Malam telah mendekap bumi sepenuhnya saat titik-titik air masih menetes dari langit. Guntur masih terus menggelegar bersahutan. Entah sampai kapan langit akan terus menangis, seolah alam turut merasakan derita seorang gadis bernama Irene Elizabeth Bae. Ketika gadis itu menangis meraung melepas ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.
Pria berkemeja biru muda yang tak lain adalah atasan Maxim itu pun mengambil kesempatan untuk segera mengurus kepulangan jenazah mantan asistennya itu ketika Irene jatuh pingsan. Diluar dugaannya, ternyata Irene tersadar tepat sebelum mobil rombongan itu sampai di sebuah pemakaman hingga membuatnya kembali melihat drama yang begitu memilukan.
Tangis Irene, sakit hatinya, kesedihan yang ia rasakan dan segala rasa yang tertinggal akibat ditinggal pergi oleh sang ayah. Bagaimana gadis itu menangis sampai sedemikian rupa, semuanya masih terekam jelas dalam ingatan Zayn.
"Ayah ...."
Zayn tersadar dari lamunannya ketika mendengar Irene mengigau. Dia perlu berjuang keras demi bisa membujuk gadis itu untuk pulang bersamanya. Tidak ada yang dilakukan Irene selain menangis dan mungkin akhirnya karena kelelahan, Irene pun tertidur.
Zayn beranjak dari sofa, diangkatnya anak rambut yang menutupi wajah Irene dan seketika rasa cemas mulai menyusup ke dalam hatinya. Dia dapat merasakan panas ketika tangannya tak sengaja bersentuhan dengan kening gadis itu.
"Albert," panggilnya.
Tak lama kemudian muncullah seorang pria tepat di hadapan Zayn.
"Saya Tuan."
"Panggilkan Dokter Catherine!" titahnya.
"Baik, Tuan."
Albert baru saja beberapa langkah meninggalkan tempat itu ketika Zayn kembali memanggilnya, pria itu pun membalikkan badannya.
"Ya, Tuan."
"Minta Bibi Sasa untuk naik dan membawakan alat kompres kemari," ucap Zayn.
"Ada lagi Tuan?"
"Tidak."
"Baiklah, saya permisi."
Albert membungkukkan badannya sebelum pria itu benar-benar meninggalkan majikannya.
***
Zayn berdiri bersidekap, menunggu Dokter Catherine selesai memeriksa kondisi Irene.
"Apa ada sesuatu yang serius? Badannya sepanas bara api," tanya Zayn begitu melihat Dokter Catherine selesai dengan pekerjaannya.
Pria itu memang tidak secara langsung mengatakan kekhawatirannya namun dokter cantik itu dapat mengetahui dari sorot mata dan juga nada bicara Zayn. Ada segurat kecemasan yang tergambar jelas pada raut wajahnya.
"Dia hanya mengalami syok. Saya bisa memahami perasaannya, gadis itu pasti merasa sangat terpukul dengan kepergian ayahnya yang mendadak dan itu membuatnya tertekan."
"Dia hanya menghabiskan waktu dengan terus menangis seharian ini tanpa makan dan minum," lirih Zayn.
"Saya sudah memberikan suntikan penenang agar dia bisa istirahat," ujar Dokter Catherine.
"Dia ...." Zayn menggantung kalimatnya.
Dokter muda yang juga seorang ibu satu anak itu pun terkekeh saat melihat raut wajah Zayn. Dia kembali menangkap kecemasan dalam diri pria itu.
"Dia baik-baik saja. Saya bisa melihat kalau dia adalah gadis yang kuat, dia hanya perlu waktu untuk dapat menerima semua ini. Jangan terlalu khawatir," ujar Dokter Catherine.
"Ayahnya menitipkan dia padaku," balas Zayn. Dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan oleh Dokter Catherine.
Zayn mendengus sebal ketika dilihatnya Catherine terus saja tertawa seolah sedang mengolok-olok dirinya.
"Kau mau aku pindahtugaskan ke Afghanistan?" celetuk Zayn.
"Tidak ... tidak! Saya harus segera undur diri karena saya masih banyak tugas."
Melihat Catherine menyambar tasnya dan tergesa meninggalkan kamar tersebut membuat Zayn terkekeh geli.
Sepeninggal Catherine, Zayn pun meninggalkan kamar itu setelah membetulkan letak selimut dan memastikan gadis itu tertidur pulas.
Zayn mengayunkan kakinya menuju ruang sebelah. Ruang kerjanya itu memang tepat berada di tengah antara kamarnya dan juga kamar yang saat ini ditempati oleh Irene.
Pria itu segera mendaratkan bokongnya di atas kursi kebesarannya. Zayn melirik tumpukan kertas yang tertata rapi di meja kerjanya. Rasanya dia sungguh malas sekedar mengeceknya, mungkin akan berbeda jika saja Maxim masih berada disampingnya saat ini.
Maxim telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi pada keluarga Xavier, dan Zayn Alexander Xavier adalah generasi kedua setelah sebelumnya Maxim sempat mengabdi pada Abraham Scott Xavier, ayah kandung Zayn.
Perjalanan hidup Zayn yang merupakan seorang CEO di ZAX Group tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dia lalui dan dia bersyukur memiliki Maxim yang setia membantu serta membimbingnya hingga dirinya sampai pada puncak posisinya. Awalnya Abraham hanya mewariskan sebuah perusahaan kecil pada putranya dan berkat kegigihan Zayn, perusahaan yang dulunya kecil itu kini telah berkembang pesat, menggurita dan hampir membelit di segala bidang.
Keduanya pun menjalin hubungan lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Zayn sendiri sudah menganggap Maxim layaknya seorang ayah, ketulusan hati pria itu yang membuat Zayn begitu menyayangi Maxim, begitu juga sebaliknya.
Zayn tersentak kaget, diliriknya arloji mahal yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Pukul empat pagi, itu berarti dia telah tertidur tiga jam lamanya disana. Begitu sampai di ruang kerjanya, Zayn memilih untuk membuka kembali album foto keluarganya. Tak jarang dari sekian foto yang terus dia buka, ada sosok Maxim. Senyum terus terkembang seiring ingatannya yang kembali pada masa dimana dirinya ada dalam foto tersebut. Lama ia membolak-balik album foto tersebut hingga tak terasa, kantuk begitu melandanya. Zayn sampai tidak sadar jika dirinya tidur dengan kepala tertelungkup pada meja kerja hingga dia bangun setelah sebuah mimpi berakhir.
Sebuah mimpi yang terus membuatnya teringat akan mendiang Maxim. Ah, jika mengingat itu, Zayn selalu saja merasa dadanya sesak.
Pria itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju satu tempat. Kamar yang ditempati Irene yang menjadi tujuan utamanya kali ini, dia perlu mengecek kondisi gadis itu.
Pintu terbuka lebar dan mata Zayn membeliak manakala dia tak menemukan sosok Irene pada kasur berukuran besar itu. Ia bergegas mengecek kamar mandi, barangkali saja gadis itu ada disana akan tetapi nihil. Setengah berlari Zayn beralih menuju balkon, dan kepanikannya makin menjadi ketika sosok yang dicarinya pun tak ada disana.
"Bi ... Bi Sasa ...." panggilnya sambil menuruni anak tangga.
Karena yang dipanggil tak kunjung datang, Zayn pun memutuskan untuk menyusul wanita tua itu di dapur. Jam segini biasanya Bibi Sasa sudah sibuk di sana.
"Bi ...."
"Ya, Tuan. Tuan butuh sesuatu?" tanya wanita tua bertubuh gempal itu.
"Dimana Irene, Bi?"
"Nona Irene, bukankah dia masih tidur dikamar?" ujar Bi Sasa.
"Bibi jangan bercanda, kalau Irene ada di kamarnya saya tidak mungkin mencarinya, Bi," tukas Zayn.
Bibi Sasa menghentikan aktifitasnya sejenak, ditatapnya Zayn dengan kening berkerut.
"Bagaimana mungkin, Bibi tadi sudah mengeceknya dan Nona Irene masih tertidur."
"Masalahnya dia tidak ada di kamarnya, Bi."
"Sepuluh menit yang lalu padahal gadis itu masih tertidur pulas. Tuan tenang saja, kalaupun pergi, gadis itu pasti belum jauh dari sini," ujar Bibi Sasa.
Kedua orang itu bersiap untuk mencari keberadaan Irene.
Zayn baru saja akan meminta bantuan Albert saat tiba-tiba mereka berpapasan di pintu belakang yang mengarah menuju taman.
Sama seperti Maxim, Albert bisa dibilang tangan kanan Zayn meskipun jabatannya tetap dibawah Maxim. Pria itu telah bekerja untuk Zayn selama lebih dari enam tahun.
"Darimana saja kau? Aku baru saja akan menghubungimu."
"Saya baru saja akan menemui Tuan," balas Albert.
"Kenapa?"
"Nona Irene, dia ...,"
"Ada apa dengannya?" sambar Zayn, memotong ucapan Albert.
Pikiran Zayn berkecamuk. Irene bisa saja mengambil jalan pintas dan seketika bayangan hal buruk yang menimpa gadis itu membuat pria itu dilanda ketakutan.
Bersambung ....