JFD# 3 Flashback

1862 Words
            Semua langsung tertawa mendengar ucapan Hana, emang kurang asem! Tapi emang salah kalau misalnya aku selalu bawa handuk kecil sama air botol buat Zulfan? Kan aku sahabat, wajar dong kalau perhatian. ‘Duh Clarisa kadang dodolnya kebangetan, sahabat boleh tapi gak usah sampai merendah buat dapet terus perhatian Zulfan!’ ‘Gak salah kok Ris, kan sesama manusia harus saling berbagi kebaikan apalagi dia sahabat kamu dari kecil.’ ‘Alah nanti ujung-ujungnya juga dia bakal terus jadiin kamu babu!’ ‘Ikut aja apa yang kamu mau Ris.’             Aku memegang kepalaku, bingung sama hati dan pikiran aku yang suka bertolak belakang apalagi kalau itu ada sangkut pautnya dengan Zulfan, suka beda hati yang selalu welcome dengan Zulfan dan perasaan yang sudah lelah dengan sikap gak pekanya. “Yu ah kita langsung ke tempat TKPnya, keburu penuh nanti, kasian Risa gak bisa melihat Zulfan dengan pandangan jelas.” Ruby sudah beranjak pergi meninggalkan aku dan teman-teman yang masih bersiap duduk. “Kalian tau gak?” tanya Ruby dengan semangat. “Engga By.” Jawab kami secara bersamaan. “Sok sekarang ada info apa lagi? Awas we bukan yang terbaru,” ucap Hana dengan logat sundanya yang terdengar lucu. “Jadi infoya adalah Rama akhrnya nembak ade kelas yang di cemcemin dari awal semester,” jelas Ruby dengan semangat.             Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan Ruby yang memang tidak mengenal tempat, dimana pun dia berada pasti aja baka bergosip apalagi kalau gosipnya masih hangat banget, udah deh bakal terus-terusan nyerocos kayak kereta api. “Demi apa? Kok mereka cepet banget sih jadian?” timpal Aira yang memang tidak berbeda jauh dengan kelakuan Ruby, mereka berdua itu terkenal dengan julukan ratu gosip. “Udah lama kali mereka PDKT-annya, kalau gak salah sih mereka udah kenal dari ujian semester kemarin, ya pantes sih kalau mereka berujung jadian, cocok juga Rama sama dekel itu,” tukas Hana yang membuat Aira melancarkan aksi protes tidak setuju dengan sikap Rama, ya gimana gak protes kalau Aira mulai suka sama Rama yang emang bisa bikin nyaman orang yang kenal sama dia. “Tapi kan gak usah cepet kayak gini,” gerutu Aira. “Mereka yang pacaran kok kamu yang sewot sih,” kesal Ruby yang sudah bosan mendengar gerutuan Aira. “Kalian ini, di jalan juga masih aja bisa gosip sana sini, gak faham lagi gue sama lu semua, bisa skip dulu gak gosipnya,” ucapku dengan nada malas, Ruby dan Aira langsung menatap tajam ke arahku, aku hanya mengangkat bahu acuh. “Kalian luar binasa, gak berhenti ngomong terus sampai kita nyampe ke lapangan dong,” gumam Fhafia, “Kalau kalian mau gosip mending gak usah ikut ke lapangan deh, ganggu orang-orang yang ada di sini tau! Jadi kalau kalian masih mau nonton, mending stop dulu gosipnya.” “Heh Fha! Lo itu gak bisa ngomong gitu! Gue sama Ruby harus dalam mode terupdate masalah sekolah! Masa kamu gak bangga punya sahabat sebagai ratu gosip, kalau kita gak ngegosip nanti kita ketinggalan info yang ada!” protes Aira sambil bersungut-sungut sebal ke arah Fhafia.             Fhafia yang memang sudah kebal mendengar protesan Aira ataupun Ruby hanya mengelus dadanya, sebenernya aku pengen bisa bantu Fhafia tapi sekarang fokus aku bukan dengan perdebatan sengit mereka lagi.                 Sekarang fokus aku hanya tertuju pada laki-laki yang tengah mengoper bola, bahkan keributan yang ada tepat disampingku tak mengganggu fokusku, kalau diperhatikan banyak orang yang memilih berpindah tempat karena gak bisa denger semua ocehan Aira dan Ruby.             Aku menatap takjub pada Zulfan yang sekarang menatap ke arahku sekilas dan tersenyum tipis, kapan dia berhenti menebar pesonanya? Demi apapun, aku yakin sekarang banyak yang geer karena senyum Zulfan tadi, apalagi jeritan perempuan-perempuan menyemangati Zulfan semakin keras.              Sepertinya benar apa yang udah sahabat sengklekku katakan, isi dari kepalaku sekarang hanya sosok Zulfan saja, bukankah Zulfan hanya seorang sahabat tapi sialnya dia berhasil membius aku dengan pesonanya. Meskipun kalau boleh jujur aku ingin bisa lebih dari seorang sahabat, tapi untuk bisa terus berada di dekatnya aku harus bertahan di zona persahabatan yang memuakan ini. “Zulfan Haikal semangat! Ayo!!” Aku berteriak dengan lantang, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahku dengan risih, bodo amat! ****             Peluit dibunyikan wasit sebagai bentuk berakhirnya pertandingan, meskipun hanya sebatas pertandingan untuk asik-asikan aja tapi yang menontonnya cukup banyak. Aku tersenyum ke arah Zulfan yang tengah mennyenderkan tubuhnya ke pohon dengan menselonjorkan kaki, dia tersenyum membalas senyumanku dan melambaikan tangan agar aku mendekat ke arahnya.  “Capek?” tanyaku yang mengusap keringat di pelipisnya yang bercucuran dengan handuk kecil yang sudah aku masukan ke dalam saku.             Zulfan tidak hanya membasahi permukaan wajahnya saja, tapi juga sudah membasahi badannya yang sekarang memperlihatkan dengan jelas d**a bidangnya dan otot-otot perut Zulfan yang mulai terbentuk. Dia tersenyum tipis sembari mengatur nafasnya yang masih tersenggal, aku membalas senyumannya dengan senyum kecil. “Nih minum dulu.”             Aku membuka botol minum yang sengaja aku beli, botol yang tadi ada digenggaman tangaku, sekarang sudah diteguk dengan cepat oleh Zulfan, aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah lakunya. Botol yang awalnya full sekarang menyisakan setengahnya lagi, dia menyerahkan botol tersebut ke arahku. “Haus banget ya? Sampai mau abis kayak gitu air minumnya,” cibirku sembari menggelengkan kepala, Zulfan menghadiahi cubitan kecil di pipiku, aku berpura-pura meringis kesakitan. “Makanya jangan bikin aku gemes,” ucap Zulfan yang menaik turunkan alisnya. “Kamu ini kebiasaan banget sih! Udah tau pipi aku udah gembil, jangan nambah-nambahin volume pipi aku.” Sungutku dengan kesal. “Gak bakalan nambah volume pipi kamu, kan cuman aku yang boleh nyubit pipi kamu, kecuali kalau kamu makan terus, itu beda lagi cerita.”             Paling bisa banget ya ngejatohin setelah bikin aku terbang, sebenarnya dia sadar gak sih dengan sifat posesifnya itu? Kadang aku mikir sifat posesifnya itu udah berlebihan, udah bukan sifat posesif seorang sahabat lagi. “Ais kamu ini, apaan sih, bisa banget ya bikin aku jatoh,” kesalku yang menutupi kegugupanku sendiri, dia tertawa dan dan menarikku untuk lebih mendekat, dia menyenderkan tubuhnya di bahuku dan mengambil lenganku untuk mengusap rambutnya. “Zul malu diliatin orang, kamu ngapain lagi sih! Aku malu,” ucapku yang mendorong tubuh Zulfan agar tidak bersandar lagi di bahuku. ‘Demi apapun aku malu banget, ini lagi satu orang kok nyantai banget sih,’ geramku dalam hati,                 Aku berharap Zulfan menyingkirkan tubuhnya dari bahuku, tapi bukannya menjauh, Zulfan malah menarik lenganku yang bebas untuk ia genggam, sekarang aku hanya punya satu lengan yang bebas dan itu susah untuk aku gerakan, hanya sebatas penyangga tubuh saat ini. “Diem Ris, aku cape banget abis futsal tadi, mending usapin rambut aku, mau tiduran bentar aja, kalau mereka liatin kita ya gak apa-apa kali, orang mereka punya mata,” ucapnya yang bergerak menjadi berbaring dengan pahaku sebagai alasnya tidur.             Aku tersenyum geli bercampur malu, malu karena sifat Zulfan yang bodo amat, masalahnya kita ada di pinggir lapang, emang lapangnya masih banyak orang yang beristirahat setelah tanding futsal tadi, apalagi di bagian ada kak Rey, Devan, Fadel, Arya, sama kak Leon yang udah penuh banget sama perempuan, dan untungnya itu dekat dengan aku jadi sedikit menutup tingkah Zulfan sekarang. “Uhuk udah dong bermesraanya Ris, ini masih di lapang loh.”             Aku sedikit mendongkak untuk melihat siapa yang bebicara, banyak suara di sekitar aku, membuat aku sedikit bingung untuk tau siapa yang berbicara. Ruby dan Fhafia berdiri tepat di depanku, aku memasang puppy eyes ke arah mereka, berharap mereka dengan murah hati membantu aku. “Tolongin aku By, Fha, Zulfannya malah tiduran.” “Zul kasian ih Clarisanya, udah tau badan gede juga.” “Kalian bisanya ganggu orang istirahat aja!” Ketus Zulfan yang mengganti posisinya menjadi duduk di sebelahku, lengannya masih setia menggenggam lengaku.             Aku tersenyu kecil, sedikit mengingat kembali kenangan waktu pertama kali aku ketemu, Zulfan yang pendiam dan aku yang gak bisa diam sama sekali, lucu ternyata dua manusia yang bertolak belakang malah ditakdirkan untuk menjadi seorang sahabat. “Bunda, Ica gak mau ke sana lagi, anak-anaknya suka banget jailin Ica,” aduku dengan wajah yang sudah memerah padam menahan tangis.             Bunda mensejajarkan tingginya dengan aku dan mengelus rambutku pelan, dia tersenyum dan menarik ujung bibirku untuk tersenyum. “Mereka bukan jail, mereka itu pengen bisa main sama Ica tapi kayaknya kayaknya anak bunda ini jutek sama mereka, makanya mereka jail sama Ica biar bisa main, kalau Ica gak mau dijailin sama mereka, anak bunda ini harus ramah sama mereka gak boleh jutek lagi ya,” nasehat bunda yang aku angguki, bunda menarik tubuhku untuk ia peluk. “Iya bun, nanti Ica gak bakalan jutek lagi sama mereka.”             Aku mengusap air mata yang masih membekas di pipi dan berlari masuk ke dalam kelas, aku berjalan ke arah gerombolan anak laki-laki yang sedari awal aku masuk terus menjaili aku. “Kalau kalian mau main sama aku, kalian gak boleh ngejailin aku lagi!” ucapku dengan berani. “...” “Ayo temenan, nama aku Clarisa tapi panggilnya Ica aja.” Aku mengulurkan lengan ke arah mereka dengan senyum lebar, menampilkan deretan gigiku yang rapih. Anak laki-laki yang berbadan lebih bongsor menyambut uluran lenganku, “Aku Rafael, maafin ya udah jail sama Ica, Icanya jutek sama kita semua.”             Aku mengangguk, satu persatu teman yang dulu menjaili aku saling memperkenalkan diri, tapi tatapanku malah terfokus sama anak laki-laki yang duduk di pojok kelas, sibuk dengan kegiatannya sendiri. “Dia siapa?” tanyaku kepada Rafael. “Aku gak tau Ca, dia anaknya pendiam di kelas, jadi gak ada yang mau temenan sama dia.”             Aku mengangguk mengerti, tapi sayang sekali aku punya rasa penasaran yang sangat tinggi, bukannya menjauh seperti anak yang lain, aku malah mendekat ke arahnya dan duduk di sebelah dia. “Ih gambar kamu lucu banget,” pujiku yang melihat hasil gambar anak berumur 5 tahun. “...” “Kamu bisa ngomong kan?” tanyaku yang hanya dibalas anggukan. “Kenalin aku Clarisa, panggilnya Ica aja. Nama kamu siapa?” Aku menjulurkan lenganku ke arahnya. Dia menatap sekilas ke arahku dan membalas uluranku dengan malas, “Zulfan.” “Nama kamu bagus, kamu kenapa gak gabung sama yang lain? Emang asik ya kalau sendirian? Kamu mau temenan sama Ica?” aku memborong pertanyaan kepadanya. “Mereka gak asik, lagian aku gak diajak,” jawab Zulfan tanpa mengalihkan pandangan dari aktivitas menggambar. “Kamunya pendiem banget sih, kalau gitu Ica jadi temen Zulfan aja, gimana?” tawarku.             Zulfan menghentikan aktivitas menggambarnya, menatap ke arahku dengan menyipitkan matanya, sebelum mengangguk dan tersenyum. “Berarti sekarang Zulfan temenan sama Ica?” tanyanya meyakinkan. Aku mengangguk dengan semangat, “Iya Zulfan, kata bunda Ica, kita gak boleh sendirian terus, nanti sekolahnya gak bakalan seru. Nanti Ica bakal temenin Zulfan kalau Zulfan mau main.” “Aku gak suka main, mereka jahat. Zulfan lebih suka gambar.” Zulfan menggelengkan kepalanya. “Ya udah, Ica temenin Zulfan gambar.”             Aku tersenyum tipis, mengingat pertemuan pertama dengan laki-laki yang sudah dingin sedari dulu. Aku meringis saat lengan Ruby mennjitak kepalaku dengan pelan, aku mendengus sebelum menatap ke arah samping. “Bengong mulu lu mah, mikir apaan sih?”             Aku tidak mengidahkan pertanyaan Ruby, melihat sekeliling utuk mencari Zulfan, tadi perasaan masih ada Zulfan di samping aku, kenapa sekarang dia ngilang? Kemana? “Lu nyari Zulfan Ris? Dia lagi ngumpul sama yang lain dulu, makanya gak usah bengong mulu, ditinggalkan sama pangeran gak berkuda kan.” Cibir Raken yang aku hadiahi delikan tajam. “Astaga udah jam segini,” aku meringis melihat jam yng bertengger di lenganku, “guys, aku harus balik sekarang, nanti bisa-bisa aku diomelin sama bunda, pulang suka telat mulu.”                 Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan, sebenarnya aku maunya masih disini buat ngeliat dia latihan futsal lagi, tapi harus aku skip hari ini, ngebayangin mamah ngomel terus tanpa berhenti, gak mau! Aku masih sayang dengan telinga aku saat ini. “Mau gue kasih tau ke Zulfan kalau lu pulan duluan?” tawar Hana yang menjadi penyelamat untuku saat ini, aku langsung mengangguk setuju. “Han, lu penyelamat, kalau gitu gue duluan ya, salam buat Zulfan!”             Aku melambaikan tangan ke arah sahabat-sahabat aku, berlari ke arah kelas untuk mengambil barang yang tertinggal, berjalan sedikit tergesa keluar dari kelas. Beberapa kali aku melirik arloji di tangan kananku dan mengembuskan napas perlahan. “Mampus! Bunda bakal ngomel!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD