Janji yang Ternoda

1198 Words
"Mas bersedia, hanya laki-laki bodoh yang bisa menolak wanita sempurna seperti kamu, Sera." Ada senyum mengembang di bibir tipis gadis dengan rambut sebahu saat jawaban yang diharapkannya, diucapkan oleh Wira dengan mantap. "Kalau begitu sampaikan ke papah, Mas." ucapnya menahan kebahagiaan yang membuncah. "Pasti. Besok mas akan bicara sama Pak Handoko." "Emmm, kalau begitu aku matiin ya, Mas." "Iya, okey." "Mas?" "Ya?" "Hmmmm, selamat malam calon suami." Mengulas senyum samar, Wira pun berucap, "Selamat malam juga calon istri." Panggilan terputus, menyisakan rasa sesak di d**a pria berumur 27 tahun tersebut. Meski keputusannya mantap, tapi tidak dipungkiri rasa bersalah itu menjalar memenuhi hatinya. Tapi sekali lagi ia meyakinkan, Wira tidak benar-benar mengkhianati Rinjani, ia tidak akan meninggalkan gadis yang amat dicintainya itu. Wira hanya membagi cinta. Sera dan Rinjani, keduanya adalah dua wanita yang akan menjadi bagian penting dalam hidupnya. "Maaf Rinjani, kakak melakukan ini. Kakak mencintai kamu, tapi kakak juga punya tujuan hidup yang ingin kakak capai. Kamu sangat berharga, tapi tawaran ini juga tidak kalah berharga. Suatu saat, saat punya kesempatan kakak pasti akan menunaikan janji kakak ke kamu. Sebagaimana cita-cita kita dulu." gumamnya sendirian saat menatap langit-langit kamar. "Sampai waktu itu tiba, bersabarlah sayang." Di ruangan lain, Sera nampak bahagia sambil menepuk-nepuk pipi. Setahun mengenal Wira, membuat gadis itu langsung jatuh cinta. Semenjak Wira naik jabatan menjadi kepala gudang setahun yang lalu, di sanalah dimulai pertemuan mereka. Selanjutnya, intensitas pertemuan mereka semakin sering. Sera yang memang suka menyusul ayahnya ke gudang, kerap kali bertemu Wira saat laki-laki itu tengah memberikan laporan kepada ayahnya di ruangan khusus manager. Tidak ada yang bisa Sera katakan tentang laki-laki berusia 27 tahun tersebut. Yang ia tahu, Wira adalah sosok laki-laki yang sangat ia kagumi. Pintar, sangat bisa diandalkan juga bisa dipercaya, dewasa, bertanggung jawab, disiplin dan ... "Ehemmm, dia juga tampan dan gagah." gumamnya sambil senyum-senyum sendiri. Tidak memandang kasta dan seakan lupa bahwa Wira hanyalah seorang pemuda dari desa, di matanya sosok Wira benar-benar idaman wanita. Selain itu, idaman calon mertua. Pikirnya. Yahh, tidak jarang memang ayahnya memuji pria itu di depannya, memupuk benih-benih cinta yang tumbuh menjadi begitu subur hingga sebesar sekarang. Dia tidak memandang status sosial, yang terpenting baginya adalah kelebihan pria tersebut yang patut diacungi jempol juga patut dipertimbangkan untuk dijadikan calon suami idaman. "Mas Wira, i love you." gumamnya lagi sambil tersenyum bahagia. *** "Kakak ...." "Apa, Sayang?" "Kuotaku habis." Rinjani mengadu dengan memasang wajah murung. Wira tersenyum gemas. "Siap, kuota 15 gb on the way ke nomor kamu." Seketika wajah Rinjani langsung berbinar cerah. Setiap bulannya Wira memang selalu memberikan jatah kuota kepada Rinjani, selain itu ia akan mentransfer sejumlah uang untuknya. Tidak besar, tapi lumayan untuk jajan di kampung selama satu bulan. Handphone dalam genggaman Rinjani, itu juga hadiah pemberian dari Wira di tahun ketiga ia merantau. Semenjak keberadaan handphone itu di tangan Rinjani, setidaknya dalam seminggu mereka mempunyai waktu dua hari untuk melakukan panggilan video dan melepas rindu, dan hampir setiap hari untuk saling bertukar kabar dan bercerita. Tidak seperti di tahun pertama dan kedua yang begitu menyiksa keduanya karena saling merindukan. Betapa indahnya kisah cinta mereka, andaikan Wira tetap setia dan tidak berniat untuk menduakannya. "Kakak ...." "Hmmm?" "Aku kangen." "Sama." "Aku ... aku ...." Terbata Rinjani berkata, seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya. "Apa cantik?" Aku ... aku gapapa walau kita nikah di KUA aja, gak usah pake acara besar-besaran, yang penting kita bisa bersatu. Kakak jangan terlalu memikirkan tabungan pernikahan, aku menerima kamu apa adanya. Aku gak mau lagi terpisah jarak, aku ingin jadi milik kamu seutuhnya, kamu jadi milik aku. Walau akhirnya akan balik lagi ke kota, aku siap untuk ikut kamu kesana. Menemani perjuangan kamu, membangunkan kamu setiap pagi, menyiapkan sarapan, mencuci pakaian kamu dan membangun istana kita walau hanya gubuk reyot sekalipun, aku siap. Asal kita menikah dan bebas dari jarak yang menyakitkan ini. Tenggelam dalam lamunan, itulah kalimat yang ingin sekali Rinjani sampaikan. "Sayang, Rinjani? Kok diam?" tanya suara di seberang saat gadis yang tengah berbicara padanya itu terdiam cukup lama. "Ahh, oh ... ehmmm gapapa, gapapa. Bukan apa-apa, kok." Rinjani mengusap wajah. Entah kenapa merasa bersalah dengan pemikiran tersebut. Ia menggelengkan kepala, untung saja kalimat itu tidak diucapkan oleh lidahnya. Bagaimanapun juga, pasti Wira punya banyak cita-cita yang ingin dicapai. Bukan hanya menikah dengannya saja, banyak target yang ingin ia capai. Bukankah sebelumnya laki-laki itu sudah mengatakan, selain menabung untuk menikah ia ingin membangun rumah untuk orangtuanya yang masih terbuat dari kayu, membangun usaha untuk bapak supaya tidak perlu capek-capek lagi mencangkul di sawah, dan banyak hal lainnya. Sedangkan saat ini keinginan itu baru dicapai dengan membangun rumah saja. Itupun masih mentah dari targetnya yang ingin memberi plafon di atasnya dan memasang keramik untuk lantainya. Pasti Wira sangat bekerja keras untuk itu semua, menyesuaikan gaji dengan segala hal yang menjadi targetnya. Rinjani tidak bisa membayangkan bagaimana laki-laki itu membagi-bagi upahnya. Buat orangtua di kampung, Buat makan dan biaya hari-harinya di kota, Buat bensin dan cicilan motor yang berlangsung selama lima tahun, Buat kuota dan uang jajan Rinjani, Belum tabungan menikah, tabungan membangun rumah, tabungan membangun usaha, tabungan lain-lain. Oh ohh, sudah cukup Rinjani! Jangan egois, perjuangan Wira di kota lebih berat daripada rasa rindumu itu! Keluhnya dalam hati. "Betapa egoisnya aku." Tanpa sadar ia menggumam lirih, membuat laki-laki di seberang mengerutkan dahi. "Siapa yang egois?" tanya Wira penasaran. Gelagapan, Rinjani menjawab asal. "Cicak kak egois banget," "Cicak?" gumamnya keheranan. Meski heran, Wira memilih untuk tidak meneruskan pertanyaannya lagi. Laki-laki itu hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala dengan keanehan gadis yang amat dicintainya. Justru yang menjadi fokusnya saat ini adalah mengenai rencana esok hari. "Rinjani?" "Ya?" "Kakak minta maaf." "Untuk?" Hening untuk beberapa lama. Wira mengetuk-ngetuk meja yang ada di hadapannya, raut wajahnya mengekspresikan rasa bersalah. "Kak, kenapa minta maaf?" Rinjani mengulangi pertanyaan karena laki-laki di hadapannya masih saja terdiam dalam lamunannya. "Emm bukan apa-apa. Bukan apa-apa." Wira menghembuskan napas gugup. Permintaan maaf itu refleks ia ungkapkan. Karena esok ia akan memutuskan untuk menyanggupi tawaran Pak Handoko. Dan di sanalah awal mula pengkhianatan itu dimulai. *** Siang itu, Wira, Pak Handoko dan Sera terlibat makan siang bersama sembari membicarakan hal serius di sebuah saung bambu lesehan dengan menu masakan Nusantara. Wajah gadis dengan rambut sebahu itu terlihat berseri dan senyum mengembang di wajah Pak Handoko. "Bagus sekali keputusanmu, Wira. Kalau begitu, saya akan mulai menyiapkan acara pernikahan kalian dengan resepsi yang meriah." ujar Pak Handoko dengan penuh wibawa. Menatap dua insan yang ada di hadapannya, Wira dan Sera sedang saling melirik dengan senyum menghiasi wajah masing-masing. "Dan kamu tidak perlu khawatir, semua biaya pernikahan biar saya yang urus. Tugasmu adalah menjaga anak saya dengan baik, dan bahagiakanlah dia. Jangan sekali-kali kamu menyakitinya. Sera adalah satu-satunya harta saya yang paling berharga." Kali ini kalimat Pak Handoko sukses membuat anak gadisnya berkaca-kaca karena haru. Sedangkan Wira menelan ludah pahit, teringat tekadnya untuk tetap menunaikan janjinya pada Rinjani yaitu tetap menikahi gadis desa itu tanpa diketahui oleh Sera dan Pak Handoko kelak. Mengusap wajah kasar, ia meyakinkan dalam hati, ini bisa dipikirkan lagi nanti. Akhirnya keputusan hari itu adalah pernikahan Wira dan Sera akan dilangsungkan dalam waktu satu bulan dari sekarang yang akan dilaksanakan di sebuah ballroom hotel ternama di Kota Jakarta. 'Maafin Kakak, Rinjani. Maaf.' Wira membatin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD