Akhirnya Terjadi Juga

1155 Words
"Kania, hey, tunggu!" Tia setengah berteriak memanggil sahabatnya, langkahnya terbatas karena rok span yang dia kenakan. Kania yang berjarak beberapa meter di depannya berhenti dan berbalik. Batik garutan dengan motif lereng membungkus badannya yang semampai, dipadukan dengan celana model pipa yang berwarna senada. "Hai, Ti, Assalamualaikum," sapa Kania, Tia tersipu malu karena lupa mengucapkan salam. "Waalaikumsalam," jawab Tia terengah-engah kemudian mengatur napasnya seraya menghapus sedikit keringat di atas bibirnya dengan punggung lengan. "Bagaimana kemarin, seru?" tanya Kania penasaran. "Makanya, kalau ikut kegiatan itu, ya sampai selesai dong, ada dua kabar, kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar lebih dulu?" Mereka berjalan bersisian, sepatu pantofel yang mereka pakai  menghasilkan suara seirama. Suara yang dijadikan tanda kedatangan ibu guru tercinta oleh para siswa. Karena segaduh apa pun kelas, tiba-tiba menjadi hening kala mendengar suara tersebut. "Yang kurang baik aja deh, ingat jangan bilang buruk." Tia nyengir kala mendengar protes Kania. "Intinya, kita jangan terlalu berharap pada hasil demo kemarin. Karena pemerintah mau menghentikan adanya honorer. Denger-denger juga pemerintah ingin memutus mata rantai honorer menunutut PNS setelah mengabdi puluhan tahun. Begitu lah, kamu pasti sudah mengerti. Jadi kalau mau jadi PNS kita ikut tes saja beberapa bulan lagi. Kita pasrahkan nasib kita pada Allah semata." Mereka berhenti sejenak, Kania diam dia seperti sedang berpikir jauh. Dia mengerti, dia tahu, tapi tetap dalam lubuk hati yang paling dalam Kania mengharapkan hal itu terjadi. "Iya, aku juga sudah tahu, semoga ada perubahan nasib kita, meski tanpa menjadi PNS ya, Ti." Tia mengangguk, dia tahu betul keinginan terbesar Kania. "Lanjut?" "Iya, laaah, apa kabar baiknya? Jangan bilang Irman melamar kamu," goda Kania, dia terkikik geli, Tia hanya tersenyum salah tingkah. "Masih ingat lamaranku ke SDIT Siti Khadijah?" tanya Tia, Kania membalasnya dengan anggukan. "Aku diterima!" pekik Tia, tanpa sadar dia melompat-lompat kegirangan. "Itu, sih kabar yang kurang baik buat aku," tutur Kania sedih. "Kania gak seneng?" selidik Tia. "Seneng banget, Allah menjawab doa dan cita-citamu, tapi ini menjadi kabar buruk buatku karena itu artinya perpisahan di depan mata," ucap Kania. Dia tentu sedih ketika harus berpisah dengan sahabatnya. "Ah, Kaniaaaa, SDIT Siti Khadijah bukan di Saudi Arabia atau di Pattaya." Kania tersenyum mendengar jawaban Tia, mereka kemudian berpisah masuk ke dalam kelas masing-masing. Kania mengajar siswa kelas tiga sekolah dasar. Semula, menjadi seorang pendidik tidak pernah terpikir olehnya. Karena keterbatasan biaya, Kania sudah merencanakan matang-matang kelanjutan nasibnya selepas SMA. Tetapi kecerdasannya berhasil mengantarkan gadis itu ke gerbang universitas melalui jalur bea siswa. Usai mengajar Kania selalu bergegas pulang, kemudian membantu ayahnya memasak dan membungkus hasil masakannya ke dalam plastik untuk kemudian di jual kepada para penambang pasir. Usaha yang pak Ari geluti semenjak pensiun dari kapal. Meskipun perusahaan tempat pak Ari bekerja adalan milik BUMN beliau tidak mendapat uang pensiun setiap bulan, sebagai gantinya ketika pensiun, pak Ari mendapatkan sejumlah uang sebagai pesangon yang kini sudah menjadi rumah kecil yang mereka tempati. Namun, tidak dengan siang ini, Kania mengantar Tia ke sentral penjualan kerajinan kulit untuk membeli sepatu baru. Dia berjalan di trotoar matanya melihat kagum sederetan toko yang menjual barang serupa. Tia membawanya memasuki sebuah toko yang cukup besar, saat masuk dirinya disambut oleh sederetan sepatu yang berjejer rapi dalam sebuah etalase. Di sebelahnya berdiri menjulang sebuah maneken yang didandani dengan pakaian kasual. Dibalut jaket kulit berwarna merah marun dan bucket hat yaitu topi dengan crown berbentuk seperti tabung yang bagian atasnya rata, brim pendek mengitari seluruh bagian topinya. Bucket hat dikenal ringan dan sejuk di samping tentunya melindungi kepala dari sinar matahari. Kemudian dia berjalan pelan menuju sebuah rak yang menyimpan tas dan dompet, seorang pelayan dengan setia mengekori Kania. Dia sedang terpukau melihat sederet tas berbahan kulit sapi dan domba. Pemilik mata bening itu mengusap tas selempangnya, tas pemberian ibu yang masih sangat bagus dan layak pakai. "Semoga nanti aku bisa membeli salah satu tas di toko ini," gumam Kania. Ketika dia hendak menghampiri Tia yang terlihat kebingungan memilih sepatu,  tanpa sadar, gangungan kunci berbentuk bunga tulip buatannya tersangkut pada pengait tas yang sedang di pajang. Sehingga tak ayal ketika Kania berjalan tas pajangan itu jatuh ke lantai disusul dengan beberapa  tas di sebelahnya. Kania memekik kaget, pelayan yang dari tadi mengekorinya dengan cekatan membantu Kania yang tengah panik membenahi tas ke tempat semula. Dari arah meja kasir, seorang pria pemilik toko, mengawasi Kania. Sesekali dia tersenyum melihat Kania. Dia memandang lekat-lekat seorang guru muda yang tengah panik karena menjatuhkan beberapa buah pajangan toko. Setelah selesai melakukan pembayaran di kassa, Kania dan Tia meninggalkan toko. Kemudian bergegas memberhentikan sebuah angkutan umum. Kania tidak enak hati karena tidak pulang cepat seperti biasanya. Sementara itu di rumah Pak Ari tengah menerima tamu. Cepat atau lambat ahli waris dari keluarga haji Amat akan datang untuk menyelesaikan amanah yang masih dia emban. "Sumuhun, Kang, minta waktunya, untuk saat ini saya belum ada uang." Pak Ari gelisah, sesekali dia melihat air muka Bahrudin yang tidak begitu bersahabat. "Apa jaminannya?" tanya Bahrudin. "Saya tidak punya apa-apa untuk dijaminkan, Kang. Kiranya Kang Bahrudin mengerti, saya tidak akan lari dari tanggung jawab," tutur Pak Ari sopan, tidak dapat dipungkiri dia begitu gugup dan takut. "Cih! Zaman sekarang mana ada pinjam meminjam tanpa jaminan. Saya tidak mau tahu. Selesaikan segera!" hardik Bahrudin kasar. Pak Ari tafakur, dia tarik napas dalam-dalam berharap oksigen yang masuk bisa sedikit melegakan sesaknya. "Percayalah, Kang, anak saya sedang berjuang, mudah-mudahan dia lulus jadi PNS," ungkap Pak Ari yang kontan di balas dengan tawa Bahrudin yang membahana. Mencemooh dan menghina Pak Ari juga Kania. "Jangan ngimpi, Pak. Hari gini kalau gak pake ini mana bisa! Bapak mah ngalindur wae" ledek Bahrudin, sambil menggosokkan ibu jari dengan jari telunjuknya, tanda yang biasa orang pakai untuk menyebut uang. "Insyaa Allah, Kang, doakan saja." "Alah, jangan kebanyakan ngimpi, Pak. Panas kuping saya dengernya juga. Yang penting sekarang saya mau uang almarhum Bapak saya cepat-cepat dikembalikan. Gak ada alasan." "Assalamualaikum," ujar Kania, dia berjalan tergesa melihat ada sepeda motor yang terparkir tepat di depan rumahnya. "Waalaikumsalam," jawab Pak Ari, Bahrudin hanya diam, dia memandang sinis pada Kania yang baru saja tiba. "Eh, ada Kang Bahrudin, damang, Kang?" tanya Kania sambil menyodorkan tangan sebagai tanda penghormatan, tapi Bahrudin bergeming. Dia tetap asik dengan hisapannya pada rokok. "Alah, tidak usah basa-basi, saya kemari mau nagih utang Bapak kamu. Saya dan adik-adik saya sedang butuh uang." "Oh, itu, saya juga ingat, Kang. Hanya saja saat ini kami belum ada uang." Kania melihat wajah ayahnya yang pucat pasi. Terdapat banyak keringat bukan karena kepanasan, melainkan pertanda bahwa pria tua itu tengah panik. "Saya kasih waktu satu minggu," ucap Bahrudin seraya berdiri hendak meninggalkan kediaman Kania. "Tapi, Kang, apa tidak terlalu cepat, maksudnya ehm ... ehm maksudnya." "Mau saya potong jadi tiga hari?" tanya Bahrudin sinis. "Tidak, Kang, tidak!" Setitik bulir bening berhasil lolos dari matanya. Dia tidak berdaya. "Kalau lewat dari seminggu, saya tunggu di pengadilan, siapkan saja siapa yang akan mendekam di balik jeruji," ancam Bahrudin, kemudian dia berlalu meninggalkan Kania dan Ayahnya yang diam meratapi nasib.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD