerti nanti jalan ceritanya kalau begitu!” timpal Kara. Rendra mengangguk setuju.             “Halah alasan! Udah gak ada lagi nonton film! Kalian itu masih kecil, belum cukup umur untuk liat adegan begituan!” bantah dokter Akar. Kara memanyunkan bibirnya.             “Udah cukup umur aku kok dok, kan udah punya KTP,” gumam Rendra pelan.             “Ya, tapi kamu belum 20 ke atas kan umurnya? Ya sama aja tandanya masih kecil! Masih gak pantes nonton begituan!” bantah dokter Akar lagi. “Udah sana kalian tidur! Gak ada nonton lagi!” perintah dokter Akar.             “Ih dok, masa jam segini udah tidur. Memangnya kami anak kecil apa,” gerutu Kara.             “Memang! Bagi saya kalian masih anak kecil! Udah sana tidur, gak ada tidur lagi!” perintah dokter Akar. Kara diam- diam hendak mengambil remote yang di taruh tak jauh dari dirinya. Tapi keburu di ambil lagi oleh dokter Akar. Beliau menatap tajam Kara.             “Gak. Gak ada nonton lagi! Jangan macam- macam kalian!” ujar dokter Akar tegas. Ia menarik kabel colokan televisi dan menaruh remote di lemari paling atas. “Udah, sana masuk kamar. Ngapain lagi kalian di sini?!” perintah dokter Akar. Kara dan Rendra berdecak sebal. Mereka bangkit dengan malas.             “Ck, dokter ini ganggu aja,” gerutu Kara.             “Tau tuh, lagi seru juga!” timpal Rendra. Mereka masuk kamar masing- masing dengan langkah yang gontai. Aku cekikian melihat tampang mereka yang manyun. Dokter Akar geleng- geleng kepala dan menghampiriku.             “Kamu tadi nonton juga ya?” tanya dokter Akar.             “Eh anu … gak sengaja sih …” jawabku terbata. Dokter Akar menghela napas.             “Hadeh memang deh mereka. Pokoknya kamu jangan sampek deh ya nonton film begituan, meski udah cukup umur. Ngerti?” tanya dokter Akar. Aku mengangguk.             “Yah gak sukak juga sih,” jawabku.             “Bagus. Udah kamu juga pergi tidur sana. Ini udah malam loh, udah waktunya anak- anak tidur,” perintah dokter Akar lembut.             “Iya dok. Aku masuk kamar dulu. Malam dokter,” pamitku.             “Ya, malam juga Althea.”             Dokter Akar jalan menuju kamarnya. Aku pun begitu. Aku menutup pintu kamar dan menguncinya, lalu merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Aku menatap langit- langit kamar. Ah, masih saja aku mengagumi setiap sudut dari kamar ini. Tempat tidurku ini tipe tempat tidur tuan putri yang punya tiang di keempat sisinya dan di lengkapi dengan kelambu yang menjuntai. Sewaktu kecil, aku suka dengan tempat tidur seperti ini. Aku sering memohon pada papa untuk membelikan tempat tidur yang seperti itu, tapi papa agaknya salah tanggap dan malah membelikanku kelambu untuk tempat tidur. Selama 3 hari aku ngambek dengan papa. Aku baru memaafkan dan melupakan hal itu saat papa membawaku jalan- jalan ke kebun binatang.             Aku tersenyum kecil mengingat hal itu. Hah, bisa- bisanya aku ngambek hanya karena masalah seperti itu saja. Yah, mungkin karena namanya anak- anak ya jadi begitu. Tapi sekarang aku bisa merasakan punya tempat tidur seperti itu, yah walau hanya sementara. Tak apa, setidaknya satu dari impian kecil yang konyol bisa terwujud.             Aku berguling di kasur. Aku belum mengantuk, sebenarnya. Aku bosan di dalam kamar, tapi dokter Akar pasti akan ngomel kalau tahu aku keluar kamar. Baru kali ini aku melihat dokter Akar ngomel, karena biasanya beliau lembut. Tapi yah, omelan beliau juga hanya omelan biasa yang tutur katanya masih terjaga. Lagipula, yang di lakukannya juga tidak salah kok. Aku geleng- geleng kepala tak habis pikir. Bisa- bisanya Kara dan Rendra santai banget nonton begituan di televise besar begitu. Kalau aku jadi mereka sih, aku lebih memilih untuk menontonnya sendirian saja, lewat mr. communicator.             “Oh ya, mr. communicator!” gumamku. Aku bangkit dan meraba setiap sudut kasur. Aku baru sadar kalau seharian ini belum memegang mr. communicator. Biasanya aku hampir tidak pernah lepas dari mr. communicator, udah setia sejantung sehati banget deh pokoknya. Mr. communicator tak ada di kasur. Aku turun dari kasur dan mencari di setiap sudut kamar. Akhirnya aku berhasil menemukan mr. communicator di meja rias.             Aku menghidupkan mr. communicator, tapi tak kunjung menyala jua. Aku coba mengingat kapan terakhir kali aku charger mr. communicator. Baterai mr. communicator bisa tahan selama 5 hari jika jarang di gunakan dan akan bertahan 3 hari jika sering di gunakan. Tahan lama memang. Tapi ya sesuai lah dengan daya charger yang juga lama, kurang lebih 9 jam untuk penuh.             “Kayaknya sih terakhir charger kapan ya .. 4 hari lalu apa?” tanyaku pada diri sendiri. “Yah pantes aja sih mati,” gumamku.             Aku meraba wallpaper dinding. Biasanya di setiap gedung udah di sediakan charger mr. communicator yang menempel di dinding. Ya, tinggal temple saja mr. communicator ke dinding dan voila! Akan penuh dengan sendirinya. Sekarang charger seperti ini sudah ada dimana- mana, makanya banyak orang yang meninggalkan charger wireless. Biasanya charger wireless hanya di gunakan saat sedang camping di luar saja.             Aku merasa setiap sudut dinding kamar. Aneh sekali, kenapa semuanya rata begini? Harusnya ada sedikit tonjolan untuk menempel mr. communicator di sana. Apa memang tidak ada charger seperti itu di hotel ini? Aku menghela napas. Sangat di sayangkan jika tak ada wall charger di sini. Mungkin ya, karena ini gedung lama sedangkan wall charger masih teknologi baru.             Akhirnya aku memilih untuk keluar kamar. Barangkali, salah satu di antara mereka ada yang punya charger wireless. Suasana di luar kamar sepi. Aku mengetuk pintu kamar di sebelahku. Aku tidak tahu sih ini kamar siapa, tapi ya mana mungkin kan orang lain yang ada di dalam. Paling kalau gak dokter Akar, ya Rendra, atau gak Kara.             “Permisi, siapa di dalam?” tanyaku sambil mengetuk pintu.             “Iya, bentar …” jawab seseorang di dalam sana. Pintu terbuka dan tampak Kara yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku berdecik melihatnya. Sebenarnya dia makin ganteng sih             “Oh kamu. Ngapain kemari?” tanya Kara cuek.             “Duh males banget sih sebenarnya sama dia,” gumamku pelan. Aku tersenyum tipis. “Kar, kamu ada charger wireless gak?” tanyaku lembut. Kara mengernyitkan alisnya.             “Tadi kamu bilang apa?” tanya Kara balik.             “Aku nanya, kamu ada gak charger wireless?” tanyaku lagi. Kara mengelengkan kepalanya.             “Bukan, bukan. Bukan itu. Lain. Satu lagi, sebelum itu,” jawab Kara. Aku mengernyitkan alis. Memang sebelumnya aku bilang apa?             “Emang sebelumnya aku bilang apa? Aku kan tadi nanya kamu punya charger wireless kan?” tanyaku balik. Kara menggelengkan kepala lagi.             “Gak, sebelum itu. Lo ada bilang sesuatu gitu, sebelum lu nanya itu,” jawab Kara. Aku mangut- mangut.             “Oh ya, tadi. Iya, sebenarnya aku malas minta ke kamu sih, tapi kamu duluan yang muncul yaudah deh,” ujarku.             “Yaudah minta aja ama yang lain, ngapain minta sama gue kalo lo males,” balas Kara. Ia menutup kencang pintu kamarnya di depan mataku. Aku melongo sesaat.             “Heh bangke lu Kar! Gue nanya baik- baik juga!” protesku. Aku menggedor pintu kamar Kara, tapi dia tak keluar juga dari kamarnya.             “Gak, lu gak nanya baik- baik. Udah lu jangan ngomong lagi sama gue,” jawab Kara dari kamera microphone di depan kamarnya. Aku berdecik kesal. Emang deh ini anak, ngeselinnya gak ada obat!             “Terserah deh,” gumamku. Bisa nanya ke yang lain juga kok, gumamku dalam hati. Aku membalikkan badan dan tersentak kaget saat melihat dokter Akar duduk selonjoran di sofa ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi. Aku mengelus dadaku.             “Ih dokter ini, bikin kaget aja!” gerutuku.             “Kenapa kok ribut- ribut?” tanya dokter Akar.             “Itu tuh, aku tadi nanya ke Kara ada charger wireless gak, eh dia malah jawabnya ketus begitu. Aku nanya baik- baik juga,” jawabku. Aku memanyunkan bibir dan melipat kedua tanganku.             “Hem, agaknya kalian ini jarang akur ya,” gumam dokter Akar.             “Hampir gak pernah sih dok, dari awal juga begitu,” ujarku. Aku duduk di sofa ruang tamu.             “Kok bisa? Ada masalah apa emangnya kalian? Punya dendam apa?” tanya dokter Akar penasaran. Aku mengangkat bahu.             “Tau tuh dok. Dia anak pindahan tuh. Baru kenal juga ketus begitu, emang bawaan anaknya nyebelin kali,” jawabku.             “Kamu yakin memang begitu?” tanya dokter Akar. Aku mengernyit.             “Maksud dokter apa?” tanyaku bingung.             “Ya, karena aneh deh kalau baru kenal udah yah saling kesal begitu. Mungkin dia ke kamu aja dia kayak gitu?” tanya dokter Akar. Aku mencoba mengingat bagaimana sosok Kara dengan teman yang lain. Selama ini aku tidak terlalu perhatikan dia dengan teman yang lain sih. Tapi .. kayaknya dia baik- baik aja dengan Sheila.             “Hem .. mungkin aja kali ya dok? Aku gak begitu yakin sih …” jawabku agak ragu.             “Ya, mungkin kamu ada salah ngomong gitu, jadinya dia tersinggung?” tanya dokter Akar. “Karena gak akan ada asap kalau gak ada api,” lanjut dokter Akar.             Aku mangut- mangut. Benar juga sih kata dokter Akar. Tapi aku tidak ingat dengan perkataanku ke Kara, karena ya, kami juga tidak sering ngobrol bareng toh. Lebih sering adu mulut sih daripada ngobrol santai.             “Sudah, coba kalian saling introspeksi diri aja. Kalau udah ketemu titik temu salahnya dimana, kalian harus saling memaafkan. Jangan ada dendam lagi, kan kalian teman sekelas kan, seengaknya harus saling berhubungan baik,” ujar dokter Akar. Aku mangut- mangut.             “Iya dok,” jawabku. “Oh ya, dokter ada gak wireless charger? Aku mau charger mr. communicator,” tanyaku.             “Hem, entahlah. Saya coba cek dulu ya di tas saya,” jawab dokter Akar. Ia bangkit dari duduk dan pergi ke kamarnya. Aku menunggu dokter Akar di ruang tamu. Tadinya aku hendak menyalakan televisi, tapi aku baru ingat kalau kabel colokan telvisi sudah di cabut oleh dokter Akar.             Yah, kukira begitu. Tapi setitik lampu kecil di bawah televisi malah menarik perhatianku. Seharusnya lampu kecil itu hanya akan menyala saat kabel colokan tersambung kan? Iseng, aku mengambil remote dan menyalakan televisi. Aku terkesiap saat sebuah film masih menyala di sana. Ternyata film yang tadi di tonton oleh Kara dan Rendra, film horror yang ada adegan ranjangnya. Malah saat ini sedang di tampakkan scene yang lebih v****r daripada sekedar ciuman di ranjang tadi.             “Ini ada, tapi gak tau bisa atau eng …” Dokter Kara tak menyelesaikan perkataannya. Ia terkesiap melihat televisi menyala dan menampakkan adegan ranjang yang lumayan v****r.             “Heh! Heh! Kamu jangan nonton Althea!” Dokter Akar menutup mataku dengan tangannya. Aku menepis tangannya dan malah membesarkan volume. Suara desahan pelan itu terdengar semakin kencang. Kara dan Rendra buru- buru keluar dari kamar. Mereka berdua terbelak kaget melihat televisi dan melirik dokter Akar.              “Ih dokter nonton film ena- ena!” ***                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD