Awal Kisah

1001 Words
Tidak selamanya hidup itu indah. Kadang kala, manusia merasakan kesedihan, kekecewaan. Itu semua terjadi bukan karena Tuhan, tetapi ekspektasi manusia yang terlalu tinggi. Hidup di dunia merupakan suatu anugerah yang harus disyukuri bagi seorang dosen metodologi penelitian bernama Carlina Putri. Wanita berumur 28 tahun ini masih lajang, alias belum menikah. Jangankan menikah, berpacaran saja dia belum pernah. Jangankan berpacaran, berdekatan dengan pria dalam kurun waktu lebih dari satu minggu saja dia belum pernah, kecuali ayahnya. Bukan karena dia tidak cantik atau tidak menarik, justru dia adalah dosen muda yang ditaksir oleh banyak mahasiswanya, bahkan para dosen lelaki yang sudah memiliki istri pun mendekatinya. Carlina memiliki tinggi 175 sentimeter, berat badannya ideal, yaitu 60 kilogram. Wajahnya tidak perlu diragukan, cantik dengan warna kulit putih s**u. Rambutnya yang selalu dia potong bob seperti polisi wanita membuatnya terkesan tegas. Siapa yang tidak mau menikah dengan wanita tegas, pintar, dan cantik seperti Carlina? Hal itu membuat siapa pun terpana, bahkan dia pernah dilamar oleh beberapa CEO perusahaan dari berbagai daerah. Namun, Carlina menolak mereka semua dengan alasan yang konyol, dia tidak mau dekat dengan pria. Oh tidak, itu hal paling konyol yang pernah terdengar. Dia tidak mau berdekatan dengan pria? Lantas, apakah dia tidak mau menikah? Jelas saja dia mau, tetapi tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Carlina tidak mau berdekatan dengan pria, karena dia takut pria yang mendekatinya adalah pria jahat yang ingin mencelakai dirinya. Padahal, itu hanyalah kecemasan berlebihan. Carlina menderita gangguan kesehatan mental, dia cemas terhadap suatu hal secara berlebihan. Apa pun yang dia takuti, dia akan memikirkan hal-hal yang paling buruk, sehingga dia memilih untuk meninggalkan hal itu. Akhirnya, dia tidak mau berdekatan dengan pria manapun. Hidup seorang diri, meniti karirnya sampai sudah memiliki rumah mewah dan mobil berkelas. Padahal, umurnya sudah berkepala tiga, umur yang seharusnya sudah memiliki calon untuk menjadi suaminya. Sekarang, dia sedang mengajar di sebuah ruangan kelas yang menurutnya paling sulit diatur, kelas ilmu komputer B. Dia sudah bosan mengajar di kelas ini, karena banyak yang hanya memperhatikan tanpa mencermati perkuliahan yang ia berikan. "Bu Dosen cantik!" Yang berteriak tadi adalah Fikri Husein, mahasiswa tampan di kelas ini. Usianya masih 22 tahun. Dia dan teman-temannya sering menggoda Carlina, karena dosennya belum menikah sampai detik itu. Sering kali Fikri menggoda Carlina dengan rayuan-rayuannya, beberapa kali juga dia sering meledek Carlina di lorong kampus. Hal itu membuat Carlina malu, karena semua orang yang berada di sana akan mendengar teriakan Fikri. “Dosen cantik, kok, belum nikah? Dosen cantik, kok, belum nikah .....” Begitulah teriakan Fikri dengan nada lagu “Nona Manis Siapa yang Punya” yang sudah dikenal banyak orang. Bagaimana dia tidak malu? Carlina tidak menyahut, karena dia sudah paham perilaku mahasiswanya yang senang memanggilnya dengan sebutan itu. Dia memilih untuk fokus merapikan peralatan mengajarnya, lantaran waktu kuliah sudah selesai. Dosen cantik itu ingin cepat pergi dari ruangan ini. "Bu Dosen cantik! Kok, nggak nyaut, sih?" kata Fikri dengan nada yang penuh dengan kekecewaan. "Saya mau nanya, nih!" Akhirnya, Carlina mengangkat wajahnya dan menatap Fikri dengan tajam. Walaupun dia tidak senang berhadapan dengan mahasiswanya yang konyol, tetap saja jika ada mahasiswa yang bertanya, dia harus menjawab. Telunjuknya bergerak membetulkan posisi kaca matanya. "Ya, ada apa, Fikri?" Carlina selalu menjawab dengan nada formal. Dia merasa dirinya masih seorang pendidik di ruangan ini, tidak seharusnya dia bercanda dengan mahasiswa. Edwin, temannya Fikri langsung tertawa mendengar jawaban Carlina. Dia melempar buku ke temannya. "Ayo ngomong, Bro!" Fikri berdiri dari bangkunya. Semua pasang mata kini menatap Fikri yang sedang berdiri dan menatap Carlina dengan senyuman di bibirnya. "Ibu Dosen cantik belum nikah juga, nungguin saya ngelamar, ya?" "Mantap, deh, Fik!" "Pepet terus, Bro!" "Jangan kasih kendor!" "Undang-undang kalau berhasil! Lumayan makan gratis!" "DIAM!" Carlina berteriak dan membuat seisi kelas terdiam. Dia mengangkat buku kalkulus tebal, dan menyisakan beberapa di atas meja. "Bantu bawakan sisanya ke ruangan saya!" Seisi kelas tidak ada yang bersuara, lantaran Carlina tidak memberitahukan siapa yang dia suruh. Akhirnya, Carlina berbalik dan menatap Fikri yang masih berdiri. "Kenapa kamu masih diam di sana? Ayo bantu saya angkat semua buku itu!" "Oh, Ibu nyuruh saya? Bilang, dong!" Fikri berjalan ke arah meja dosen dan mengangkat semua peralatan mengajar Carlina. "Bantu bawa ke ruangan Ibu aja, kan? Saya belum siap buat bawa yang lain soalnya, Bu!" "Emangnya lo mikir mau bawa apa, Fik?" kata Putra, seorang mahasiswa yang bermulut sarkas. Apa pun yang terlintas di pikirannya akan langsung dia katakan tanpa berpikir dampaknya. "Ya ... gue masih belum siap buat bawa Bu Dosen cantik ke depan pelaminan, Bro!" Seisi kelas tertawa mendengar perkataan Fikri, termasuk mahasiswa kutu buku yang hobinya duduk di pojokan perpustakaan sekali pun. Pemandangan Fikri yang menggoda Carlina memang sering mereka dapatkan di hari Jumat, hari kelas kalkulus I dilaksanakan. Wajah Carlina mulai memerah, dengan napas yang tidak beraturan. "Cepat, Fikri!" bentaknya. Fikri langsung memundurkan tubuhnya sambil menunjukkan ekspresi wajah kesenangan. "Sabar, Bu! Nggak sabar banget buat nikah sama saya, ya? Tenang, Bu, nanti saya lamar kalau udah siap." "Tancep gas aja udah! Kelamaan nunggu, nanti diambil sama yang lain, Fik!" kata Fajar, seorang sahabat Fikri sejak kecil. "Saya tunggu di ruangan saya. Kalau dalam lima menit kamu belum datang juga, nilai kalkulus kalian saya buat nol." Carlina meninggalkan ruangan kelas dengan wajah yang ditekuk. Setelah pintu tertutup, semua mahasiswa di ruangan itu kembali tertawa. "Kalau sampai nilai kita kena imbasnya, lo yang harus tanggung jawab, Bro!" Fikri meletakkan buku-buku itu kembali ke atas meja. "Ya, sekarang giliran kalian yang bantu gue, banyak banget bukunya. Bantu bawain biar cepet." Putra, Edwin, dan Fajar langsung beranjak membantu Fikri. Mereka bersahabat sejak masa SMA. Anehnya, mereka memiliki impian yang sama. Akhirnya, mereka berkuliah di universitas yang sama. Mungkin sudah terlalu beruntung, karena mereka ditempatkan di kelas yang sama juga. "Jangan macem-macem sama dia, Bro!" kata Edwin dengan seringainya. "Awas lo macem-macem! Ruangan dia sepi soalnya, gue tahu apa yang lo pikirin." Fikri melirik Edwin dengan senyuman yang terpatri. Edwin tahu kalau itu adalah senyuman jahat Fikri, senyuman sebelah bibirnya saja. "Gue tampol kalau lu beneran melakukan itu, Fik!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD