Cemburu

1121 Words
Lynne mengunci pintu serta menutup gorden jendela rapat-rapat. Dalam hati berdoa semoga tidak ada tetangga kamar yang mengintip saat ia dan Fendi masuk ke kamar. Ia tampak tersengal. Denyut nadinya perlahan melambat. Nafasnya juga mulai normal. Fendi telah melepas jaket hitam dan rok merah pinjaman Frieda. Lalu merebahkan tubuhnya di kasur yang berada di pojok kiri kamar berukuran empat kali tiga yang hanya berisikan satu buah lemari kayu kecil berwarna cokelat tua, di sebelahnya terletak satu meja agak panjang yang digunakan untuk meletakkan beberapa produk untuk memoles wajah, sebuah kaca portable, dua buah sisir berwarna pink dan hitam serta untuk meletakkan buku juga beberapa lembaran kertas yang disusun dengan rapi. Lynne menaruh tas selempang bertali panjang warna hitam di atas meja panjang. Meletakkan sepatu flat warna hitam di dekat kaki meja yang berjarak beberapa centi meter dengan galon air minum. Jaket warna abu-abu ia gantungkan di gantungan baju yang ditempel di balik pintu, bersebelahan dengan jaket hitam milik Fendi dan rok merah Frieda. Kemudian mengambil setelan piyama berwarna pink dari dalam almari coklatnya lalu bergegas masuk ke kamar mandi yang terletak berseberangan dengan tempat tidurnya. Keluar dari kamar mandi, Lynne merebahkan tubuhnya di samping Fendi. Fendi menyambutnya dengan pelukan dan ciuman di bibir merah Lynne. Cukup lama mereka berpagutan dan saling melumat, degup jantung keduanya beradu. Fendi meregangkan pelukannya, melepas bibir Lynne yang pasrah menerima kenikmatan yang Fendi berikan. “Tidur aja ya sayang?” ujar Fendi menyembunyikan nafsu lelakinya yang sebenarnya tengah menggebu. “Peluk aku sepanjang malam ya sayang!” Lynne berkata sambil meraih tangan Fendi untuk dirapatkan ditubuhnya. Tanpa menjawab, Fendi memeluk Lynne dengan tangan kanannya, sedang lengan tangan satunya untuk bantal kepala Lynne. Sebenarnya mereka tidak benar-benar terlelap. Hanya terpejam saja. “Ternyata Fendi cowok baik, gak salah aku terima dia jadi pacarku. Semoga dialah jodohku” kata Lynne dalam hati. “Hampir aja aku kebablasan, pokoknya jangan sampai terjadi” dalam hati Fendi berkata dan berharap agar dia tetap menjaga kesucian Lynne sampai waktunya tiba. Mereka asyik bercakap dalam hatinya. Hingga alam mimpi menguasai keduanya dan mereka pun terlelap, berpetualang dalam alam bawah sadarnya. ***** Alarm hp Lynne mengejutkan keduanya, sebab rasanya masih sangat berat untuk membuka mata. Lynne meraih hp nya, tampak di layar menunjukkan pukul enam pagi. Lynne mencium kening Fendi kemudian bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Agak tergesa Lynne bersiap berangkat kuliah sebab hari itu kuliah dimulai pukul tujuh tiga puluh. "Kamu bolos kuliah dulu ya, gak mungkin kan kamu keluar jam segini, tetangga kamarku bisa heboh kalau tau aku ajak kamu kesini. Ingat selama aku di kampus, kamu gak boleh keluar kamar. Di atas lemari ada mie instan, teh, kopi. Kamu bikin aja. Nih teko pemanasnya" kata Lynne menjelaskan dengan terburu-buru. "Ok, aku juga masih ngantuk, kamu hati-hati sayang" "Iya sayang. Aku berangkat dulu" Lynne mencium pipi Fendi, membuka pintu lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Dengan cekatan Fendi menutup pintu kamar lalu menguncinya dari dalam. Fendi kembali melanjutkan tidurnya yang terpotong. Dan ia kembali terbangun saat perutnya menyampaikan sinyal minta diisi. Fendi meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Kemudian melangkah meraih teko pemanas air yang terletak diatas meja, mengisinya dengan air mineral dari galon dan disambungkan ke stop kontak. Dibukanya tutup mie instan, dituangnya bumbu ke atas mie sambil menunggu airnya mendidih. Ditelitinya satu-satu buku catatan Lynne. “Cewek kok tulisannya jelek banget sih” Fendi menggumam sambil senyum-senyum sendiri melihat tulisan dalam binder bersampul ungu. Membolak balik setiap lembarnya. Tiba-tiba tangannya terhenti, melihat ada kertas yang terlipat. Dibukanya kertas itu dan dibaca setiap hurufnya. Kata-katanya indah namun cukup menyesakkan hatinya. Wanita pujaan hatinya menyimpan sebuah puisi yang entah siapa pengirimnya sebab hanya tertulis sebuah inisial Mr. D sebagai pembuat puisi tersebut. “Aduuhh ... “ lengan Fendi kepanasan terkena percikan air dari teko pemanas yang isinya sudah sangat mendidih akibat pikirannya dilanda penasaran oleh beberapa bait puisi cinta. Cepat-cepat dicabutnya kabel teko pemanas, dikucurkan isinya kedalam cup mie instan rasa ayam spesial. Kertas puisi ditaruhnya dengan sembarangan di atas meja. Setelah mie siap, Fendi menyantapnya. Dalam hatinya masih bertanya-tanya siapakah gerangan Mr. D? Hatinya tengah dilanda cemburu. Sampai makan pun terasa tak enak, sisa mie instan yang tinggal separuh dibuang ke dalam closet. Diteguknya sedikit air putih lalu tubuhnya dihenyakkan kembali ke atas kasur. Pikirannya menerawang. Cemburu telah membakar hatinya. Rasa penasaran yang tak kunjung padam membuatnya kembali membaca puisi mr. D sembari tiduran. Tanggan kirinya ditekuk ke atas, kepalanya diletakkan diatas lengan itu. Ditelitinya kata per kata hingga huruf per huruf. Kalimat indah itu seperti tidak asing baginya. Namun dirinya tak ingat kapan, dimana bahkan siapa yang pernah menyairkan sebaris atau bahkan mungkin sebait dari puisi tersebut. “Gaya tulisan ini seperti tidak asing, tapi pernah lihat dimana ya? Tulisan siapa? Teman SMA ku kah? Tapi mana mungkin teman SMA ku. Lalu siapa? Namanya pakai huruf D? Mengapa Lynne tidak pernah cerita padaku soal hal ini?” Fendi meletakkan kertas itu di samping kasur yang ia tiduri. Pandangan Fendi kembali menerawang menatap langit-langit kamar kos pacarnya yang berwarna putih, di sebuah sudutnya terdapat seekor laba-laba yang sedang merajut membuat sarang. Pikirannya melambung jauh kepada teman-teman lelaki dimasa lalunya. Mencoba menerka siapakah temannya yang memiliki nama dengan awalan huruf D yang ingin merebut kekasih hatinya. Namun tidak berhasil diketemukannya. “Bisa jadi teman sekolah Lynne!” Fendi terhenyak. Lalu duduk bersila. Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa singgah lebih lama dalam otaknya. “Ah ya, pasti teman sekolahnya. Tapi, aku sama sekali tidak mengenal mereka, mana mungkin aku pernah melihat salah satu tulisan dari mereka, atau bahkan mengobrol dengan salah satunya. Ah, teka teki ini amat sangat membingungkan. Kalau misal Lynne saja tidak tahu, terlebih aku yang baru mengenalnya” Fendi terus berdialog, seakan ada seseorang yang tidak tampak sedang menemani dan mengajaknya berdiskusi. Bosan dan penat menguasai isi kepalanya. Diraih dan dinyalakannya ponsel yang ia matikan sejak semalam. Beberapa pesan masuk dari teman-temannya ia acuhkan. Ia lebih memilih untuk main game ringan yang telah diinstalnya beberapa hari yang lalu. Namun, kemenangan tidak pernah berpihak padanya. Hingga membuatnya semakin kesal. “Ah sial kalah terus!” Umpat Fendi. Tangannya yang mengepal dihantamkan pada bantal yang terletak persia disebelahnya. “Aha lebih baik aku cek pertemanan Lynne di dunia maya, siapa tahu mereka sering berkomunikasi atau saling menge-tag tanpa aku ketahui” Fendi mulai membuka satu persatu daftar teman pria Lynne yang namanya berawalan huruf D. Namun tak banyak, hanya beberapa saja, sebab lebih dominan perempuan yang menjadi temannya di dunia maya. “Benar-benar kebalikan, kalau aku kebanyakan berteman sama cewek. Selektif sekali dia” Fendi mulai mengecek semua teman Lynne, tidak hanya yang berhuruf D saja. Namun lagi-lagi tidak ada jejak apapun yang berkaitan dengan puisi atau tindakan romantis semacamnya. Cemburu dan rasa penasaran masih bercokol dalam hati dan memenuhi isi kepalanya. BERSAMBUNG ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD