Sejak pertemuan terakhir di perpustakaan SMA St. Mikael itu, hidup Dewi Kurniasih terasa seperti kehilangan warna. Wajah Ryan yang tegar, kata-katanya yang dingin tapi tulus, dan tatapan mata yang seolah sudah mengucap selamat tinggal tanpa perlu diucapkan, terus menghantui hari-harinya. Ia tidak menangis di hadapan Ryan, tapi air mata yang ia tahan itu pecah tanpa ampun begitu ia sampai di rumah. Namun rumah bukanlah tempat aman untuk bersembunyi. Sejak gosip hubungannya dengan Ryan merebak, keluarga Dewi tidak lagi memandangnya dengan kelembutan yang dulu pernah ada. Kakak-kakaknya jarang bicara kecuali untuk mengingatkan atau menegur, ibunya lebih sering menghela napas panjang setiap kali Dewi lewat, dan ayahnya… ah, ayahnya hanya diam, tapi diam itu justru terasa seperti penghakiman.

