Chapter 02 - Senja di Ujung Laut

1039 Words
Suara gemericik air di bawah lantai kayu RM Kampung Laut menyatu dengan desau angin senja yang makin menipis. Di sudut paling ujung, di atas saung kecil yang menghadap langsung ke perairan, Ryan Aditya dan Nuraini Senja duduk berhadapan. Sisa-sisa cahaya jingga memantul dari permukaan air, menciptakan suasana yang nyaris magis. "Mas Ryan, aku boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Nu sambil menyeruput teh hangatnya yang mulai dingin. "Boleh, apa aja." "Tentang kuliah... menurut Mas, aku cocoknya kuliah apa, ya?" Ryan menatap gadis itu lekat-lekat. "Kamu suka menulis, suka membaca, suka mengamati orang. Kenapa nggak ambil Sastra, atau Psikologi?" Nu tersenyum tipis. "Aku sempat kepikiran ambil Psikologi. Kayak Mas Ryan kan, lulusan Psikologi. Tapi... kayaknya berat. Aku takut nggak sanggup." "Nggak ada yang berat kalau kamu suka," jawab Ryan. "Psikologi itu tentang memahami orang lain. Tapi, lebih penting lagi, tentang memahami diri sendiri." Nu menunduk, memainkan sedotan plastik dalam gelasnya. "Kalau Mas Ryan sendiri, kenapa dulu ambil Psikologi?" Ryan tersenyum, wajahnya memandang ke kejauhan. "Karena aku ingin tahu kenapa orang bisa saling mencintai, lalu saling menyakiti. Ingin tahu kenapa luka bisa disembuhkan hanya dengan kalimat yang tepat." Nu mengangguk pelan. "Dan sekarang Mas jadi penulis yang bisa menyembuhkan lewat tulisan. Keren, ya." "Belum tentu sembuh, Nu. Kadang cuma bikin luka itu terasa punya tempat untuk istirahat." Hening sejenak. Angin laut berembus lebih pelan. "Mas Ryan... kenapa Mas sendirian? Maksudku... nggak ada istri atau... seseorang?" Pertanyaan itu membuat Ryan terdiam lebih lama dari sebelumnya. Matanya menatap permukaan air yang kini mulai menggelap. "Istriku... Theresia Kartini. Dia meninggal empat tahun lalu. Tiba-tiba tanpa sakit, pecah pembuluh darah di otaknya," Ryan menjawab dengan nada yang kesakitan. Nu terkejut. "Maaf, Mas... aku nggak tahu." Ryan mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Dia perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Kami menikah 15 tahun." "Anak-anak Mas?" tanya Nu pelan. "Dua. Krisma Putri Aditya dan Matahari Putra Aditya. Kelahiran 2004 dan 2005. Tapi mereka nggak tinggal bersamaku. Sejak awal SMP, mereka sudah ikut klub di Jakarta dan Batam. Jadi lebih banyak tinggal di luar kota." Nu terdiam, menimbang sesuatu. "Mas... yang di novel 'Karena Aku Memilihmu', tokoh anak-anak itu... mereka nyata, ya?" Ryan tersenyum pahit. "Iya. Mereka anak-anakku. Kekecewaan mereka terhadap sistem olahraga kita, terutama bulutangkis, membuat mereka memutuskan membela negara lain. Sekarang mereka masih membela bendera asing. Aku cuma bisa menulis kisah mereka dalam bentuk fiksi, karena sebagai ayah... aku nggak bisa menghentikan pilihan mereka." Nu memandangi Ryan lama. Hatinya tercekat. Ia merasa terhubung dengan luka yang tak terlihat itu. "Mas... berarti umur anak bungsu Mas... sebaya aku ya?" "Iya, bahkan mungkin kamu lebih tua beberapa bulan darinya. Kamu Agustus kan? Matahari kelahiran Nopember." Nu tertawa kecil. "Wah, aku ini lebih cocok jadi teman anak Mas dari pada duduk berdua begini ya." Ryan ikut tertawa, meski sedikit kaku. "Tapi kamu di sini sekarang. Dan aku... nggak merasa kamu anak kecil." Senja benar-benar memudar. Lampu-lampu gantung mulai menyala. Laut terlihat tenang, sesekali suara burung laut terdengar. Nu membuka tas kecilnya, mengecek ponsel, lalu mengembalikan lagi ke dalam. Ryan memandangnya. "Kamu nggak ada kabar dari teman-temanmu di Kopeng?" Nu menatap Ryan, agak gugup. "Mas... aku bohong. Aku nggak ke Kopeng. Nggak ikut acara perpisahan." Ryan menatapnya, kaget. "Lho, jadi...?" "Aku lebih memilih ketemu Mas. Aku bilang ke Ibu kalau aku ikut acara perpisahan dan nginap dua malam di villa. Tapi sebenarnya... aku pengen dua hari ini bareng Mas." Ryan tertegun. "Tapi Nu... kamu mau menginap di mana?" "Di apartemen Mas, boleh? Cuma dua malam. Aku nggak akan ganggu. Aku cuma pengen dekat. Nggak lebih." "Nu... itu bukan soal ganggu atau tidak. Aku... khawatir. Bagaimana kalau keluargamu tahu?" Nu menatapnya lama. "Mas Ryan takut aku ada di tempat tinggal Mas? Atau Mas Ryan udah ada yang nemenin di sana?" Ryan menahan napas, bingung menjawab. "Aku cuma pengen bareng Mas. Aku sayang Mas. Iya, mungkin Mas lebih pantas jadi ayahku. Tapi aku nggak bisa bohong soal perasaanku. Aku jatuh cinta." Suara Nu terdengar lembut, tapi teguh. Di bawah cahaya lampu kuning remang, wajahnya tampak dewasa melebihi usianya. Ryan memalingkan wajah. "Aku bukan lelaki muda, Nu. Aku penuh luka, masa lalu, dan keraguan." "Tapi Mas juga yang bilang, luka bisa sembuh kalau tahu tempat untuk beristirahat. Biar aku jadi tempat itu. Kalau Mas mau." Ryan menunduk. "Nu... aku belum bisa mencintai siapa pun lagi. Rasanya semua cinta dalam diriku sudah kuberikan ke almarhum istriku. Yang tersisa... cuma serpihan." Nu menggenggam tangan Ryan dengan lembut. "Aku nggak minta Mas balas sekarang. Aku akan menunggu. Dalam penantian itu, aku akan membuktikan bahwa cintaku bukan sekadar singgah. Tapi ingin menetap." Malam itu, mereka tak melanjutkan banyak kata. Tapi suasana di Kampung Laut menyimpan satu hal yang tak terucap: bahwa cinta memang tak bisa dipaksa, tapi juga tak bisa ditolak jika sudah mengetuk hati yang paling dalam. ----- Ketika senja telah menghilang dan kegelapan tiba membuktikan bahwa semesta makin larut, keduanya akhirnya meninggalkan RM Kampung Laut. Perjalanan menuju Tembalang terasa hening, namun bukan karena canggung. Justru ada kenyamanan baru yang tumbuh dalam keheningan itu. Saat mobil Ryan memasuki kompleks apartemen, Nu terkesima. "Mas... tempatnya adem ya. Dan dari atas nanti kelihatan kota Semarang, pasti indah banget." Ryan hanya mengangguk, lalu menurunkan kaca jendela saat melewati pos satpam. "Malam, Mas Ryan!" sapa satpam dengan ramah. "Malam, Pak Darto. Gimana anaknya, udah sembuh?" "Sudah, Mas. Makasih kemarin sudah dibelikan obat." Nu tersenyum mendengar sapaan itu. Saat naik lift menuju lantai atas, Ryan menyapa seorang petugas kebersihan yang mendorong trolley penuh peralatan. "Selesai bersih-bersih, Mbak Rini? Makasih ya, unit saya pasti jadi wangi banget." "Iya, Mas Ryan. Sama-sama. Ini ada jadwal nyemprot disinfektan juga minggu depan ya." Ryan menyelipkan uang lipat kecil ke tangan wanita itu. "Buat beli es teh ya, habis capek kerja." Setelah pintu apartemen terbuka, Nu masuk pelan-pelan. Tempat itu hangat, rapi, tak terlalu luas, tapi nyaman. Ia menatap Ryan. "Mas baik banget sama semua orang... aku makin yakin Mas bukan tempat singgah. Tapi rumah." Ryan hanya tersenyum tipis, belum menjawab apa pun. Tapi di dalam hatinya, sesuatu mulai bergeser. Dan malam itu, kota Semarang bersinar pelan dari kejauhan... seperti memberi ruang untuk sebuah kisah yang mulai tumbuh dari sepotong senja yang jatuh perlahan. Dan untuk pertama kalinya, Ryan Aditya merasa... mungkin, hatinya mulai membuka celah kecil lagi. Untuk seseorang yang datang... seperti senja. Seperti Nuraini Senja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD