Tiga belas

1022 Words
Pras dan Rai sebenarnya memiliki sedikit prasangka tidak baik tentang rumah itu, mereka merasa rumah itu memiliki penunggu, tetapi baik Pras ataupun Rai tidak pernah saling membahasnya. Bagi mereka, selama semua masih nampak wajar dan tidak mengganggu, mereka tidak akan memperdulikannya. Mereka akan saling beriringan, jalan dengan dunia masing-masing. Selesai sarapan, sebelum akhirnya harus berangkat ngantor. Pras dan Rai sedikit berbincang duduk di teras depan rumah. Menjalin komunikasi antara mereka berdua. Pras selalu tidak ingin, istrinya itu kesepian ataupun merasa diacuhkan. Olehnya Pras selalu berusah untuk selalu ada disamping Rai, dan selalu ada saat istrinya itu membutuhkan dirinya. "dek, kamu gimana dirumah sendiri selama mas udah aktif dinas?" walaupun ditutupi laki-laki itu khawatir akan keadaan istrinya. Apalagi beberapa kali ada kejadian aneh yg ia alami di kediaman mereka itu. "sejujurnya sih bosan, mas. Tapi sejauh ini masih baik - baik aja." sahut Rai. "tapi kalau ada kerjaan yang bisa aku kerjakan akan lebih baik." lanjutnya. "oke deh, nanti bisa kita pikirkan dan bicarakan lagi. Mungkin aja ada kegiatan yang bisa kamu kerjakan biar kamu ga bosen dirumah." ucap Pras. *** Perempuan tua itu biasa dipanggil mbah Darmi oleh warga sekitar. Dia merupakan salah satu orang yang dituakan dilingkungan itu. Semenjak kepergian suaminya, mbah Darmi selalu sendiri. Tak jarang ada beberapa warga yang datang ke rumahnya untuk mengantarkan makanan atau hanya untuk sekadar menemani wanita tua itu agar tidak merasa kesepian. Wanita tua itu benar - benar hidup sebatang kara. Hanya penduduk kampunglah yang menemani kehidupannya sehari - hari saat ini. Pagi itu, mbah duduk sendiri di depan rumahnya. Tatapan matanya menatap nanar entah kemana. Kadang - kadang bayangan masa lalu ketika suaminya masih ada disisinya sering hadir dalam ingatan. Membuat dirinya semakin merasa nelangsa. Tetapi mbah adalah wanita tua yang kuat, kenangan itu hanya sesekali mengusik hidupnya, hanya jika rasa rindu menerpa di d**a. Selebihnya dia selalu melewati hari dengan ikhlas, mengetahui bahwa semua memang jalan hidup yang harus dia jalani. Apalagi dia juga sudah merasa sangat tua, mungkin tidak lama lagi dia pun akan menyusul jejak suaminya. Hanya ada satu yang masih menjadi ganjalan wanita tua itu selama ini, yaitu anak gadis yang selama bertahun - tahun ini tidak dapat ia temui bahkan dimana keberadaannya pun ia tidak tahu. "lagi ngapain toh, mbah? Pagi - pagi kok ngelamun sendirian." ucap bu Nuril, tetangga samping rumah mbah Darmi yang tiba - tiba datang memecah lamunan wanita itu dengan membawa sepiring makanan untuk mbah Darmi. "apa? Siapa yang melamun?" jawab mbah Darmi tak mau mengakuinya. "pagi - pagi jangan melamun! Sudah sarapan belum? Nih aku bawakan pisang goreng, masih panas baru aku angkat." ucap bu Nuril. "aku buatkan teh manis anget yah. Aku masuk daput dulu."lanjutnya sambil berlalu masuk kedalam rumah mbah Darmi. Bu Nuril sama seperti warga kebanyakan lainnya, yang bergantian datang kerumah itu untuk melihat keadaan mbah Darmi setiap hari. Wajar saja sebagai wanita tua yang hidup sendiri, warga kampung pasti merasa khawatir jika terjadi apa - apa padanya. Saking dekatnya bahkan Bu Nuril sudah menganggap mbah Darmi seperti ibunya sendiri, apalagi posisi rumahnya benar - benar bersebelahan dengan rumah mbah Darmi. "nih tehnya," ucap bu Nuril sambil meletakkan secangkir teh panas disamping piring berisi pisang goreng yang sudah ada di meja. "iya makasih." jawab mbah Darmi. Mbah Darmi masih memiliki penglihatan dan pendengaran yang bagus untuk ukuran wanita tua sepertinya. Hanya saja gerak tubuhnya sudah sangat terbatas. Dia sudah susah bergerak karena rematik yang dia miliki juga penyakit darah tinggi. "Ril, aku dengar rumah yang dulu aku rawat dengan bapak sekarang diisi orang. Benar gitu?" tanya mbah Darmi tiba-tiba pada Nuril. "Rumah yang di ujung jalan itu? Yang mau keluar jalan kampung?" Bu Nuril balik bertanya. "iya lah, memang rumah mana lagi yang dulu aku rawat? Kan aku dan bapak hanya rawat rumah itu aja." ucap Mbah Darmi. "ya kalau rumah itu setahu aku pun sudah ada yang menempati. Katanya orang dari kota." terang bu Nuril. "tapi mbah, masa gosipnya rumah itu angker toh." ucap Bu Nuril membumbui. Mbah Darmi nampak datar saat bu Nuril. Menyebut rumah itu angker. Wanita tua yang sangat hafal rumah itu tidak mengiyakan atau pun menyangkal pernyataan bu Nuril itu. "ya namanya juga rumah sudah lama kosong, Ril." hanya itu jawabnya. "iya juga sih ya, mbah." Wanita beda generasi itu saling terdiam. Menikmati pisang goreng yang mereka pegang masing-masing. Apalagi mbah Darmi, pikirannya melayang entah kemana. Ada suatu hal yang tiba - tiba muncul dalam benaknya. Kesibukkannya saat masih merawat rumah dinas milik salah satu instansi pemerintah dengan suaminya dulu tiba - tiba ia rindukan. "kira - kira orangnya butuh tenaga buat bantu - bantu dirumahnya ga yah, Ril?" tanya mbah Darmi memecah keheningan yang sempat tercipta diantara mereka. "orangnya siapa, mbah?" bu Nuril balik bertanya. Ia kurang paham dengan maksud pertanyaan wanita tua disampingnya itu. "itu, orang kota yang nempati rumah yang dulu aku rawat." mbah Darmi menjelaskan maksud pertanyaannya tadi. "ya kurang tau juga, mbah. Harus ditanyakan sama yang bersangkutan." jawab bu Nuril. "memang buat siapa? Memang ada yang nyari kerjaan?" tanyanya lagi. "buat aku. Aku kepingin kerja dirumah itu lagi." jawab mbah Darmi dengan datarnya. Tentu saja jawabanya mbah Darmi itu membuat sedikit kaget wanita yang saat itu duduk disampingnya. "apa gak salah? Memang si mbah masih kuat kerja sama orang?" respon bu Nuril atas pernyataan wanita tua disampingnya itu. "ya kuat. Kalau cuma kerjaan rumah biasa - biasa aku masih bisa." jawab mbah Darmi dengan percaya dirinya. "oalah, mbah, mbah, orang jalan aja si mbah gampang sakit kakinya." kembali bu Nuril membantah mbah Darmi. "sudah jangan macam-macam, mbah sudah waktunya istirahat wae di rumah!" lanjut bu Nuril. "yo tapi aku tuh malu sama warga sekitar, semua kehidupan aku ditanggung sama semua. Mungkin kalau aku kerja lagi aku gak akan merepotkan orang-orang." jawab mbah Darmi. "jangan bilang gitu toh, mbah! Kita semua ikhlas berbuat seperti ini untuk mbah." ucap bu Nuril. Mbah Darmi tidak lagi merespon perkataan bu Nuril. Wanita tua itu larut dalam pikirannya sendiri. Dia tetap ingin bisa kembali bekerja dirumah itu. Mungkin dia akan mendatangi pasangan suami istri yang katanya menempati rumah itu. Dia akan datang untuk menawarkan jasa tenaga dari wanita tua yang mungkin saja akan mereka butuhkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD