“Yang mana rumahmu?” Harist mengemudi mobilnya dengan lirih, menunggu aba-aba perempuan disampingnya siapa tau berhenti mendadak karena telah sampai di rumahnya.
Aara menunjuk gang yang berada di depannya, “Berhenti disana saja, Pak.” Jawabnya.
“Maksud kamu, rumahmu ada disamping gang?” Harist memastikan kembali.
Perempuan itu menjawabnya lagi dengan menggeleng, “Rumahku masuk di gang itu, tapi sebaiknya kamu mengantar sampai di depan gang saja. Oh ya, jangan lupa suruh anak buah kamu untuk mengantar motorku, kuncinya sudah di kamu kan? Makasih ya.” Seolah sedang mengerjai Harist, Aara bersikap seenaknya sendiri menyuruh Harist. Melihat sikap Aara yang menyebalkan, laki-laki itu mencibirnya..
“Kamu ya, kenapa jadi menyebalkan sekali sih?” gerutu Harist yang langsung dihadiahi tatapan penuh intimidasinya Aara.
“Lalu siapa seseorang yang sedang bersamaku sekarang? apakah orang yang berbeda dengan yang kukenal selama ini, atau memang orang yang sama tapi memiliki dua kepribadian?” Aara menghempaskan tubuhnya dipundak kursi. “Maaf, tidak sepantasnya aku berbicara seperti itu pada atasan.”
Harist menyadari satu hal yaitu; kebohongan.
Perkenalan yang sudah dimulai dengan kebohongan membuatnya terus melakukan sandiwara di depan Aara. Dia ingat waktu pertama kali bertemu dengan Aara di taman dekat persimpangan, dia berusaha menjadi orang yang santai dan bersikap nonformal, memperkenalkan diri seolah dia mudah bergaul, padahal sebenarnya Harist adalah laki-laki yang kaku dan tidak bisa berekspresi, dia hanya diajarkan cara berbisnis dan menjadi bos muda yang sukses.
Setelah mengenal Aara, menurutnya perempuan itu berjuta ekspresi yang membuatnya berdecak heran dan kagum. Aara adalah warna baru di kehidupan Harist yang datar.
Aara bercerita banyak hal karena patah hatinya hingga membuatnya pergi meninggalkan semua yang bersangkutan dengan masa lalunya, termasuk pekerjaan. Harist yang pada saat itu merasa menjadi teman baiknya, berusaha melakukan yang terbaik untuk Aara. Dia dengan sengaja meminta ayahnya untuk merekrut Aara di perusahaan milik ayahnya.
“Kenapa tidak di perusahaanmu saja, Rist? Bukannya perusahaanmu juga sedang membutuhkan karyawan?” pertanyaan ayahnya ada benarnya juga, namun segera dia elak, karena kebohongannya.
Kebohongan yang membuatnya takut kehilangan teman seperti Aara, dia memperkenalkan diri sebagai orang biasa, karyawan di perusahaan swasta, bagaimana jadinya jika saat itu dia memperkenalkan diri sebagai bos di perusahaan besar, apa perempuan itu akan seterbuka dengannya?
Hingga saat itu tiba, ayahnya mengalami serangan jantung dan harus beristirahat dengan waktu yang cukup lama, mau tidak mau sebagai anak tunggal, Harist harus menggantikan ayahnya di perusahaan yang dimiliki oleh ayahnya, tepatnya perusahaan tempat Aara bekerja.
Harist yang terkenal kaku dan keras ternyata membuat Aara terkejut, seolah Harist yang ditemuinya waktu itu bukanlah temannya di taman dekat persimpangan.
“Maaf,” Ucap Harist sembari menghentikan mobilnya di depan gang.
“Terima kasih, Pak.” Aara hendak turun dari mobil namun tangannya ditarik oleh Harist.
“Aku tau kamu masih nggak percaya dengan yang kamu lihat. Tapi ini yang sebenarnya. Aku minta maaf karena telah berbohong masalah kehidupanku. Aku berusaha menjadi teman yang baik buat kamu.” Ucap Harist.
“Apa Harist yang sesungguhnya adalah ini? Seseorang yang dikenal kaku dan keras.” Aara memastikannya lagi.
Dan laki-laki disampingnya mengangguk, membenarkan ucapan Aara.
Perempuan itu menghembuskan napas kasar, dia memijit pelipisnya lagi, entah sudah yang keberapa kalinya. “Kenapa kamu bangga sih disebut kaku dan keras!” Aara masih tidak habis pikir saja.
“Kamu memaafkan aku tidak?” Tanya Harist tanpa basa-basi.
Aara menimang sesuatu, dibalik pekerjaannya sekarang sudah pasti ada bantuan dari Harist. Dan untuk masalah hatinya, Harist juga lah yang membuatnya menjadi perempuan yang Tangguh.
“Iya aku memaafkanmu.” Jawabnya.
“Baiklah, kita tetap teman kan?”
Aara menatap Harist, “Kita tetap teman, tapi aku minta tolong sama kamu, kita harus jaga sikap di kantor dan dimanapun jika itu ada karyawan lain. Aku tidak mau dianggap penjilat bos atau bahkan mata-matanya bos.” Syarat yang diajukan Aara.
“Baiklah, aku menyetujuinya, aku jamin nggak ada karyawan satu pun yang tau pertemanan kita…”
Aara pun tersenyum, “Terima kasih banyak, aku pulang dulu ya.” Ucapnya hendak turun.
“Eh tunggu, kenapa nggak sekalian aku antar sampai depan rumah?” tanyanya, Harist juga ingin main ke rumah Aara, dia ingin tau lingkungan tempat Aara tumbuh menjadi perempuan yang lucu dan penuh ekspresi itu.
“NGGAK PERLU.” Aara langsung menolaknya, dia hanya ingin menjaga nama baik keluarganya, apa yang akan dibicarakan oleh tetangga jika melihatnya diantar menggunakan mobil oleh seorang laki-laki.
“Kenapa?”
“Sudahlah, jangan tanya.” Aara langsung keluar dari mobil dan berjalan memasuki gang yang tidak terlalu sempit, mobil Harist bisa saja masuk kesana. Dia masih bingung kenapa Aara tidak mau diantarnya sampai rumah.