Kucing dan Tikus

1446 Words
erdhy duduk bersantai di tempat tidur sambil menunggu istrinya. Dia sengaja tidak langsung membersihkan diri, karena ingin Rida tahu kalau dirinya sedang merajuk. Biar saja bila Rida menganggap dirinya tukang ngambek, Ferdhy tidak peduli. Memang cuma perempuan saja yang bisa merengut? Sorry, lelaki juga bisa. Suara ketukan pintu mengusaikan lamunan Ferdhy. Dia pun mengusap wajah lalu sedikit melakukan peregangan di rahang supaya acting marahnya berhasil. “Mas, aku masuk, ya?” ucap Rida dari luar. “Masuk aja. Pintunya nggak dikunci,” sahut Ferdhy. Rida pun masuk setelah mendapat izin dari Ferdhy. Kedatangannya langsung disambut wajah masam pria tersebut. Rida pula menghampiri Ferdhy yang sedang merajuk. “Kenapa, sih, punya wajah ganteng, kok, ditekuk mulu? Entar gantengnya luntur, loh.” Dia duduk di sebelah suaminya. “Lagian kamu sama Mama kompak banget bikin aku kesel,” keluh Ferdhy dengan garis wajah bersut. "Berurusan dengan wanita memang selalu bikin makan hati," pikirnya. Rida langsung terbahak. “Udah, kamu mandi dulu, gih. Bersih-bersih. Dinginin kepalanya, biar nggak ngebul terus. Abis itu kita nunggu papa pulang buat belah duren,” tuturnya agar Ferdhy segera mengakhiri drama merenyuknya. Ferdhy mengernyitkan dahinya. “Ngapain nunggu papa? Masa mau belah duren rame-rame? Hadeuh, gemes aku.” Dia memijat pangkal hidungnya seraya menghela napas lesu. “Ya, harus rame-ramelah, biar seru. Masa sama papa sendiri nggak mau berbagi? Jangat pelit jadi anak! Nanti rejekinya seret, loh.” Rida mengerling judes. “Ya, nggak mau! Enak aja! Masa iya, aku bagi duren punyaku sama papa? Papa kan, udah ada durennya Mama.” Rida ternganga. "Mas … Fer … Dhy! Iiih!" serunya gusar. Segera dia pun mengusap wajah suaminya dengan kasar. "Istighfar kamu! Astagfirullahaladzim!“ Wajah Rida tampak sudah merah padam. "Kamu nyebelin banget, sih!" Dia pun memukuli tubuh suaminya gemas. "Beneran. Kalo nukerin suami sama bawang nggak dosa, Rida mau tukerin aja, deh. Cape aku, Mas. Cape harus debat kayak gini terus. Bisa mati berdiri aku, Mas, kalo diginiin terus. Ya Allah!" Rida menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ingin hati dia berteriak lalu menyiksa seseorang. Argh! Rida benar-benar teramat jengkel sekarang. Ferdhy benar-benar menguji kesabaran Rida. Sadar kalau candaannya keterlaluan, Ferdhy pun ingin meminta maaf. "Sayang." Dia meraih tangan istrinya, tetapi ditepiskan wanita itu begitu saja. "Jangan pegang-pegang! Aku marah sama kamu. Aku nggak mau ngomong sama kamu! Kamu nyebelin," ketus Rida, tidak mau melihat wajah suaminya. "Sayang, aku cuma bercanda," jelas Ferdhy penuh sesal. "Bercandanya nggak lucu! Jayus!" Rida melipat tangannya di da da seraya terus melihat ke arah lain. Dia enggan beradu tatap dengan sang suami. Biarkan ini menjadi pelajaran untuk Ferdhy, kalau tidak semua hal bisa dibercandakan. Lelaki itu harus tahu batasan. "Yaang, maafin aku." Suara Ferdhy memelas, tetapi Rida masih bergeming. "Yaang." Ferdhy menarik tangan Rida. Namun, kembali dikipratkan oleh sang istri. Ferdhy pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia diam. Ferdhy amat menyesali bercandaannya yang kelewatan. Dalam hati, dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ferdhy tidak mau membuat Rida marah lagi. Rida pun melirik Ferdhy dengan ujung matanya. Hatinya tak tega melihat wajah tertunduk Ferdhy. Tampak lelaki itu amat menyesali perbuatannya. Rida pun menghela napas lalu meraih tangan Ferdhy. Ferdhy pula mendongak, menatap mata Rida dengan raut wajah sedih. "Rida memaafin, Mas Ferdhy kali ini. Tapi dengan satu, syarat. Jangan pernah diulangi lagi. Bisa?" Seketika senyuman lega pun mengembang di mulut Ferdhy. "Hmm, aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Makasih, Sayang." Dia memeluk Rida erat. Rida pun membalas pelukan Ferdhy. Dia tersenyum senang, sebab sang suami begitu menjaga perasaannya. Rida pun menguraikan pelukan mereka lalu berkata, "Gih, cepet mandi. Aku nggak sabar pengin cepet makan duren." Ferdhy tersenyum lebar. “Abis, belah duren montong, belah duren punyamu, ya?” “Iih!” Rida mencubit pinggang Ferdhy keras. Seketika marahnya tergugah, sebab sikap usil sang suami. Ferdhy memang tidak bisa dikasih hati. “Kok, dicubit, Yaang? Salah, emang kalau aku minta jatahku?” protes Ferdhy tak terima. Rida menatap bengis suaminya. “Udah, mandi sana. Nggak ada entar malam, entar maleman pokoknya. Aku mau langsung bobo. Badanku pegel semua. Kemarin, kan, kamu udah minta, masa sekarang mau minta lagi?” “Nyenengin suami, pahala gede, loh, Yaang,” rayu Ferdhy. “Bukan aku nggak mau nyenengin kamu, Mas. Tapi bekas semalam aja, sakitnya belum hilang,” jelas Rida memberi pengertian. Ferdhy menatap Rida sendu. Entah kenapa istrinya itu selalu saja kesakitan, padahal Ferdhy sudah memperlakukan Rida selembut mungkin. Ferdhy pun kembali mempertimbangkan permintaannya. Ia mencoba mencari jalan tengah supaya sama-sama enak. “Ya udah, nenen aja.” “Dih, anak bayi juga kalah!” Rida meringis sembari melihat suaminya geli. Ferdhy memutar bola matanya. "Ya, bo do amat!” tukasnya. Ferdhy meraih handuk lalu beranjak ke kamar mandi. Rida menggelengkan kepalanya, sebab tingkah suaminya yang unik itu. “Suamiku gini amat, ya?” ujarnya bermonolog. Kadang Rida merasa heran dengan kelakuan Ferdhy. Hampir setiap hari pria itu selalu meminta jatah. Apa mungkin Ferdhy tidak pernah merasa lelah? Pernah Rida membaca satu artikel di Mbah Gugul. Di artikel tersebut dijelaskan kalau berhubungan in tim yang sehat itu dua atau tiga hari sekali. Namun, sepertinya tingkat li bi no Ferdhy amat tinggi. Terkadang Rida khawatir akan hal itu. Orang tua zaman dulu mengatakan kalau berhubungan setiap hari itu bisa mengakibatkan kebotakan pada suami. Rida tidak mau memiliki suami yang botak. Tidak keren. Seketika dia pun bergidik ngeri kala tak sengaja mengimajinasikannya. "Astaghfirullahaladzim." Rida memegangi kepalanya. Dia pun memilih memainkan telepon genggam daripada berpikiran bukan-bukan. Menakutkan. Setengah jam kemudian, Ferdhy pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Dia pun mendekati lemari hendak mengambil baju. Melihat itu, Rida pula melesat, menghalangi Ferdhy agar tidak membuka kotak pakain itu. “Stop!” tegas Rida. Ferdhy mengernyit bingung melihat kelakuan aneh Rida. “Kamu kenapa, Yaang? Aku cuma mau ambil baju, loh. Bukan maling kolor.” Dia mencoba menyingkirkan tubuh mungil Rida dari hadapannya. Namun, istrinya memaku di tempat, amat sulit digeserkan. “Jangan deketin lemari. Mundur!” perintah Rida garang. Ferdhy memijat keningnya jengah. Apa semua wanita memang seperti ini, menjengkelkan dan suka berlebihan? “Kamu kenapa, sih, Rida Arinda? Aku cuma mau ambil baju. Masa iya, kamu mau biarin suamimu pakai handuk, doang, gini? Kalau aku kedinginan, emang kamu mau tanggung jawab?” Ferdhy memberengut pada istrinya. Ingin hati menggendong perempuan bertubuh kecil itu ke ranjang lalu menerkamnya sampai puas. Namun, ulu hatinya tidak setega itu, mengingat Rida juga masih mengeluhkan sakit di bagian sensitifnya. Tiba-tiba saja tatapan Rida melembut. Ia tahu jika Ferdhy sedang geram padanya. Namun, Rida juga tidak ingin mengambil risiko menata ulang baju di lemari. Dia sudah cukup paham kebiasaan sembarangan suaminya. “Mas Ferdhy, cintaku, suamiku yang paling tampan dan unyu-unyu. Jangan dekati lemari lagi, ya? Aku kan, udah pernah bilang kalau ini wilayah kekuasaanku. Kemarin, kamu ambil baju sendiri, pasti kamu tarik, kan, ngambilnya?” Rida tersenyum manis pada suaminya, layaknya seorang pramugari kala melayani penumpang pesawat. Meskipun merasa kesal dan sebal, mereka akan menahannya dan tetap tersenyum. “Enak aja main tuduh sembarangan. Aku udah pelan dan sangat hati-hati. Kamu aja yang suudzon terus sama aku,” sanggah Ferdhy tak terima jika dirinya dituduh yang tidak-tidak. Karena menurutnya, ia sudah mengambil baju itu dengan sangat hati-hati. Masa iya ada demit mainan baju? Rida menatap kesal suaminya itu. Kemudian mengambil ponsel lalu menunjukan bukti jepretan kamera hari kemarin. Baju yang tadinya sudah dilipat, licin, dan tersusun dengan rapi itu menjadi awut-awutan dan jatuh teronggok di lantai saat dia membuka pintu lemari Ferdhy. “Itu apa, Mas? Hah? Kamu kan, yang terakhir ambil baju? Pas aku buka, bajunya tiba-tiba berjatuhan kayak gitu. Mau alasan apa lagi? Hah?” Kini giliran Rida yang marah. Ferdhy tampak acuh tak acuh memalingkan wajahnya ke arah lain. “Ya, nggak tahu, tikus kali.” “Mana ada tikus di rumah bersih begini? Lemarinya terkunci rapat juga. Masa iya, dimasuki tikus?! Yang ada, tikus berambut hitam. Emang bener-bener, ya, kamu. Mau, ta sunat lagi?!” Ferdhy bergidik ngeri. Membayangkannya saja, sudah membikin ngilu. Apalagi hal itu sampai beneran terjadi. “Kalau di sunat lagi, habis, dong. Entar kamu nggak bisa merem melek keenakan. Uh ah uh ah gitu.” Ferdhy mencoba menahan tawa kala berimaji Rida melolong begitu dengan ekspresi memohon, menuntut lebih dan lebih. Seketika pipi Rida pun bersemu merah. Rasa kesal bercampur malu membuatnya tak berdaya. Alhasil Rida pula mencubit pinggang Ferdhy keras-keras. “Malah dicubit. Aku cubit balik puncak gunung kembarmu, nangis!” Mendengar itu, Rida segera memeluk da danya erat. Ferdhy melihat kedua tangan Rida yang menangkup bagian kesukaannya. Pria itu menunjukan gelagat mencurigakan. Lekas Rida pun menjauh dan berlari. “Kabuur!” Dia meninggalkan Ferdhy seorang diri di kamar. Rida tidak peduli jika nanti dirinya harus membereskan baju yang berserakan di lemari. Yang terpenting, keselamatan yang utama
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD