Chapter 06: Kanthi dan Gapura Bajang Ratu

2331 Words
“Kau menyukai hal-hal seperti itu, ya?” “Hm?” Loka menoleh. Ia melihat seorang wanita cantik dengan kebaya merah serta tinggi semampai kini tengah berdiri di sebelahnya, tersenyum sambil menatap Loka yang masih membungkuk karena membaca plang penjelasan dari Arca Ardhanari. Dia langsung menegakan tulang belakangnya dan menggaruk pipi dengan gerakan canggung. “Oh, iya ... aku memang menyukainya. Hal-hal berbau sejarah Nusantara serta peninggalannya.” “Oh, benarkah? Siapa yang memperkenalkannya pertama kali padamu?” Wanita itu bertanya lagi. Ia masih memasang senyuman manis di wajah molek serta jelita tersebut. Loka menaikan salah satu alisnya, bagaimana dia tahu jika Loka diperkenalkan dengan dunia sejarah oleh seseorang. “Uh, itu ayahku. Dia yang mengenalkannya pertama kali padaku.” “Waaah!” Dia menepuk tangan diiringi ekspresi yang nampak antusias. “Beliau pasti orang yang bijaksana dan sangat bertanggungjawab, dia bisa membuat putrinya jatuh cinta dengan dunia sejarah dan kebudayaan sampai sedalam ini.” “Emm, iya, begitulah. Ngomong-ngomong anda siapa, ya?” tanya Loka pada akhirnya. Dia tidak nyaman berbicara dengan orang yang tidak ia ketahui namanya. Wanita itu lantas menunjuk tag nama yang tersemat manis di baju kebaya merah miliknya dan terkekeh pelan. “Ah, maaf karena terlambat memperkenalkan diri. Aku Kanthini. Salah satu pemandu tur yang disediakan oleh agensi perjalanan Taofeng Lancar Jaya. Kebetulan aku tinggal di sini, jadi aku akan memandu kalian berkeliling Trowulan.” Loka mengangguk paham. Kanthini. Nama yang cantik seperti wajahnya. Dia sangat molek sampai-sampai Loka sudah membayangkan betapa cocoknya dia saat menarikan tari Gambyong yang identik dengan citra anggun dan halus. “Kalau begitu, siapa namamu?” tanya Kanthi balik. “Aku Pitaloka. Tapi kau cukup memanggilku dengan Loka saja, sepertinya kita seumuran. Kau di pertengahan usia dua puluhan, 'kan?” Loka mengangkat bahu ringan dan tidak sengaja menanyakan sesuatu yang cukup sensitif. Dia menyadari hal itu dengan cepat dan buru-buru meminta maaf. “Maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk mengejek atau bagaimana, itu tadi hanya ...” “Pfft. Tidak apa-apa, Pitaloka. Kau benar-benar gadis yang lucu dan menyenangkan.” Loka menghela napas lega. Namun, ia merasa sedikit aneh dengan sikap Kanthi yang terlalu santai. “Hahaha ... kau cukup memanggilku dengan nama Loka saja, Kanthi ....” “Aku hanya akan memanggilmu Pitaloka. Namamu sangat cantik.” Dia tersenyum manis, tetapi Loka merasakan ada sesuatu yang tersirat di balik senyuman manisnya. Loka menggosok tengkuknya perlahan, bingung harus mengatakan apa lagi ssbagai jawaban atas pujian—Loka sendiri juga tidak yakin apa itu pujian atau bukan. “Makasih, deh. Kalau begitu.” “Ayo kita pergi menuju peserta tur yang lainnya.” Kanthi berjalan terlebih dahulu. Langkahnya terlihat anggun, berkelak-kelok indah bagai angsa di atas danau. Dari belakang pun Kanthi terlihat cantik dengan kebaya merah yang entah mengapa sangat cocok untuknya. Loka lantas menundukan kepala dan menatap nanar terhadap penampilannya sendiri, baju dan celana jins kumal yang ia dapat dari obral serta aksesoris murah lainnya. Ah, Loka benar-benar tidak pantas bersanding dengan dewi seperti Kanthi. Rasanya ia lebih cocok diberi peran upik abu dengan penampilan lusuh tersebut. Sangat. Jauh. Berbeda. Kasta. “Cantik! Pemandu turnya geulis, euy!” Seno bersiul melihat kedatangan Kanthi bersama Loka dari kejauhan, dia langsung mendapat jitakan keras oleh Fania. “Pantengin teroooos.” “Hehehe, maap atuh, Yang.” Seno memberikan tanda peace pada Fania yang cemberut. Kedatangan Kanthi menarik perhatian semua peserta tur yang kebanyakan kagum dengan kecantikan paripurna miliknya. Mereka bahkan tidak menyadari Loka berada tepat di belakang Kanthi, karena terhalang sinarnya yang begitu menyilaukan. Kanthi mulai menjelaskan tentang destinasi wisata mereka yang berikutnya—Pendopo Agung Trowulan, kalau Loka tidak salah dengar. Semua rekan kantor Loka juga sangat antusias terhadap pemandu cantik tersebut. Terkadang mereka sering bertanya banyak hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan perjalanan wisata kali ini. Tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan Loka di sana. Yah, Loka juga tidak berharap banyak. Mereka yang penglihatannya waras tentu saja akan memilih untuk memperhatikan Kanthi daripada Loka yang tidak menarik sedikit pun. Dari segi apa pun. “Hmm, sayang sekali asisten pemanduku hari ini sedang libur karena sakit. Jujur saja, aku tidak bisa mengurus kalian semua sendirian, karena hal itu pasti akan sangat melelahkan. Apa ada relawan di sini yang mau menjadi asistenku seharian ini? Tapi tidak ada bayarannya, lho.” “Akuuu!” “Saya mau! Bayarannya nomor hapenya aja!” “Prit, priiit!” “Seno berulah lagi, tuh, Fan! Hajar aja hajar.” “Hehehe ... gimana, ya, sebaiknya ...” Kanthi menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia lalu memutar pandangan dan sampai pada Loka yang tengah sibuk membaca plang penjelasan salah satu artifak dan tidak menaruh perhatian sedikit pun pada keributan mendadak ini. Kanthi tersenyum kecil sambil menyipitkan matanya. Ia kembali menatap peserta dan menepuk tangan dua kali. “Oke! Sudah aku putuskan, yang akan jadi asistenku seharian ini adalah Mbak Pitaloka yang sangat cantik ini! Beri tepuk tangan meriah.” “He? Kok tiba-tiba jadi aku?” Loka memasang wajah cengo. Ia yang merasa diabaikan sejak tadi memilih untuk membaca satu-dua informasi di sekitarnya, tetapi kenapa Loka dipilih menjadi asisten pemandu tur? Apa yang terjadi? Ia, kan, tidak mengajukan diri atau apa pun itu! “Loka! Kamu, kan, yang paling antusias perihal tempat bersejarah seperti ini. Kuserahkan padamu, Lok! Jadilah asisten yang berguna kali ini, siapa tahu Pak Botak mau naikin gajimu bulan depan, kan?” Fania juga seenaknya saja mendukung keputusan sepihak dari Kanthi. Loka semakin melebarkan mulutnya yang melanga saat semua teman-teman sekantornya setuju dan meminta agar Loka saja yang menjadi asisten pemandu. Ayu juga mengacungkan dua jempolnya tanpa membantu Loka sama sekali. Sial! Mereka semua bersekongkol ternyata, ya? “Oke, Loka, kalau begitu kamu harus tetap berada di dekatku, ya?” “Hah? Oh, iya ... baiklah.” “Eyyy! Jangan malu-malu seperti itu, anggap saja aku adalah saudara perempuanmu sendiri. Bukankah begitu seharusnya?” Kanthi terus saja mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti oleh Loka. Bahkan semua tingkah laku Kanthi yang seolah ingin mendekat pada Loka membuat wanita itu merasa sedikit risih. Tidak mungkin, kan, jika Kanthi menyukai sesama perempuan? Enggak mungkin, lah! Kanthi tersenyum lebar dan menggelayut manja pada Loka yang masih kebingungan. Loka bertanya-tanga, kenapa belakangan ini dirinya selaluuuu saja ditimpa masalah aneh dan bertemu orang-orang aneh? Sebenarnya hidupnya sedang kenapa, sih? Loka sepertinya perlu memeriksakan kondisi kejiwaan ke rumah sakit jiwa sebelum terlambat. Siapa tahu semua ini hanya khayalannya karena terlalu lama menjomblo! “Mm-hmm, baiklah.” Ia memberi anggukan manis pada Kanthi setelah melamun cukup lama. Baiklah. Loka sudah memutuskan. Ia akan mengikuti semua alur keanehan yang turut bermunculan ini untuk menemukan akar dari permasalahan sebenarnya. Loka juga akan mencari tahu kenapa Kanthi terlihat ingin menempel pada Loka—meskipun dirinya ini sama sekali tidak ada kelebihannya, selain membuat rekor makan mie ayam semangkok penuh tercepat hanya dalam waktu dua menit saja. Loka yakin wanita jelita itu pasti memiliki maksud lain dalam mendekatinya, meski Loka sendiri tidak tahu maksud atau tujuannya. Perjalanan dilanjutkan. Mereka semua menaiki bus dan melaju ke destinasi selanjutnya, yaitu Pendopo Agung Trowulan. Tempat di mana begitu banyak peninggalan relief yang menjadi bukti bersejarah bahwa kerajaan Majapahit benar-benar ada. Loka sempat melihat di mesin penelusuran, ia tertarik dengan kereta kencana jaman dahulu yang digunakan untuk menarik bangsawan Majapahit. Kereta tersebut masih tersimpan rapi di sudut pendopo yang selalu ramai pengunjung tersebut. Loka yang tadinya duduk di sebelah Ayu kini terpaksa harus pindah ke depan, atas permintaan Kanthi—dia bilang ingin membahas beberapa rute perjalanan bersama Loka, meski yang ia tanyakan pada akhirnya adalah kehidupan pribadi Loka yang tak ada hubungannya sama sekali dengan rute perjalanan. “Hooo, benarkah? Kau dikejar-kejar oleh seorang pria yang sama sekali tidak kau sukai, Loka?” Dia bersemangat saat Loka menceritakan tentang Jarwo dan kisah memalukannya. Kanthi sangat menyimak ucapan Loka dan menikmatinya, membuat wanita itu merasa tidak enak apabila menghentikan pembicaraannya. Sial, lagi-lagi aku terjebak dengan orang asing. Bagaimana caraku keluar dari sini? “Aku juga sering mengalaminya, dulu. Kau tahu? Hampir setiap hari para perjaka muda bergantian datang ke rumahku dan melamarku secara terang-terangan. Mereka menawarkan sapi, tanah, emas, bahkan nyawa mereka sendiri untuk bisa bersanding denganku. Sungguh, mereka semua sangat membuatku risih.” Kanthi mendengkus. Loka mengerjap bingung saat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa jaman sekarang masih ada pria yang melamar menggunakan sapi, tanah, emas? Bahkan nyawanya sendiri? Kanthi sebenarnya berasal dari kampung tertinggal yang mana? Ia terlihat seperti kebanyakan wanita jaman sekarang, meski beberapa fitur di wajahnya memang kental dengan karakteristik orang jawa. Hidung bangir, kulit kuning langsat, bibir ranum dan giginya yang putih bersih. “Untung saja kakakku mengusir mereka semua dengan tatapannya yang galak! Pria-pria pengganggu itu akhirnya tidak pernah mendekatiku lagi. Aaah, mengingat itu membuat hatiku terasa damai.” “Kakak?” bingung Loka. Kanthi mengangguk. Ia mengacungkan telunjuknya. “Aku punya satu kakak laki-laki. Dia tampan dan sangat pemberani, yah, meski terkadang dia lebih banyak sisi pengecutnya. Tenang saja, kakakku sangat baik hati dan bijaksana terhadap orang-orangnya. Mereka semua menghormati kakak dan selalu mengikutinya.” Loka kembali mengerjap bingung. Memangnya kakaknya Kanthi sebenarnya siapa? Haaaah, dipikirkan terus justru membuat kepala Loka terasa hampir meledak. Ia, kan, sudah bertekad untuk mengikuti semua alur keanehan ini sampai akhir. Loka kemudian menatap Kanthi yang kini sibuk mencoret-coret Ipad di tangannya, membuat rute perjalanan di destinasi-destinasi selanjutnya. “Kanthi, emmm ... aku hanya sedikit penasaran tentang hal ini. Kenapa kau mengatakan semua itu padaku? Padahal kita hanya dua orang asing yang baru bertemu hari ini dan akan berpisah besok. Maksudku, tidak perlu mengatakan hal sepribadi itu pada orang asing dan tidak penting sepertiku. Kau hanya akan membuang-buang waktumu yang berharga, Kanthi.” Loka memainkan jemarinya. Mendadak ia merasa gugup. Padahal Loka tidak mengatakan sesuatu yang jahat. Anehnya, ia hanya merasa bahwa kalimatnya terasa sedikit tidak tepat. Aaaah! Jangan terlalu dipikirin! “Kita bukan orang asing, kok, Pitaloka.” Kanthi mengatakan itu dengan raut wajah yang datar. Ia memiringkan kepala sambil menatap Loka seolah kalimatnya sama sekali tidak masuk akal. “Ya?” Loka tidak paham. Memangnya kapan ia pernah bertemu dengan Kanthi? Loka sama sekali tidak ingat jika dia pernah bertemu dengan wanita tersebut. Ia lalu mencoba untuk menjelaskan lagi. “Anu, maksudku, kita baru bertemu hari ini—” “Berarti aku benar, kan? Kita bukan orang asing karena sudah bertemu meski baru hari ini. Pitaloka, jangan pikirkan hal-hal yang merepotkan dan istirahatlah dengan tenang! Aku tidak akan menggigitmu, kok.” Kanthi menepuk riang pundak Loka dan kembali fokus pada layar Ipad. Loka mengembuskan napasnya pelan, ia terlalu banyak berpikir negatif rupanya. Sebenarnya dari awal sudah terlihat jelas, memangnya wanita secantik Kanthi mau bertemu dengan Loka yang merupakan definisi sempurna dari kalimat 'pas-pasan' itu? Mana mungkin. Loka mengalihkan pandangannya perlahan ke luar jendela bus dan menatap jalanan aspal. Kanthi memang sudah memberikan jawaban atas pertanyaannya, tetapi mengapa hatinya masih juga belum merasa lega? Seolah ada batu besar yang masih mengganjal di sana. Sebenarnya apa yang Loka lewatkan? *** “Oke, ini destinasi terakhir kita untuk hari ini. Gapura Bajang Ratu. Asisten Pitaloka, mohon dibaca untuk penjelasannya.” Rombongan perjalanan wisata Loka akhirnya sampai di destinasi terakhir setelah mengunjungi Pendopo Agung Trowulan, Candi Tikus, Candi Braha, dan beberapa pemberhentian oleh-oleh. Semua orang menghabiskan uang mereka untuk membeli oleh-oleh khas Mojokerto dan membawanya pulang untuk dimakan bersama keluarga tercinta. Loka hanya membeli secukupnya, ia tidak bisa mengirim makanan ke kampung karena takut rusak di jalan. Ayu sendiri memborong lebih dari satu kresek besar, Loka sampai tidak tahu Ayu membeli barang apa saja saking banyaknya. “Emmm, baiklah. Candi Bajang Ratu merupakan salah satu candi peninggalan kerajaan Majapahit, yang tepatnya berada di desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Berdasarkan namanya, Bajang Ratu diambil dari bahasa jawa yaitu asal kata bajang dan ratu, bajang sendiri artinya kerdil, jadi Bajang Ratu maksudnya adalah bahwa Raja Jayanegara dinobatkan sebagai raja kerajaan Majapahit ketika masih kecil.” Loka membalik halaman kertas berisi poin-poin penjelasan mengenai setiap destinasi yang mereka kunjungi. “Selanjutnya, candi ini berbentuk gapura yang terbuat dari batu bata merah, dimana pada jaman dahulu difungsikan sebagai pintu utama menuju kerajaan Majapahit. Namun, kini candi Bajang Ratu difungsikan sebagai pintu masuk para peziarah yang berkunjung. Itu penjelasan singkat mengenai Candi Bajang Ratu.” “Bagus sekali! Nah, Candi Bajang Ratu bisa dikatakan sebagai pintu belakang dari kerajaan Majapahit. Untuk pintu depan ada di Candi Wringin Lawang, sayang sekali kita tidak bisa ke sana karena waktu yang terbatas. Mungkin kita bisa mengunjunginya bersama di kesempatan berikutnya. Kalian boleh berkeliaran dan foto di sekitar candi, tapi tidak boleh naik apalagi menyebrangi candinya, ya! Dilarang!” tegas Kanthi sambil memperagakan tanda silang dengan kedua telunjuknya. “Memangnya kenapa kalau sampai diseberangi, Mbak?” tanya Ayu penasaran. Loka juga menatap Kanthi dengan tatapan yang sama. Jika dilarang seperti itu, siapa pun justru merasa semakin tertantang untuk melakukannya, bukan? Kanthi tersenyum kecil, lebih terlihat seperti tengah menyeringai. “Kau akan terjebak di dalamnya.” Kiiik! Semua orang menahan napasnya ngeri. Kanthi tertawa lepas dan melambaikan tangannya lembut. “Bercanda, bercanda! Duh, kalian semua lucu banget, deh. Tentu saja enggak boleh naik ke atas, soalnya itu adalah aset negara. Kalau sampai rusak atau jejak kalian menutupi sisa-sisa peninggalan yang berharga, kalian bisa didenda sampai ratusan juta, enggak mau, kan?” Semuanya serempak menggeleng seperti kerumunan bebek yang tengah diangon oleh peternaknya. Setelah itu, Kanthi membebaskan para peserta tur untuk berjalan-jalan sesuka hati mereka. Dia juga ijin pergi menuju kantor pengurus candi ini sebentar—katanya, sih, mau meminta ijin mengenai beberapa hal. Loka tidak punya pekerjaan lain, jadi dia hanya duduk santai di bangku yang tepat berada di samping candi tersebut. Loka sudah cukup senang hanya dengan memandang semua ukiran serta detail di candi setinggi enam belas meter tersebut. Banyak cerita masa lalu tersimpan dalam setiap gurat-gurat relief candi, sejauh yang Loka ketahui, di kebudayaan kuno Majapahit, relief-relief tersebut memiliki sebuah fungsi, yaitu sebagai pelindung dan penolak mara bahaya. Swussh! Mata Loka tiba-tiba menangkap sesosok bayangan hitam yang bergerak kilat menuju Candi Bajang Ratu dan bersembunyi di baliknya. Loka langsung menegang. “Apa itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD