Prolog

860 Words
Mimpi itu datang lagi, selalu mengganggu tanpa henti sampai tidurnya tak pernah nyenyak beberapa tahun ini. Siapa dia yang hanya bisa mengelus d**a, mengeluh-pun dia salah apalagi berputus asa? Tak ada gunanya. Begini lebih baik, dihantui mimpi-mimpi itu sekali lagi bukanlah hal yang pertama, yang dia mimpikan bukanlah hal baru yang datang menganggu tidurnya. Itu justru bunga tidur yang membuatnya sadar akan siapa dirinya. Dari mana asalnya dan bagaimana itu terjadi. Dia harus tahu agar mengerti takkan mengulang kesalahan yang sama seperti kedua orang tuanya. Karena cinta? Cih.. basi itu hanya omong kosong yang justru membuat perutnya semakin lapar di tengah malam begini. Dia terbangun untuk kesekian kalinya setelah puas berselancar dalam dunia mimpi yang selalu datang, mimpi itu tidak akan membuatnya mati. Ya, dia harus ingat bertahun-tahun mimpi yang lain menghantui tidak membuatnya mati sekarang pun harusnya begitu walau jiwanya sudah rusak, mentalnya down di titik terendah. Anak sekecil itu tidak tahu apa-apa, tapi dia harus merasakan sakitnya bagai di neraka. "Dasar anak tak tahu diri, anak tak tahu diuntung"  "Aku hanya ingin mengambilmu untuk mendapatkan uang saja, bukan mengasuhmu dan mengurusmu sehingga membuatku harus kehilangan banyak hal" suara itu kembali terdengar, dia hampir saja tersengal jika tidak medengar suara kucing di bawah kakinya. "Dasar tidak berguna, kamu hanyalah malapetaka bagiku"  Sesak di dadanya tak bisa dia tahan hingga akhirnya dia memuntahkannya setelah berlari ke kamar mandi di dekat kamarnya.      Jangan pikirkan rumah ini besar dengan lantai dua yang megah televisi dan ruangan di mana-mana. Begitu juga dapur yang megah kitchen set serta kabinet dan wastafel, dapurnya hanya sepetak memiliki satu kompor biasa dan tidak ada lemari pendingin hanya lemari tempat barang dapur dan rak piring yang dia dapat dari kerja paruh waktu. Begitu juga kamarnya yang hanya ranjang kecil muat untuk dirinya sendiri meskipun dua orang akan muat hanya saja pasti tidak akan nyaman.       Rumah ini cocok disebut flat, kos-kosan wanita sepetak dengan ukuran 25 meter saja. Cukup dapur dan tempat tidur yang tidak memiliki sekat serta kamar mandi tepat di samping tempat tidur, tidak di dalamnya tapi berdampingan. Kamar mandi kecil hanya cukup untuk satu ember dan gayung tapi bersih karena setiap hari dibersihkannya.   Kehidupan ini sudah berlangsung satu tahun lamanya sebelum dia memasuki sekolah menengah atas. Dia harus terbiasa ya, begini lebih baik daripada rumah besar dan megah tapi bagai tak berpenghuni.     Selalu saja teriakan k*******n dan hinaan caci maki yang dia terima. Dia takut jika di sana tak sanggup bertahan sampai akhir.    Kenapa mereka menyelamatkannya jika hanya untuk menyiksanya? Mengapa mereka,? Mereka mengambilnya jika memang hanya untuk dicaci maki serta dipukul sampai titik terendah hidupnya? Tuhan, dia masih anak-anak saat itu tidak tahu apa-apa. Tidak mengerti apa yang terjadi. Ayah yang dia harapkan menjaga dan melindunginya bahkan membenci membuang muka padanya. Ibu yang dia anggap sebagai tempat untuk mengadu, melindungi dan memberi kehangatan selalu memukulnya tanpa henti. Setelah ibunya membuangnya lalu dia tinggal bersama ayahnya justru tak ada beda. Istri ayahnya selalu memarahi dan memfitnahnya.    "Kamu itu anak haram. Tidak pantas untuk hidup. Sama seperti ibumu yang penggoda itu, mungkin saja dia menyesal telah melahirkan anak sepertimu" perkataan itu dilontarkan kepada anak yang berumur tujuh tahun. Apa yang dia tahu? Mungkin saja dia tahu bahwa dia anak yang tidak diharapkan. Ibunya seorang penggoda. Menggoda ayahnya hingga memiliki anak sepertinya kala ayahnya masih memiliki seorang istri yang cantik.   Jelas saja, kamu lahir di luar kehendak dan tidak akan pernah bahagia karena tidak diinginkan, batinnya dulu selalu mengatakan itu. Ah, untuk apa memikirkan yang telah lalu? Bukankah hidup harus terus berjalan? "Hai kucing, kamu pasti lapar ya Bembi? Ini makanmu" dia memberikan makanan kepada kucing liar yang diambilnya, dirawat hingga seperti sekarang. "Meong" kucing itu mengeong setelah diberi makan, berterima kasih mengenduskan kepalanya di bawah kaki Amor sehingga dia tersenyum karena lembutnya kulit Bembi, ketika pertama kali melihat Bembi, dengan bulu yang tegak dan kasar ada sedikit darah di tubuhnya mengeong di pinggir jalan mengingatkan dia tentang dirinya juga hidupnya. "Kamu lapar banget ya? Maaf ya Bem, aku lupa memberimu makan tadi siang. Sampai rumah pun aku sudah gelap. Dan langsunv tertidur. Bersyukurlah mimpi s****n itu membangunkanku untuk bisa memberimu makan" Amor mengelus kucing itu lembut seakan dia takut kehilangan.   Dia pernah kehilangan sekali, dan tidak akan lagi dia mengulang hal yang sama. Karena sakitnya takkan pernah dia lupa. Baginya teman seekor kucing lebih baik daripada manusia tapi tak memiliki hati nurani tak berperasaan. Tidak heran jika dia berbicara dengan kucing atau apapun itu, lebih memilih dipandang aneh agar tak ada orang mendekat adalah pilihannya.  Bukan sekali dua kali jika dia dianggap gila, dan memang dia pun merasa lebih baik begitu. Dijauhi dengan segala keterbatasan kekurangannya dari pada harus disukai jika untuk menyakiti. Berpura-pura. Kembali melangkah ranjang setelah puas mengelus kucing yang selalu menjadi temannya beberapa bulan ini. Dia sudah terbiasa. "Pukul 03.00 pagi, mimpinya datang kelamaan. Biasa juga gak bisa tidur" gumamnya "Pukul 05.00 bangun cukup kali ya dua jam aja, biar nganterin bude ke pasar, dan ke panti lagi nganterin pesanan Ibuk," monolognya, Setelah memutuskan untuk apa yang akan dilakukannya nanti ketika bangun ia pun mencoba tidur dalam remangnya kamar sepetak itu. Mencoba peruntungannya semoga saja mimpi itu tidak lagi datang untuk sementara. A.M.O.R.E.G.A @Fatamorgana16
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD