High Quality Duda

2006 Words
02 Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat tujuh hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya. "Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit." "Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut saling beradu pandang sebelum Zayan mengguncangkan bahu Arya sambil berkata, "Kamu harus makan, berjiwa kuat dan bertahan hidup demi ketiga anakmu. Ingat, Ar, itu pesan Erni sebelum dia wafat. Kamu nggak boleh kayak gini terus." "Tapi aku ...." "Mas masih bisa berkunjung lagi besok, lusa, bahkan tiap hari pun boleh," sela Ivana yang sejak tadi memperhatikan perdebatan kedua pria tersebut. "Sekarang, tolong jangan egois, isi perut biar bertenaga karena selama tiga hari nanti Mas bakal sibuk dengan acara takziah, setelah itu harus ngurus anak-anak," sambungnya. Dengan gerakan pelan Ivana memegangi lengan kiri Arya dan mengarahkan pria itu jalan menjauh. Berliana turut memegangi lengan kanan Arya dan membantu Ivana menggusur pria tersebut. "Memang harus perempuan yang merayu, baru luluh dia," tutur Malik, direktur utama cabang Hatim Grup, sekaligus sahabat Arya dan Zayan. "Karena laki-laki nggak bisa selembut itu, dan Mas Arya bakal sungkan nolak Teteh sama Berliana," timpal Ferdi, Adik ipar Zayan. "Yok, kita juga nyusul. Aku takut Mas Arya pingsan lagi kayak tadi pagi," ajak Malik. Kelompok tersebut bergerak menuju tempat parkir dan memasuki mobil-mobil yang berada di tempat itu. Beberapa menit berikutnya tiga mobil MPV mewah bergerak menjauhi area pemakaman, tepat pada saat langit memuntahkan air dalam jumlah banyak. Arya menyandarkan tubuh ke pintu sambil memejamkan mata. Kenangan bersama sang istri kembali berputar dalam otak. Pria berkumis tipis berusaha keras untuk menahan tangis karena teringat pesan Erni yang mengatakan agar Arya jangan menangisinya, dan menginginkan pria itu ikhlas melepasnya pergi. Ivana dan Berliana yang duduk bersebelahan di kursi tengah, saling beradu pandang sesaat, sebelum sama-sama menunduk dan menyeka sudut mata mereka yang berair dengan tisu. Zayan yang bertugas menyetir pun tidak sanggup berkata-kata dan hanya bisa melirik sahabatnya di kursi samping kiri yang tengah terpuruk. Pria beralis tebal memahami jika saat itu hati Arya tengah hancur. Kala deretan mobil tiba di depan rumah, Zayan mematikan mesin dan turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu untuk Arya. Kemudian pria bercambang memegangi pundak sahabatnya saat mereka jalan menuju rumah yang masih dipenuhi para pelayat. Arya memaksakan senyuman ketika Aldo dan Aldi, kedua putra kembarnya, berseru sambil lari menghambur ke arahnya. Pria berambut lebat merunduk untuk menggendong kedua anaknya secara bersamaan. Arya terus melangkah menuju ruang makan. Kemudian menurunkan kedua lelaki kecil, sebelum dia duduk di salah satu kursi dekat meja panjang besar di tengah-tengah ruangan. "Kamu harus makan banyak, setelah itu iatirahat," ujar Jamilah, ibunya Arya sembari menuangkan nasi dan lauk pauk ke piring. Lalu memberikannya pada sang putra. "Kalian juga makan, ya, temani Arya, ibu mau meladeni tamu dulu," lanjutnya sambil memandangi teman-teman sang putra. "Iya, Bu," jawab Zayan mewakili yang lainnya. "Alfian di mana, Bu?" tanya Arya sebelum menyuapkan makanannya. "Lagi diboboin Ayu, dari tadi Alfi nangis terus." Jamilah menghela napas panjang sebelum berbalik dan menjauh. Sementara itu di kamar anak-anak yang berada di lantai dua, Dahayu mengamati wajah mungil Alfian yang merupakan hasil perpaduan wajah Papa dan mamanya. Perempuan berkulit kuning langsat menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya sedikit demi sedikit, berharap hal itu bisa menenangkan hatinya yang sangat sedih. Dahayu tahu, kesedihan yang dirasakannya mungkin tidak ada separuh daripada yang dirasakan Arya saat itu. Aldo dan Aldi masih belum terlalu paham bila Mama mereka telah pergi dan tidak akan pernah kembali, tetapi hati Papa kedua anak tersebut pasti benar-benar patah, hancur berkeping-keping ditinggalkan belahan jiwa. "Ibu, diminta turun. Rombongan sudah sampai," cakap Intan, pengasuh Alfian yang baru saja memasuki ruangan. Tanpa menjawab Dahayu beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri. Perempuan bertubuh langsing berpindah ke depan cermin untuk merapikan jilbab hijau muda dan tunik berwarna senada, sebelum beranjak ke luar dan menuruni tangga. Sudut bibir Dahayu terangkat membentuk senyuman ketika melihat Ivana yang berdiri untuk menyambutnya. Kedua perempuan tersebut berpelukan erat, kemudian Dahayu mundur dan mengusap perut Ivana yang membuncit. "Apa kabar anakku? Sudah bisa bersilat di dalam?" tanya Dahayu. "Alhamdulillah, dia sehat dan mulai sering menendang ulu hati," sahut Ivana seraya tersenyum. "Duduk sini, Mbak, kita makan sama-sama," ajaknya. "Aku udah makan tadi, kalian lanjutkan aja, aku mau ngecek kondisi Bu Aminah." "Nggak mau lepas kangen sama aku?" seloroh Zayan yang langsung didelik tajam Dahayu. "Males kangen sama Mas. Makin ge er nanti," tolak Dahayu sembari berpindah untuk menyalami Malik dan yang lainnya. "Masih judes aja," keluh Zayan. "Sama Mas itu nggak boleh manis-manis, pasti ngelunjak! Ya, kan, Na?" Dahayu tersenyum ketika Ivana membalas dengan anggukan. Sementara Zayan menggeleng pelan karena lagi-lagi kalah berdebat dengan mantan istrinya tersebut. Dahayu pernah menikah dengan Zayan selama enam tahun lebih. Sebab rahim Dahayu diangkat karena kanker yang telah menyebar, menjadikan keduanya tidak bisa memiliki keturunan. Atas desakan keluarga Zayan yang menginginkan penerus keluarga, Dahayu mengalah. Dia mencari sosok perempuan yang paling tepat untuk menjadi pengantin kedua buat suaminya. Pertemuan Dahayu dengan Ivana di suatu tempat, membuat perempuan bermata bulat tertarik untuk menyelidiki salah satu karyawan hotel milik keluarga Zayan di Kota Bandung. Setelah yakin dengan pilihannya, Dahayu menyampaikan hal itu pada Firman Hatim, Ayah Zayan yang ternyata telah lama mengenal Ayah Ivana. Firman menyetujui perempuan pilihan Dahayu dan langsung melamar Ivana. Setelah menikah hampir setahun, Ivana hamil. Dahayu memutuskan untuk mundur dan bercerai dengan Zayan. Meski ikut senang dengan kehamilan madunya, tetap saja hati kecil Dahayu menjerit. Dahayu merasa yakin jika Ivana-lah yang paling pantas menjadi satu-satunya istri Zayan. Keputusan Dahayu untuk bercerai, sebetulnya ditentang Ivana yang juga hendak mundur dari pernikahan poligami tersebut. Akan tetapi, Dahayu bersikeras bercerai. Kemudian dia pindah ke Kota Malang untuk menenangkan diri, sekaligus mengelola cabang butiknya yang cukup terkenal di kota tersebut. Hubungan Dahayu, Zayan dan Ivana masih berlangsung baik. Mereka tetap bersahabat, bahkan Dahayu cukup akrab dengan kedua putra pasangan tersebut yang memanggilnya dengan nama Ibu Ayu, seperti halnya anak-anak Arya yang juga dekat dengan Dahayu. Dahayu beranjak menuju kamar tamu untuk mengecek kondisi Aminah. Perempuan paruh baya langsung duduk dan mengusap wajahnya yang basah dengan ujung jilbab. Tanpa banyak bicara, Dahayu duduk di pinggir tempat tidur dan memeluk perempuan yang lebih tua yang kembali menangis. *** Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana terdengar hingga ke luar ruangan. Dahayu berdiri berderet dengan keenam rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi ketujuh desainer tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses dan berjalan lancar. Sekian menit berlalu, Dahayu tengah mengobrol dengan Westi, sahabat sekaligus asistennya, ketika ponselnya bergetar. Dahayu meraih benda itu dari tas kecil dan mengecek nama pemanggil, sebelum menekan tanda hijau serta menempelkan ponsel ke telinga kanan. "Assalamualaikum," sapa Dahayu. "Waalaikumsalam. Acaranya udah selesai?" tanya orang di seberang telepon. "Udah, baru aja." "Good, aku tunggu di tempat parkir. Mobil putih butut." Telepon diputus secara sepihak oleh orang tersebut. Dahayu mengulum senyum dan menggeleng perlahan, kemudian memasukkan ponsel kembali ke tas dan memberi kode pada Westi yang langsung mengangguk paham. Kedua perempuan berbeda tampilan berpamitan pada rekan-rekan mereka. Keduanya melangkah bersisian menuju pintu sambil bergandengan tangan. "Kayaknya Imran mau pedekate ke kamu, Yu," tukas Westi, sahabat Dahayu, sesaat setelah mereka berada di koridor. "Enggaklah, dia tahu aku udah nyaman sendiri," jawab Dahayu sembari mengusap dahi dengan tisu. "Feelingku nggak pernah salah. Dari zaman Mas Zay, Mas Elang, dan sekarang dia." "Kamu itu kayak Maya dan Rini, sibuk ngejodohin aku, padahal aku nggak kepikiran buat nikah lagi." "Jangan gitu, Yu, kamu masih muda, baru tiga puluh tiga tahun. Jalanmu masih panjang." "Wes, stop, deh. Biarin aku kayak gini, dan tetap doakan yang terbaik buatku. Kalau di depan sana ternyata aku memang masih punya jodoh, doakan juga biar semuanya dilancarkan." "Dari dulu doaku juga cuma itu. Tapi sekarang ditambah dengan semoga saat ada yang serius melamar, kamunya nggak kabur lagi kayak dulu." "Duh, diingetin lagi." "Habisnya kesel, Mas Elang itu kurang apa coba? Wajah manis, badan tinggi walaupun agak gemuk sedikit, baik, Ayah penyayang. Pokoknya high quality duda, susah tau nyari yang model gitu." "Ya, udah, kamu aja yang ngedeketin dia." "Terus Mas Hendra di ke manain?" "Entah." Westi merengut, sementara Dahayu mengulaskan senyuman lebar. Langkah mereka terhenti ketika tiba di tempat parkir dan seorang pria melambai dari bagian tengah. "Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Imran, teman kuliah Westi dan Dahayu. "Ada, hatinya Dahayu," jawab Westi yang seketika dicubit orang yang dimaksud, sementara Imran tersenyum lebar. "Yok, kita berangkat. Yang lainnya udah nunggu." Imran membukakan pintu bagian depan, Dahayu beradu pandang dengan Westi sekilas sebelum merunduk dan memasuki kendaraan. Sementara Westi menempati kursi tengah. Tak berselang lama HRV putih sudah meluncur di jalan raya. Menembus kepadatan yang sudah lumrah di Ibu Kota yang tidak pernah tidur. Obrolan ringan dilakukan ketiga orang tersebut hingga Imran menghentikan mobilnya di tempat parkir di depan sebuah restoran yang merupakan milik mantan mertua Dahayu. "Nia masih di kantor nggak, ya?" tanya Dahayu sesaat setelah keluar dari kendaraan. "Kayaknya udah pulang, ini udah lewat jam delapan," sahut Westi sembari merapikan gaun abu-abu yang dikenakan. "Aduh, perutku makin buncit," keluhnya. "Namanya juga ada bayinya, Wes. Pasti begitu," sela Imran. "Dahayu juga pasti gitu kalau hamil," sambungnya tanpa menyadari bila wajah Dahayu dan Westi langsung berubah. "Yuk, masuk," ajaknya sembari melangkah terlebih dahulu memasuki tempat tersebut. "Sabar, Yu," bisik Westi sambil mengusap punggung sahabatnya. Dahayu memaksakan senyuman, kemudian mengangguk. "Enggak apa-apa, dia, kan, nggak tau kondisiku. Dan nggak perlu tau juga karena dia cuma teman." Westi hendak menjawab, tetapi tangannya sudah ditarik Dahayu dan akhirnya terpaksa melangkah untuk mengikuti perempuan bermata bulat tersebut. Kehadiran mereka disambut pelukan hangat dari teman-teman perempuan, sementara para lelaki hanya menyalami sambil tersenyum-senyum. Sementara itu di tempat berbeda, Arya menggendong Alfian yang sejak tadi merengek tanpa diketahui sebabnya. Bayi yang baru berusia tiga minggu, menolak untuk menyusu dan tidak mau dipindahkan ke kedua neneknya ataupun pada pengasuh. Arya sudah lelah sekaligus mengantuk karena belakangan hari jam istirahatnya kacau dan tidak pernah bisa tidur nyenyak. Tiba-tiba rengekan Alfian berhenti ketika suara Dahayu terdengar dari video yang tengah diputar Aldi di tablet milik papanya. Arya terdiam, begitu juga dengan Jamilah dan Aminah. Ketiga orang tersebut saling beradu pandang, sebelum tangisan Alfian kembali terdengar saat suara Dahayu menghilang. "Diputar lagi, Kak," pinta Jamilah yang langsung dikerjakan Aldi, dan rengekan Alfian langsung berhenti. "Kayaknya dia kangen sama Ayu, telepon, gih, Mas," pintanya pada sang putra. "Ehm, takutnya ganggu, Bu," jawab Arya sambil memelankan suara karena takut putranya kembali menangis. "Dicoba dulu, sekalian direkam, kali Alfi bisa tenang dengar suara Ayu." Arya menghela napas, kemudian mengerjakan permintaan ibunya. Detik demi detik menunggu panggilan diangkat membuatnya gundah, tetapi rasa itu langsung menghilang setelah mendengar suara sapaan salam Dahayu. "Yu, maaf ganggu, tapi Alfi nangis terus," terang Arya. "Kenapa? Lagi sakit?" tanya Dahayu. "Enggak, sih, cuma ... dia kayaknya kangen sama kamu. Nangisnya berhenti setelah mendengar suaramu dari video yang lagi diputar Aldi." Di seberang telepon, Dahayu terkesiap, kemudian berdiri dan jalan menjauh dari meja yang dipenuhi teman-temannya. Dia berhenti di luar ruang VIP dan memikirkan sesuatu sebelum berkata, "Aku rekam video, ya, Mas. Nanti putarin terus biar Alfi dengar." "Ya. Makasih sebelumnya. Dan ... sorry, aku ngerepotin terus," ungkap Arya. "Enggak apa-apa. Aku juga lagi nyantai." "Hmm, sekali lagi, makasih." "Kembali kasih." Telepon diputus Dahayu, kemudian dia merapikan penampilan sebelum membuat video dan mengucapkan kata-kata lembut buat Alfian. Terakhir dia bersalawat, hal yang selalu dilakukannya kala ikut mengasuh bayi tersebut selama satu minggu di rumah Arya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD