BAB 1: SESAK

1167 Words
Danita Della Natha, putri kedua Lingga Abqari Natha, seorang perempuan cerdas di antara para pewaris Natha’s Group, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang bergerak di beberapa lini, mulai dari food and beverage, ekspor impor, properti, hingga telekomunikasi. Jika Afgan Ardiaz Natha, sang abang, tak pernah merasa keberatan dikenal sebagai putra pewaris, maka Della justru tak pernah lelah berusaha menyembunyikan identitasnya. Della tak ingin dikenali sebagai seorang putri konglomerat negeri ini. Bukannya tak bangga, hanya saja ia ingin orang mengenalnya sebagai Della dan bukan sebagai seorang tuan putri yang hanya mengenal kata bersenang-senang dan segudang privilege. Juga salah satu alasan yang membuatnya lebih memilih mendalami ilmu psikologi dibandingkan ilmu bisnis. “Everything is ok, Ma.” “...” “Kalau semuanya lancar, inshaaAllah dua bulan lagi Della wisuda. Tapi kemarin pas Papa nelpon dan Della ngasih tau Papa, sekitar tanggal segitu tuh Papa dan Mama ada meeting di Munich. Mas Afgan ga akan bisa kemana-mana kan kalau pas Papa ga ada. Jadi Della bakalan wisuda sendiri dong?” “...” Della terkekeh pelan sebelum menjawab kembali ucapan sang Ibu di ujung sambungan. “Ya bukannya manja, Ma. Mama mah tega banget,” rajuk Della. “...” “Oke. Della tunggu pokoknya. Mama dan Papa harus ke sini sebelum pulang ke Jakarta.” “...” “Ini Della lagi di depan rumahnya Haven. Tadi pas jalan dia nitip dompetnya di tas Della. Eh malah ketinggalan. Ini Della mau balikin dulu.” “...” “Iya, Ma.” “...” “Ok. Bye, Ma.” Usai sambungan itu terputus, Della mematikan mesin mobilnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:09 saat Della melirik ke jam digital di dashboard. Ia lalu membuka handbag-nya, memastikan barang yang akan dikembalikan ke sang kekasih sudah ada di dalam sebelum keluar dari sedan berwarna hijau emerald miliknya. Begitu ia melangkah di teras rumah itu, entah mengapa rasa tak nyaman menyapa hatinya. Ada apa? Adakah sesuatu yang harus ia waspadai? Della menoleh ke balik punggungnya, menyapu keadaan di sekitarnya, rasanya tak ada yang salah. Lantas mengapa dadanya terasa ngilu dan sesak? Della terdiam tepat di depan pintu. Tombol bel tak kunjung ia tekan. Ia membuka layar ponsel yang masih ia genggam, mencoba mengirimkan pesan untuk Haven. Della: Hav, aku di teras. Della: Dompet kamu ketinggalan. Della lalu memutuskan untuk duduk menunggu. Semenit. Dua menit. Hingga lima belas menit. Pesannya tak jua Haven jawab. Mengingat hari semakin malam, Della pun berdiri, kembali mendekat ke pintu. Mungkin Haven sudah tidur, ia tak akan mengganggu kekasihnya itu. Biar ia letakkan saja dompet Haven di meja ruang tengah dengan sebuah catatan jika Della datang malam ini. Della merogoh dompetnya, mengambil sebuah kunci yang memang Haven berikan agar Della bisa datang ke rumahnya kapan saja. Della dan Haven sudah saling mengenal cukup lama, tahun ini adalah tahun kesepuluh. Mereka bersahabat sekitar lima tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalin cinta. Bagi Della, Haven tak hanya seorang kekasih, melainkan seorang sahabatnya, pelindungnya, dan keluarganya, terlebih sejak ia melanjutkan study-nya jauh dari tanah air. Della memasukkan kunci ke dalam lubangnya, lalu memberi putaran hingga bunyi ‘klik’ terdengar dua kali. Namun, begitu daun pintu itu ia tarik, langkah Della terasa semakin berat. Ingatannya tiba-tiba saja melayang ke beberapa waktu lalu, saat di mana ia menghadiri sebuah gala dinner bisnis di Sydney. Di sana, Della mengenalkan Haven pada Ariana, saudara sepupunya yang kala itu hadir bersama Paman Della; Genta Dary Natha. Ada rasa tak nyaman yang Della rasakan saat Haven menatap Ari. Ya, Ari memang luar biasa cantik. Ia adalah seorang model yang cukup ternama di Jakarta. Namun sejak Ari duduk di bangku kuliah, Genta sudah mulai menyiapkannya untuk kelak mendedikasikan diri di perusahaan mereka. Itulah sebabnya Genta seringkali mengajak Ari menghadiri pertemuan-pertemuan bisnis. Dan sejak saat itu, entah mengapa sikap Haven mulai berubah. Haven tetap hangat, tetap lembut pada Della, tetapi beberapa kali Della menangkap kegelisahan kekasihnya, entah apa yang Haven sembunyikan. Lutut Della lemas kala memulai langkahnya, kegelisahan semakin memuncak, punggungnya dingin, perutnya pun terasa ngilu. ‘Ya Tuhan ada apa ini?’ Della menarik napas panjang, menahannya sesaat sebelum menghembuskan udara itu kembali secara perlahan. Ia mengulangnya beberapa kali. Begitu merasa bisa mengendalikan emosi, ia pun melanjutkan langkah untuk masuk ke kediaman pribadi Haven. Baru saja Della melangkah lebih dalam, langkah kakinya terhenti kembali. Dua pasang sepatu tergeletak berjajar di batas foyer. Satu sepatu pria yang sangat Della kenali sebagai sepatu Haven, dan satu sepatu wanita yang sama sekali tak Della kenali pemiliknya. ‘Siapa yang bertamu malam-malam begini?’ Della menguatkan diri, menyeret langkahnya sekuat mungkin. Air mata sudah menggenang di pelupuknya, rasa sesakpun semakin menjadi, kedua lututnya semakin lemas membuatnya jalan dengan gemetaran. Beberapa langkah kemudian, suara-suara mengerikan pun menyapa pendengaran Della. Desahan yang bersahutan dengan suara geraman mengoyak relung hatinya. Belum lagi pakaian yang berserakan di ambang pintu kamar. Sungguh, apa yang akan ia saksikan terlalu perih untuk ditanggungnya. Tepat di depan pintu kamar, Della membekap mulutnya. Pintu kamar itu terbuka setengah. Namun dua orang yang berada di dalamnya sama sekali tak menyadari keberadaan Della. Air mata Della mengalir deras. Sekuat tenaga ia menahan isaknya. Ari yang mengejang seraya meneriakkan nama Haven, dan Haven yang semakin buas bergerak di atasnya. Della ingin berlari, namun entah mengapa kakinya seperti tertanam, seolah Tuhan memaksanya untuk membuka mata atas pengkhianatan yang dilakukan dua orang yang sangat ia percaya. Della menarik napasnya dalam. Menutup kedua matanya untuk memanggil kesadarnnya yang mungkin sudah diambang batas. Ia mencoba menguatkan diri, lalu memundurkan langkah perlahan, menjauh dari pemandangan yang meremukkan hatinya. Begitu pintu di belakangnya tertutup dan ia kunci kembali, Della terjatuh begitu saja. Tangisnya pecah. Satu tangannya menumpu tubuh, sementara satu tangan lagi memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak. Kaki Della kebas, rasanya begitu payah untuk kembali berdiri. Jika ia tetap di sana, mungkin sekali Haven akan mendapatinya terpuruk seperti itu bukan? Tidak! Della tak mau melepas Haven seperti ini. Ia butuh penjelasan. Ia butuh alasan mengapa Haven berkhianat. Ia harus menata diri jikalau ia dan Haven berpisah, Haven tak melihatnya sehancur ini. Sekuat tenaga Della mengangkat tubuh, menyeret langkah ke dalam sedannya. Hanya butuh waktu lima belas menit berkendara hingga ia tiba di apartemen tempatnya tinggal. Jalanan sangat sepi, bahkan tadi Della melaju dengan kecepatan sedang. Baru saja Della masuk ke unitnya, ponselnya berbunyi. Nada dering khusus sang kekasih menyapanya. Della tak sanggup mengangkat. Malah tangisannya yang semakin menjadi. Ponsel itu terus berdering, hingga mati. Begitu lagi. Di pengulangan kelima, tak lagi ada panggilan masuk. Namun, satu pesan singkat Della terima. Della hanya menatap layar ponselnya, membaca kalimat dari Haven tanpa membuka aplikasi. Haven: Della, dimana kamu? Della mencoba menenangkan diri. Setidaknya kedua ibu jarinya tak lagi gemetaran. Della: I’m sleepy. Haven: Kata kamu, kamu ke sini? Della: Kupikir kamu udah tidur, jadi aku pulang. Haven: Maaf, sayang. Della: Untuk apa? Haven: Ga tau kalau kamu datang. Della: Jangan lupa ambil dompet kamu besok. Haven: Oke. Sleep tight, babe. Haven: I love you, Della. Air mata Della berderai deras kembali. Della: I love you too, Hav.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD