Part 1

721 Words
"Akhir dari segala awal yang harus di akhiri" "Hasillnya positif Ko" Diana menyodorkan kertas test pack yang bergaris dua pada Riko. "Kamu serius? Yang benar aja Diana? aku nggak siap! Kita cuman main-main doang, kamu tau itu kan?" "Iya aku tau tapi sekarang gimanadong?" "Kita gugurin aja deh" "Kamu gila ya? Kamu pikir ini boneka apa? Enak banget bilang gugurin" "Yah terus gimana? Emang kamu siap jadi ibu di usia 19? Aku yakin pasti nggak kan? Lagian coba pikir lagi, kalau kita nikah kita berdua akan kehilangan kesempatan buat wujutin impian kita masing-masing. Kamu nggak bisa kuliah, begitu juga dengan aku. Aku cuman berusaha berpikiran realistis Diana" Diana hanya bisa merenungi perkataan Riko yang baru saja ia dengar. Memang sih ada benar nya juga. Tetapi Diana mash punya akal sehat dan tingkat kewarasan yang cukup tinggi. Menggugurkan anak sama saja dengan membunuh satu manusia. Berapa banyak lagi dosa yang harus dia tanggung. Pertama dia sudah melakukan zinah, lalu mana mungkin yang kedua dia harus menggugurkan anak. Serealistis apapun Riko memberikan penjelasan tetap saja Diana tidak akan terpengaruh pada perkataan Riko. Dan lagi pula tidak segampang itu melakukan aborsi. Alhasil Diana hanya bisa pergi dari kost nya Riko dan kembali ke rumah dengan 1001 gundah gulana. Diana berjalan menuju trotoar dan berdiri di pinggir jalan untuk menunggu angkot lewat. Akhirnya angkot tujuan Lubuk Buaya berhenti di depan nya, kemudian dia masuk ke dalam. Di sepanjang perjalanan Diana terus memikirkan perkataan Riko. Sejenak terbayang bagaimana nanti reaksi keluarga setelah mengetahui kenyataan dirinya tengah hamil. Diana benar-benar hancur. Dia tidak pernah menyangka kejadian buruk ini akan menimpa dirinya. Demi Tuhan dia tidak pernah mengira hal sebodoh ini akan terjadi padanya. Diana benar-benar tidak habis pikir. Saking larutnya dalam lamunan, dia hampir saja lewat dari gang rumahnya. Setelah turun dari angkot rasanya Diana sudah kehilangan kekuatan untuk berjalan. Enggan rasanya untuk melangkah. "Diana!" Seseorang memanggil namanya dari belakang. Dengan malas Diana membalikkan badan ke belakang dan melihat Cristove yang berdiri di sana. Diana hanya terpaku tanpa kata dia hanya membiarkan sahabatnya sejak kecil itu datang menghampirinya. "Hei Din! Kamu kenapa? Ada masalah ya?" Cristove khawatir dengan sahabatnya karena tidak biasanya Diana murung seperti ini. "Nggak papa kok, aku cuman... aku cuma... capek aja.." "Cerita sama aku Din please? Kamu bertengkar ya?" "Nggak, bukan itu masalahnya" "Lalu?" "Aku... aku... aku..." Tiba-tiba air mata Diana menetes di pipi mulus nya. "Tuh kan pasti ada sesuatu. Kalau nggak kenapa kamu menangis? Ayo cerita Din. Aku sahabat kamu kan?" Tangis Diana pecah seketika. Cristove semakin khawatir, dia pun dengan penuh kelembutan menarik Diana dalam dekapannya. Berharap agar sahabatnya sejak kecil ini dapat menenangkan diri. Diana semakin terisak. "Aku hancur Tove... Aku hancur... Aku hancur..." "Kamu hancur kenapa?" "Kamu nggak bakalan ngerti Tove! Nggak bakalan" "Kalau kamu nggak jelasin dengan baik aku nggak bakalan ngerti. Tapi coba sekarang tenangin diri dulu. Terus tarik nafas, biar bisa cerita" "Kamu yakin?" "Ya, mudah-mudahan!" Diana melepas pelukan Cristove. Kemudian dia menyeka air matanya di pipi. Diana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan Suara lirih Diana berkata. "Aku hamil Tove" Pelan dan sangat pelan. Suara ini di ikuti dengan bulir air mata. Cristove ikut merasakan sesak di dadanya. Dia sungguh tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi pada sahabatnya. Rasanya mustahil, sebab ia kenal betul Diana seperti apa. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padanya. Ini seperti mimpi buruk. "Din kamu? Kamu bercanda kan? Ini nggak mungkin kan? Sama siapa Diana? Sama Riko? Nggak mungkin Diana? Jawab aku, ini nggak benar ya kan?" "Aku nggak bohong Cristove. Aku serius" Kini tangis gadis polos itu pecah dan dia menangis sejadi jadinya. Sebagai sahabat Cristove hanya bisa memeluk Diana dengan erat. Iya pun ikut menangis turut merasakan kekecewaan yang sahabatnya rasakan. Mereka menangis dalam pelukan hingga larut senja. ******* Jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Tetapi Riko masih terjaga. Bagaimana mungkin dia bisa tidur setelah mengetahui kenyataan bahwa sahabatnya Diana tengah hamil oleh karena ulahnya sendiri. "Begok... begok.. begok.. kok gue t***l banget sih" Riko mengumpat dirinya sembari memukul tubuhnya dengan kesal. Kini tangisnya pecah, sungguh dia benar-benar tidak bisa membayangkan nasibnya nanti. Bagaimana mungkin ia masih bisa berpikir bahwa segala harapan dan impian masih bisa terwujud. Sedang nasib buruk tengah menimpa dirinya. Bukan hanya nasib nya tetapi nasib sahabatnya juga, Diana. "Apa yang harus gue lakukan sekarang?" Riko tidak berhenti menangisi dirinya, hingga ia terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD