2. Fotografer Baru

1282 Words
Fotografer Baru   Kembali dengan aktivitas pagi. Rasa lelah sudah menjadi makanan sehari hari. Peluh dan keringat sudah sering mereka rasakan. Saat week end menjelang bukannya istirahat malah bekerja. Kebanyakan pernikahan justru di laksanakan, ketika libur atau week end. Jadi, tidak ada waktu istirahat bagi Clarisa. Kali ini ia sedang berjalan di sebuah taman kota. Taman tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Clarisa sibuk dengan sketsa yang ia buat. Baju kebaya hijau untuk pengantin pria dan wanita. Clarisa gambarkan. Jika ada waktu senggang, Clarisa memang selalu menyempatkan diri, untuk keluar dan mencari inspirasi untuk baju terbarunya. Dan syukurnya. Para client selalu mendapatkan busana yang pas saat wedding. Kadang ada pula client yang meminta gaun atau jas yang limited edition. Ya mau tidak mau, Clarisa harus memutar otaknya untuk membuat yang baru.   Srrrett srrett “Shitttt! Otak gue mampet gini! Pokoknya tarmalem gue harus selesaiin kebaya hijau ini,” rutuk Clarisa kesal. Pandangan Clarisa tertuju pada seorang cowok yang baru saja memasuki taman. Cowok itu menenteng sebuah kamera. Cowok itu sedang asik memotret setiap objek yang ada di taman kota itu. Parasnya yang putih bersih membuat aura tampannya terlihat jelas. Tubuh yang atletis, tinggi dan mata yang dalam membuat para perpempuan mungkin akan tergila gila melihatnya.   Cklik cklik Suara kamera itu mengganggu pendengaran Clarisa. Ternyata cowok itu sudah mendekati posisi Clarisa duduk. Yang pastinya, Clarisa curiga cowok itu memotret dirinya. “Lo fotoin gue?!” tegur Clarisa pada cowok itu. Tapi, sepertinya cowok itu tidak menghiraukan perkataan Clarisa. “Heh ngapain lo motret gue! Di sini kan banyak objek. Tuh ranting-ranting atau burung-burung aja yang lo foto. Jangan foto gue!” damprat Clarisa sambil menghampiri cowok itu. “Lo geer banget sih. Gue emang lagi fotoin burung kali. Lo aja yang ke geeran!” katanya. Muka Clarisa merah padam karena malu. Mungkin benar, cowok itu sedang foto burung.   Cklik cklik.   “HEH! Tuh kan bener lo foto gue!” kali ini Clarisa yakin cowok itu sedang memfoto dirinya. “Astaga nih cewek. Kegerannya maksimal banget yah. Kalo lo ga percaya nih lihat!” cowok itu memperlihatkan kameranya pada Clarisa. Clarisa terperanjat. Memang benar cowok itu memang sedang memotret suasana sekitar tempat duduk Clarisa. “Whatever. Gue jadi ga mood!” Clarisa meninggalkan cowok itu . ♡♡♡♡   Seusai mengamati, mencari objek di alam bebas. Rendy pulang ke rumahnya. Rumahnya yang sederhana namun sangat nyaman bagi Rendy. Rumah antik peninggalan belanda ini, jika di lihat dari luar memang sedikit menyeramkan. Tapi, jika di lihat dari dalam tentu tidak. Rumah ini terbuat dari kayu. Warna coklat pekat, di padu corakan yang indah membuat rumah ini terlihat sangat unik. Ayah Rendy memang masih ada turunan bangsa Belanda. Ia menikah dengan Amaralia Narata Wijaya ibunya Rendy. Sebetulnya, hubungan mereka tidak di setujui karena perbedaan agama. Akhirnya John Aemare Manantha memutuskan untuk mualaf. Nama belakang Manantha di ambil dari nama kakek Rendy. Kakek Rendy memang dari jawa sementara neneknya yang dari Belanda.   “Udah pulang kamu Rendy,” sapa seorang perempuan menyambut kedatangan Rendy. “Ia kak Anadewi. Objeknya ga ada yang bagus. Jadi aku pulang cepet,” terlihat sekali gurat kekecewaan di wajah Rendy. “Sabar nanti juga ketemu hal baru. Oh ya bukannya hari ini kamu mau ke kantor WO yah? Kata temanmu Angga, di sana lagi butuh fotografer. Siapa tahu yang sekarang kerjaannya jodoh Ren. Sesuai banget sama bakatmu di bidang ini,” Anadewi bersemangat. “Iya kak. Nanti jam sepuluh. Ya udah aku masuk kamar dulu. Oh iya Okta mana kak?” tanya Rendy. “Kan sekarang hari senin. Anak-anak sekolah udah pada masuk,”  Rendy malah nyengir kuda. “Ya udah Rendy masuk kamar dulu yah,” pamitnya. Rendy masuk kamar ia melihat-lihat hasil jepretannya. “Ga ada yang aneh. Pengen suasana baru. Eh tapi sebentar,” mata Rendy terpaku pada foto yang ada di kamera sekarang. Foto itu cewek berambut panjang, berparas cantik, kulit putih dan bibir pink yang natural. “Ini kan si cewek ke geeran itu. Masa iya gue bisa foto dia. Hah! Kalo dia tahu gue foto dia. Udah ngamuk kali kaya srigala mau beranak,” rutuk Rendy. Tapi, Rendy pun tidak menyangkal. Clarisa memang manis. Gayanya yang selalu mengikuti fashion, membuat dia sangat menarik. Sayang cantik-cantik galaknya minta ampun.   ♡♡♡♡   Senin pagi di kantor Molefatho Wedding Organizer.   Ruangan Clarisa.   “Mbak ada tamu mau ketemu mbak, katanya mau ngelamar jadi fotografer,” ucap Wahida salah satu staff di kantor ini. Sebetulnya Wahida itu teman Clarisa. Hanya saja jika di kantor. Clarisa sangat di hormati. Semua pegawainya memanggil dirinya dengan sebutan ‘mbak’ bukan ‘ibu’. Clarisa tidak suka di panggil ibu. Katanya dia belum setua itu, kalau di panggil ibu. “Suruh tunggu aja bentar. Lagian suruh dateng jam sebelas. Jam segini udah dateng,” “Baik mbak nanti saya bilang,” Wahida keluar dari ruangan Clarisa. Datang cepat salah, datang terlambat lebih salah. Haduh, maunya apa si Clarisa ini.   Satu jam kemudian.   “Ok. Lo simpen aja CV sama hasil foto-foto lo di meja, nanti gue pelajarin dulu,” perintah Clarisa saat pelamar itu masuk. Clarisa sedang sibuk dengan sketsa baju hijaunya. Ia tidak memandang pelamar itu. “Ini bu,” ucap pelamar itu. Bu? Lagi lagi di bilang ibu. Clarisa langsung memandang pelamar itu. Nampaknya wajahnya sudah familiar di mata Clarisa. Kira-kira ketemu dimana yah? Clarisa mengingat-ngingat. “Lo kan yang tadi pagi fotoin gue!!,” seru Clarisa. “Oh jadi elo direktur kantor ini,” Rendy juga baru sadar kalau cewek yang ada di hadapannya sekarang adalah Clarisa. “Nama lo siapa? Punya ke ahlian apa lo? Coba gue lihat hasil foto lo!” Clarisa tidak suka basa basi dengan orang baru. “Ngomongnya bisa sopan dikit ga? Gue Rendy Manantha. Temennya Angga, gue dapet info kalo di sini lagi butuh foto grafer. Ga nyangka, bosnya galak plus ke geeran kaya gini,” sindirnya. “Sialan lo ngatain gue! Udah diem aja. Gue lihat dulu karya lo,” Clarisa membuka amplop coklat yang Rendy berikan tadi. Saat ia buka. Clarisa terpukau dengan hasil jepretan Rendy. Semuanya terlihat indah, sangat detail dan tahu bagaimana posisi foto yang bagus.  “Foto lo bagus juga. Ya terpaksa gue harus terima lo. Nih tanda tangani kontrak kerjanya,” tanpa rasa bersalah pada Rendy dia malah menyerahkan surat kontrak kerja. Rendy mengambil surat kontrak kerja itu. Ia langsung menandatangani kontrak itu. “Lo ga baca dulu peraturannya?” tanya Clarisa.  Rendy hanya menggeleng. Sepertinya ia tidak mau banyak bicara. Mungkin ini saatnya ia harus serius dengan pekerjaannya. Kerjaannya yang dulu tidak mendukung hobinya yang suka sekali dengan fotografi. Semoga saja di WO Molefatho ini Rendy menemukan kenyamanan. Yah, meskipun bosnya super galak.  “Hari ini lo udah mulai kerja. Lo tanya asisten gue aja Rini. Dia kepala pelaksana disini. Dia bakalan jelasin teknis dan tugas lo di sini,”  jelas Clarisa. “Oke. Makasih bu,” singkat Rendy. “Tunggu! Satu lagi. Panggil gue mbak aja. Ga usah ibu gue ga suka!” “Aneh di hormatin kok ga mau,” ceplos Rendy. Clarisa geram. “Udah nurut aja, lo masih pegawai baru di sini. Lo masih tahap trening sebulan di sini. Jadi, lo jangan macem-macem,” Rendy hanya menggeleng-gelengkan kepala. Heran ada bos yang tidak sopan dan galak seperti Clarisa. Mau bagaimana lagi. Tekadnya sudah kuat untuk bekerja di bidang ini. Mungkin WO merupakan tantangan bagi Rendy. Tidak ada pengalaman sama sekali ia di bidang ini. Tapi, ya sudah lah. Rendi juga sudah bertekad dalam hati. Kontrak kerjapun sudah ia tandatangani. Setelah keluar dari ruangan Clarisa. Rendy menuju ruangan Rini sesuai perintah Clarisa.   Mampukah Rendy bekerja dengan baik sebagai WO? Sanggupkah Clarisa mendesign kebaya hijau yang client mau?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD