Dua Puluh Tiga

1113 Words
Rai dan mbah Darmi menikmati kebersamaan mereka dengan saling bercerita. Lebih tepatnya Rai yang mendengar wanita tua di hadapannya itu menceritakan kisah masa lalu yang cukup membuat Rai berkaca - kaca. "Saat si mbah dan suami merantau ke kota ini, apakah si mbah saat itu langsung bertemu dengan keluarga pak Agung?" Rai kembali mengajukan pertanyaan. "Tidak, mbak. Kami berdua saat itu banyak berpindah - pindah tempat. Pekerjaan apapun saat itu kami lakukan asal kami bisa makan. Maklumlah si mbah dan almarhum itu bukanlah tamatan sekolahan. Kami berdua sama sekali tidak pernah merasakan bangku sekolah. Dulu di kampung halaman paling hanya pelajaran agama saja yang rutin kami ikuti di mushola kecil di desa." Ucap Mbah Darmi kembali mengenang masa lalunya. "Lalu bagaimana perasaan si mbah saat ini? Apakah si mbah kerasan tinggal bersama aku dan mas Pras disini? Apa si mbah lebih nyaman tinggal di rumah sendiri?" Tanya Rai yang terlihat sangat ingin mengetahui jawaban dari mulut mbah Darmi. Mbah Darmi kembali terdiam. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang Rai lontarkan. Dia tidak mau jawabannya menjadi terkesan klise. "Namanya di rumah sendiri, mau rumah itu gubuk dan jelek tentu akan terasa lebih nyaman dan leluasa, tidak bisa disamakan jika kita ikut tinggal dengan orang lain. Tetapi mbah sangat bersyukur, nak Rai dan nak Pras benar - benar memperlakukan mbah dengan sangat baik. Bahkan kalian seolah menganggap mbah seperti orang tua sendiri. Membuat si mbah merasa tidak enak hati tetapi disisi lain membuat si mbah menjadi sangat nyaman di rumah ini. Serasa seperti di rumah sendiri." Papar wanita tua itu. Rai terkekeh mendengar semua perkataan yang wanita tua itu sampaikan. Mbah Darmi benar - benar dapat menemani hari - harinya yang biasa sepi. Wanita tua itu cukup berpemikiran terbuka dan bisa masuk saat bicara dengan yang jauh lebih muda. "Oh iya, Bagaimana dengan anak mbah? Berarti si mbah dan almarhum suami memiliki anak bukan?" Tiba - tiba saja Rai teringat akan cerita si mbah tentang keturunan yang Tuhan amanah kan kepada mereka di usia yang tak lagi muda dulu. Belum sempat mbah Darmi menjawab pertanyaan yang Rai ajukan itu, tiba - tiba terdengar suara dering telepon yang berasal dari ponsel Rai. Wanita muda itu merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Nampak dilayar ponsel tertulis nama suaminya. "Mas Pras telepon? Apa mungkin dia pulang malam lagi hari ini?" Gumam Rai dalam hati. Mbah Darmi terlihat berlalu meninggalkan Rai yang sedang menerima panggilan dari suaminya. Wanita tua itu merasa tidak sopan jika ia tetap berada di sana selama Rai sedang berbicara melalui sambungan dengan suaminya, tak elok kelihatannya seolah ia ingin mengetahui pembicaraan orang lain. Wanita tua itu kembali melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia mencari - cari, sekiranya apa yang dapat dia kerjakan selanjutnya. Mbah Darmi sempat melamun sejenak. Pembicaraannya dengan Rai tadi, membuatnya kembali teringat dengan niat awalnya bekerja di rumah ini. Dulu, selama merawat rumah ini dalam kondisi kosong, setelah ditinggal pindah oleh keluarga pak Agung. Seluruh rumah itu telah ia telusuri, sayangnya saat itu ia tak mendapatkan petunjuk apapun. Dari seluruh bagian rumah Hanya satu bagian di rumah ini yang belum ia sempat periksa, yaitu bagian loteng. Tepatnya, bekas kamar yang dulu pernah ia dan suaminya tempati. Kedepannya dia harus mendapatkan cara agar ia memiliki kesempatan untuk memeriksa bagian atas rumah itu. Rai menyelesaikan pembicaraannya dengan Pras di telepon. Ia menuju dapur untuk menemui mbah Darmi. "Mbah, sore ini tidak perlu masak untuk makan malam! Mas Pras akan pulang larut seperti kemarin." Ucap Rai pada mbah Darmi. "Ya, mbak. Lalu mbak Rai mau makan apa untuk makan malam nanti?" Mbah Darmi bertanya. "Gampang, nanti kita bisa beli untuk berdua." Jawab Rai sambil membalikkan badannya untuk berjalan kembali ke ruang tengah. "Oh iya, mbah, mungkin besok kita akan masak lebih banyak dari biasanya." Ucap Rai sambil menunda langkahnya. "Tadi mas Pras telepon, dia bilang katanya besok ibu akan datang ke sini, menengok kita." "Baik, mbak." Sahut mbah Darmi tanpa banyak bertanya. Padahal sebenarnya dalam pikirnya ia sedikit bertanya, siapa ibu yang majikannya itu maksudkan. Walaupun bisa wanita tua itu tebak, bisa saja orang yang Rai panggil dengan sebutan ibu itu merupakan ibu kandungnya atau bisa juga ibu mertuanya yang tidak lain adalah ibu dari mas Pras. Malam semakin larut, tetapi belum juga terlihat tanda - tanda Pras akan pulang. Sudah sejak satu jam yang lalu Rai menunggu kepulangan suaminya itu. Beberapa hari ini Pras memang selalu pulang sampai malam hari, tetapi malam ini ternyata lebih malam dari malam - malam sebelumnya. Selepas waktu maghrib tadi hujan terus turun tiada hentinya. Walau kadang ritme-nya mengecil tetapi akan kembali deras di kemudian. Polanya terus berulang sampai malam menjelang. Bahkan saat ini, diluar sana turunnya sedang begitu deras. Dengan rasa khawatir Rai masih menunggu kepulangan suaminya itu. Sedangkan mbah Darmi sudah diminta untuk lebih dulu istirahat oleh Rai. Karena Rai tahu, mbah Darmi selalu bangun paling pagi diantara mereka setiap harinya. Suara derai hujan makin lama terdengar semakin mengecil. Derasnya untaian air yang tadi jatuh dari langit secara perlahan mulai melemah. Diluar Hanya tinggal terdengar suara rintik hujan gerimis. Hujan rintik - rintik yang terjadi di larut malam menambah suasana terasa sangat hening, begitu sepi. Bahkan suara serangga malam yang biasa menggema sama sekali tak terdengar malam itu. Di dalam kamar, sambil menahan kantuknya Rai masih menunggu kepulangan suaminya. Tadi ia sempat mengirim pesan, menanyakan kapan perkiraan suaminya itu akan pulang. Pras sempat membalas dan memberitahu bahwa dia akan pulang dalam waktu tidak sampai satu jam. Belum lama Rai mendapat pesan balasan dari suaminya itu. Tiba - tiba dari arah depan terdengar cukup jelas suara ketukan pintu kaca. Braakk!! Braakk!! Braakk!! Awalnya Rai sempat menyangka suara ketukan pintu itu dilakukan oleh Pras yang baru sampai. Tetapi dengan cepat ia berpikir kembali. Kenapa dia tidak mendengar suara deru motor milik suaminya sama sekali sebelum ketukan pintu itu terdengar. Sebab kebiasaanya, dia pasti akan mendengar suara deru motor yang melaju dari kejauhan hingga terdengar memasuki pagar rumah. Baru kemudian suaminya akan mengetuk pintu sambil mengucap salam. Tetapi tadi itu, tidak terdengar suara lain, selain suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Tak mau tergesa - gesa, Rai lebih memilih mengintip terlebih dahulu keluar rumah melalui jendela kamarnya. Kegiatan mengintip itu, sempat membuatnya teringat kejadian yang cukup menyeramkan beberapa waktu lalu ketika dalam keadaan yang sama, mengintip keluar rumah melalui jendela kamar. Rai melihat keadaan diluar, situasinya terlihat sangat sepi tidak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalanan depan rumah. Hujan gemericik pun belum berhenti. Saat itu dia penglihatannya tak menangkap apapun di depan pintu rumah, dapat dipastikan tidak ada siapapun di depan sana, apalagi suaminya. Walau sedikit takut Rai merasa lega, ia tidak langsung membuka pintu rumah saat mendengar suara ketukan pintu tadi. Entah siapa yang telah melakukannya tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD