Hari-hari Ryan kembali berjalan seperti biasa, namun tak ada lagi yang terasa biasa. Sejak kepulangan Nu ke rumah neneknya, dan jarak kembali membentang di antara mereka, Ryan merasa kekosongan yang selama ini sempat menganga kembali mengintip pelan-pelan. Ia memang masih bisa berkomunikasi dengan Nu lewat telepon dan pesan, namun kehadiran fisik gadis itu—sosok mungil yang hangat dan penuh semangat—tidak tergantikan oleh layar ponsel atau suara di ujung sana. Pagi itu, Ryan duduk sendirian di meja kerjanya. Secangkir kopi hitam mengepul di sudut meja, menemaninya menyunting naskah baru yang tengah ia tulis. Tapi pikirannya tidak benar-benar di sana. Jarinya bergerak lamban di atas keyboard laptop, sementara pandangannya lebih sering kosong, tertuju ke luar jendela tempat langit pagi meny

