PART 9 - IDE GILA AMI.

1596 Words
Saat menganggap bisa bahagia di atas dusta yang diciptakan. Melupakan jika ada saatnya dusta pun harus berakhir. Dewa mengerti kekhawatiran Fiona. Bagaimana mereka bisa lengah. Tak percaya akan bertemu Ami, yang merupakan sahabat karib Fiola. Padahal selama ini mereka main aman. Mereka sering mengunjungi tempat yang tidak mungkin akan di kunjungi teman atau sanak family lainnya. Dewa belum setolol itu. Tapi tampaknya hari ini mereka sedang apes dan sial. "Bagaimana ini Mas? Ami pasti akan mengadu pada Fiola," keluh Fiona penuh kekhawatiran. Telapak tangan Fiona bahkan berkeringat. Ia bisa melihat tatapan bengis dari Ami. Jika ketahuan Ami saja, Fiona sudah setakut ini. Apalagi jika ketahuan Fiola. Perasaan yang sama pun terjadi pada kekasihnya. Aslinya Dewa pun khawatir. Selama ini ia menutup mata. Tak pernah membayangkan jika semua akan terjadi. Ia terlalu terbuai akan permainan gilanya bersama Fiona. Tapi ia tetap harus tenang bukan? Jika ia kalut, maka semuanya akan berantakan. "Sayang, dengar. Semua pasti akan baik-baik saja." Dewa menatap wajah Fiona guna menenangkan wajah yang penuh ketakutan itu. "Tapi ...." "Apapun yang akan terjadi, kita hadapi berdua ya." Kembali Dewa berucap ketika Fiona tak percaya ucapannya. "Benar Mas? Kamu gak akan tinggalkan aku sendiri? Kamu gak akan memilih Fiola dan meninggalkan aku sendiri?" Mata Fiona berkaca. Semakin kemari, rasa takut kehilangan pada dirinya terhadap sosok Dewa semakin besar. Sifat manusia kadang susah diraba. Orang yang awalnya mencuri justru takut kehilangan, padahal apa yang dia miliki sudah menjadi hak milik orang lain. Tidakkah ia memikirkan hal sama pun terjadi pada orang itu, si pemilik asli? Dewa tersenyum dan membelai puncak kepala kekasihnya. "Tentu tidak sayang. Mas sudah cinta banget sama kamu Fiona." Gadis cantik di depannya menghela napas. Rasa khawatir yang sejak tadi muncul, hilang begitu saja. "Terima kasih Mas." Fiona membalas senyum kekasihnya. Raut wajahnya yang semula tegang menjadi mencair. "Kalau begitu kita makan dulu yuk sebelum pulang. Mas gak mau kamu pulang kemalaman." Fiona mengangguk. Ia akan mengikuti apapun perkataan Dewa. Apapun, sekalipun harus membuat jarak baru dengan Fiola. Sekalipun harus menyakiti Fiola. Fiona sudah tidak peduli, ia sudah gelap mata akan cintanya pada Dewa. Dewa mengajak Fiona ke sebuah restoran, dimana Ami sedang menyembunyikan wajahnya di balik buku menu. Demi menghindari pertemuan lagi dengan orang yang mereka kenal, Dewa mengajak Fiona ke meja ujung. Tampaknya ia sungguh harus mencari cara, jika Ami mengadu yang tidak-tidak pada Fiola. ** Ketika ada orang yang melewati mejanya, dan Ami mengenali, ia langsung menarik begitu saja baju si pelayan. "Joni!" bisiknya. Zayn mengernyit heran melihat Ami berulah aneh lagi. Pelayan itu menoleh. "Wah Ami ?" "Stssss!" Telunjuk Ami berada di depan bibir. "Gue ada perlu, sini." Lalu tanpa dosa, Ami menarik si pelayan duduk di samping kursinya. Dan berbisik, lalu memberikan ponselnya. Zayn hanya memandang keduanya dengan heran. Awalnya lelaki bernama Joni itu menggeleng. "Please ya, beneran tolongin gue." Ami menghiba. "Iya tapi Mi ...." Joni ragu-ragu. "Gue kasih bayaran deh." Lalu Ami menoleh ke arah atasannya. "Pak, saya pinjam seratus ribu dong!" "Hah!" Zayn menganga. "Ck, cepetan pak. Penting banget nih. Nanti saya ganti dah." Dengan menghela napas Zayn mengeluarkan uang lembaran seratus ribu dan memberikannya kepada Ami. Ami segera menyerahkan ke atas telapak tangan Joni. "Nih gak ada tapi-tapian. Bisa kan?" Joni tersenyum ketika lembaran merah mendarat di tangannya. "Oke, laksanakan." Matanya mengerling satu sambil mencium aroma uang kertas itu. Lalu Joni melangkah ke arah kasir ke sebelah ujung, seolah hendak ke toilet. Meja yang di tuju, adalah meja yang kini di tempati oleh Dewa dan Fiona. Ami menanti dengan berdebar. Ya Tuhan, semoga berhasil. "Kamu mau cerita sama saya ada apa? Saya seperti orang bodoh di sini!" protes Zayn. "Bapak gak bakal mengerti." Ami bicara sesukanya, lalu dengan tangan kiri masih menutupi wajahnya dengan buku menu, ia mulai makan makanan yang sudah atasannya pesan. "Kamu bisa cerita ke saya Mi. Kamu tahu? Kamu seolah sedang menemukan suami kamu main gila di sini." Ami meneguk minumannya kasar, sambil melotot ke arah Zayn. "Pak, saya bersyukur lelaki itu bukan suami saya. Kalau dia suami saya, saya potong-potong k*********a hingga tak tersisa." Zayn meringis sambil meneguk salivanya. Membayangkan perkataan karyawannya. Ia yakin Ami tak main-main dengan ucapannya. "Terus mereka siapa?" Zayn memang tidak jelas melihat mereka yang menjadi pusat perhatian Ami sekarang. Ditanya begitu, Ami terdiam. Lalu meraih tisu lagi dan mengusap matanya yang mendadak berair. Yah, dia mewek lagi. Batin Zayn. "Pak, ternyata dikhianati itu sakit ya," bisik Ami sambil membersit hidungnya. "Saya belum pernah rasain, jadi mana saya tahu." Zayn menusuk daging di depannya dan mulai melahap makan. "Kenapa sih Pak, lelaki tak bisa setia pada satu wanita?" "Kenapa selalu wanita yang menjadi korban di sini?" "Apa salah kaum kami." Ami melempar tisu yang baru ia pakai ke atas meja dengan kesal. "Woy woy Mi. Kamu boleh marah, tapi jangan ke saya." Zayn melotot melihat tisu bertebaran di atas mejanya. "Terus saya marah sama siapa? Salah bapak ada di mari. Masa iya saya marah sama si Joni, nanti dia gak mau bantu saya lagi. Kan repot. Saya harus memiliki bukti." Zayn menghentikan makannya. Dia menutup mulutnya dengan kesal, tapi ia tahan sebisa mungkin. "Mi, saya ajak kamu ketemu di sini mau ajak kamu bicara tentang salah satu customer kita yang gak bisa bayar hutang. Enaknya gimana?" Ami berdecak. "Ya ampun Pak. Saya lagi gak konsen, bapak tega amat sih." Zayn menggeleng. "Makanya kasih tahu saya kamu kenapa? Mana lelaki yang buat kamu menangis kaya gini. Biar saya samperin." "Bapak mau ngapain?" tanya Ami heran. "Suruh dia minta maaf sama kamu, biar kamu gak cengeng gini. Saya lagi butuh konsentrasi kamu Mi." "Eh apaan pake suruh dia minta maaf. Saya juga gak mau maafin dia. Amit-amit." Ami mendelik tak suka. "Terus maunya kamu apa? Mewek di sini gitu? Kamu gak malu apa? Dari tadi orang lihat kesannya saya lagi putusin kamu, pake acara tisu banyak gini." Ami mendelik. "Bapak gak usah ge-er. Sekalipun bapak sisa laki-laki di dunia ini. Saya gak mau jadi pacar bapak." Mata Zayn membola. "Lah memangnya saya mau jadi pacar kamu. Gak-lah. Ya kali di kantor ketemu kamu, di rumah ketemu kamu, bosen kali Mi." "Terus tadi ngapain bilang seolah saya sedang di putusin pacar. Bapak jangan mikir macam-macam. Saya gak akan balas perasaan bapak. Bapak bukan tipe saya." "Astaga Mi, yang suka sama kamu siapa kali. Jangan ge-er." Lama-lama mulut Ami ingin sekali ia sumpal dengan tisu diatas meja. "Ck, bapak bisa diem gak sih. Saya lagi pusing." Tak lama pelayan yang tadi mendekat. "Mi, ini ponsel lo. Mereka sudah balik tadi." "Hah, mereka udah balik? Kapan?" Lalu Ami melirik ke atasannya. "Tuh kan, bapak sih ajak saya ngomong. Saya jadi gak lihat kapan duo cecunguk itu pergi. Ah, rese!" Dengan mulut masih menggerutu Ami mengotak-atik ponsel di tangan. Lalu Ia memutar rekaman suara itu. Kamu yakin sama rencana kamu Mas? Iya sayang. Acara lamaran tetap berjalan seperti biasa. Tapi pas acara pembukaan aku akan katakan sejujurnya, jika kamu yang aku lamar. Kamu yang akan menjadi istri aku, ibu anak-anak aku. Terus aku harus bagaimana nantinya? Kamu diam saja. Kamu ikuti permainan Mas. Seolah-olah kamu kaget dengan perkataan Mas nantinya. Jadi kita berdua tidak akan kena masalah. Bagaimana jika Ayah dan Ibu gak setuju Mas. Mas akan pikirkan itu. Intinya, kamu tidak akan disalahkan sayang. Mereka pasti akan menyalahkan Mas, dan akan bertanya kenapa Mas melakukan hal ini. Baru setelah itu, Mas akan jabarkan kenapa Mas memilihmu. Mas yakin itu akan berhasil? Untuk kita berdua? Tentu sayang. Mas yakin ini akan berhasil. Mas akan cari alasan yang bisa diterima kedua orang tua kita nantinya. Ya ampun Mas, terima kasih. Terima kasih buat semuanya. Jadi, kamu sekarang gak bingung lagi kan? Gak Mas, aku akan ikuti apapun permainan Mas Dewa. Lalu pembicaraan berakhir. "b******k!!" Ami meradang. Napasnya turun naik. Lalu tiba-tiba matanya kembali berkaca. "Ya Tuhan. Malangnya nasibmu." Ami membayangkan jika Fiola yang penuh suka cita karena akan dilamar sang kekasih. Tapi ternyata justru Fiona yang Dewa maksud. Apakah nanti tidak akan hancur hati sahabatnya itu? "Mi, kamu yang sabar." Zayn kembali menggeleng. Ia memang tidak mengerti dan belum paham. Tapi Zayn yakin, dua suara yang baru saja diputar berasal dari orang yang tidak baik. Entah siapa korbannya. "Mereka pak. Mereka tega sekali," isak Ami sedih. "Jadi itu cowok gila itu kekasih sahabat saya Pak. Sahabat saya itu orangnya baik banget." Ami membersit hidungnya. Oh jadi tentang kisah sahabat Ami. "Bodohnya, sahabat saya terlalu percaya sama kekasihnya. Dan kekasihnya justru main gila dengan saudari kembarnya. Padahal mereka ... sahabat saya mau menikah sebulan lagi. Terus saya harus gimana dong Pak. Gak saya kasih tahu, kasihan. Dikasih tahu, saya gak tega." Ami menghapus basah matanya. Zayn mengangguk. Rumit. Ami dan dia sama-sama jomblo, tapi di rumitkan oleh kisah orang lain. Segitunya persahabatan, hingga karyawannya ini, ikut bersedih. "Menurut bapak, saya harus bagaimana?" "Bapak ada ide gak?" Zayn mengangguk kembali. "Kamu kasih tahu sahabat kamu," perintah Zayn. "Tapi saya gak tega pak." "Ya Tuhan, beneran saya benci mereka berdua. Ingin banget saya bejek-bejek sampai bonyok tuh mereka berdua." "Lho memangnya kamu mau, sahabat kamu menikah dengan kekasihnya itu?" tanya Zayn lagi. "Ya gak lah pak. Cowok brengsekk kaya gitu, gak pantas buat sahabat saya." "Ya udah kalau gitu kamu bongkar saya, susah amat. Biar sekalian tuh cowok tahu rasa." Ami berpikir sejenak, sebelum berucap. "Bapak benar. Tega gak tega saya harus bongkar kebusukan mereka." "Betul banget itu. Saya setuju." Zayn menunjukkan jempolnya pada Ami. Lalu Ami menatap atasannya dan tersenyum. "Terima kasih atas idenya Pak." "Sama-sama." Zayn tersenyum sambil menyeruput minumannya. "Ngomong-ngomong, bapak beneran nih belum pernah punya pacar?" Detik berikutnya Ami mendapatkan semburan tiba-tiba di wajahnya. "Bapak! Sejak kapan bapak pindah profesi jadi dukun!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD