Darah

1065 Words
4 bulan berlalu semenjak kedatangan Chiko. Aku cukup menikmati setiap momen bersama kami. Anjing ini memang mudah dilatih sehingga dia semakin pintar setiap harinya. Dan aku yang memang tidak terlalu memiliki pekerjaan ketika sepulang sekolah jadi lebih sering melatih Chiko dari pada belajar dan menyelesaikan tugas rumah. Hari ini sama seperti hari yang biasa kujalani. Sore hari aku akan menemani Chiko berjalan keliling kompleks. Sebenarnya menurut informasi dari Kak Vero, beberapa anjing milik tetangga sering diajak jalan-jalan ketika pagi hari bersama dengan pembantu mereka. Tapi aku tentu tidak akan membiarkan Chiko berjalan sendirian dengan pembantu. Bukankah sudah kubilang jika aku sangat menyayangi anjing ini? Dia anjing mahal yang kubeli dengan sedikit bersusah payah. Jadi, sore ini kuputuskan untuk mengajak dia jalan di kompleks hingga petang. Perutku sudah keroncongan ketika memutuskan kembali pulang. Sepertinya sebentar lagi sudah waktunya makan. Aku berjalan melewati lemari kaca besar tempat Papa menyimpan koleksi miniatur tokoh hero yang ditayangkan di beberapa film. Papa memang menyukai seri film tersebut sehingga aku dan kedua kakakku juga jadi ikut suka karena di setiap penayangan film barunya, Papa pasti langsung mengajak kami untuk nonton. “Tinggal beberapa bulan lagi. Setelah dia berusia 18 tahun, semuanya akan selesai” Samar-samar aku mendengar suara itu. Amat pelan, terlalu pelan hingga aku hanya mendengar dengan samar. Tapi.. tunggu dulu, suara ini berasal dari mana? Aku ada di lorong menuju kamarku. Lorong ini hanya diisi oleh beberapa lemari kaca. Tidak ada ruangan lain di sini. Aku berhenti bergerak. Begitu pula dengan Chiko yang langsung menyadari suasana saat ini. Anjing pintar! Usia 18, itu jelas aku. Mereka jelas sedang membicarakan aku. “Hanya tinggal beberapa saat. Kita harus bersabar” Tunggu dulu, mereka akan merencanakan pesta kejutan untukku?? Oh, ayolah.. usiaku sudah 18. Masa mereka masih mau memberi kejutan dengan kue dan balon? Tapi entah ini keberuntungan atau malah petakan, ketika aku terus mendengarkan pembicaraan mereka ada sesuatu yang membuat tubuhku terasa kaku dan tidak bisa bergerak. Napasku tercekat, juga jantungku yang terasa berhenti berdetak.  “Akan kita apakah dia? Membunuhnya?” “Tidak tahu. Mama dan Papa yang akan memberi keputusan. Kita hanya tinggal menuruti perintahnya saja..” Tunggu dulu! Tolong siapapun, tolong katakan jika ini hanya mimpi atau aku yang salah dengar. Tolong! Sadarkan diriku saat ini! Karena merasakan gerakan Chiko di kakiku, aku akhirnya menyadari sesuatu. Tidak, aku tidak bisa tetap disini! *** Aku duduk di kamar dengan kaki yang terus bergetar. Yang tadi kudengar, itu nyata atau hanya candaan semata? Napasku masih tidak beraturan, ini menyakitiku. Aku bahkan kesulitan mengambil napas. Jika benar apa yang baru kudengar, artinya mereka sedang membuar rencana yabg benar-benar gila! “Keana? Ayo segera makan!” Aku menengok dengan cepat, melototkan mataku ketika mendapati Kak Dean berdiri di depan pintu. Tanganku bergetar karena ketakutan. Ini reaksi alami yang terjadi padaku sekalipun aku sadar, aku tidak boleh seperti ini. Jika ingin mengetahui semuanya, aku harus bersikap biasa sambil terus memikirkan cara.. sebelum aku berusia 18 tahun. Oh Tuhan, apa aku hanya salah dengar dan jadi bersikap bodoh seperti ini? “Keana? Ada apa??” Tanya Kak Dean sambil berjalan mendekatiku. Tanganku terasa semakin dingin ketika melihat dia melangkah semakin dekat. Aku ketakutan! “Ee, tidak. Aku tadi hanya bertemu anjing galak di depan kompleks, tanganku saja masih gemetaran sampai saat ini” Jawabku sambil mencoba mengangkat tangan, menunjukkan jika jari-jariku masih terus gemetaran. Kak Dean berjalan semakin mendekat. Tanpa aku sangka dia mencoba menyentuh kepalaku, sungguh aku tidak mengira jika aku akan menghindari tangannya sehingga Kak Dean semakin mengerutkan dahinya. Mereka, Kak Dean dan Kak Vero memang sering menyentuh kepalaku hanya untuk mengusap atau bahkan memberantakkan rambutku. Tapi sekarang, di saat ketakutan seperti ini, aku tentu tidak siap dengan gerakan tiba-tiba semacam itu. Siapapun, tolong katakan jika ini hanya mimpi! Minimal aku hanya salah dengar saja! “Ada apa sih??” Tanyanya sambil tertawa geli. Dia berjalan mendekati nakas di dekat tempat tidurku lalu mengambil segelas air minum. Aku menerima uluran gelas itu masih dengan menatap was-was ke arah Kakakku. “Tidak, aku hanya masih ketakutan” Aku menjawab sambil terus memperhatikan gerak-geriknya yang berjalan sambil memunguti beberapa benda yang berserakan di tempat tidurku. Tunggu dulu, apa yang aku dengar tadi benar nyata? Jika iya, kenapa aku merasa jika ini adalah kesalahan. Kak Dean adalah kakakku sekalipun tidak satupun orang di muka bumi ini yang mengatakan jika wajah kami mirip. “Apa perlu aku panggilkan Mama??” Tanyanya. Aku segera menggeleng. Tidak, dengan keadaan seperti ini, amat sangat tidak mungkin bagiku untuk bertemu Mama. Setidaknya tidak saat tubuhku masih bergetar tidak karuan karena merasa bingung dan takut di saat yang bersamaan. “Ee, tidak. Kakak duluan saja, aku mau mandi. Nanti aku segera menyusul” Kataku. *** Tadi aku memiliki alasan mandi untuk menghindari mereka. Saat ini, setelah mandi, aku tetap harus menemui mereka. Aku tetap harus makan di meja yang sama, bersama dengan mereka. Baiklah, semua ini masih belum tentu terjadi. Bisa saja aku tadi hanya salah mendengar. Bukankah begitu? Tapi mana mungkin ada yang salah dengan telingaku? Aku yakin itu adalah suara Kak Vero dan Kak Dean. Jadi, apapun resikonya, aku tetap harus makan dengan santai. Aku tetap harus menjadi Keana yang biasanya. Hanya agar tidak ada yang mencurigai keanehanku. Dan ini amat sangat sulit. Aku bahkan tidak bisa mempercayai apapun! Aku terus ditanyai dengan senyum manis di bibir mereka. Tidak! Tolong siapapun, sadarkan aku. Aku bahkan kebingungan membedakan segalanya. Yang mana yang nyata? Ini keluargaku, mereka keluargaku. Tapi aku masih mempercayai kemampuan pendengaranku. Dan aku tidak mungkin salah mendengar apalagi salah menyimpulkan. Jadi.. kuputuskan untuk tetap menjadi Keana.. Keana Larasati yang biasanya sembari aku mencari tahu sesuatu. “Kamu mau menambah lauk sayang??” Tanya Mama dengan tatapan lembut seperti biasanya. Aku menatapnya dengan cepat tapi secepat kedipan mata, aku juga mengalihkan tatapanku. Ini terasa salah.. Ada yang aneh dari semua ini. Entah aku atau mereka. “Aku sudah kenyang. Sepertinya aku akan tidur lebih dulu..” Kataku sambil bangkit berdiri dengan cepat sehingga tidak sengaja menyentuh ujung gelas. Suara pecahan gelas menggema di ruangan ini membuat aku memekik sambil menutup telingaku. Ini reaksi yang berlebihan untuk sekedar kaget karena gelas yang pecah. “Hei! Ada apa??” Kak Vero yang berada di sampingku segera menyentuh lenganku. Aku yakin dia ingin membuat aku tenang tapi yang terjadi aku malah mengelak sentuhannya. Tubuhku sedikit tidak seimbang sehingga tanpa sadar kakiku bergerak, dan sialnya lagi di sana ada banyak pecahan kaca. Oh sial! Ini menyakitkan. Aku melotot ketika melihat darah mulai mengalir dari telapak kakiku. Aku tentu masih sadar ketika melihat semua orang berteriak khawatir sambil memintaku untuk tidak menggerakkan kaki. Oh tidak, mereka semakin mendekatiku. Aku menatap khawatir.. jangan bertindak bodoh! Kumohon.. Aku harus tetap tenang untuk menghadapi semua ini. Untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi sini. “Telpon dokter, Dean. Papa akan membawa Keana ke kamarnya!” Oh s**t! Kenapa.. kenapa aroma darah ini membuat aku tenang??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD