PART 6 - AWAL KISAH.

1770 Words
MAAFMU TAK KAN KUJADIKAN CELAH UNTUK KESEMPATAN KEDUA. CERITA USANG SEBAIKNYA DIBUANG DAN TAK PANTAS UNTUK DIKENANG. Selamat tinggal Fiola. Semoga ke depannya kamu menemukan kebahagiaanmu. Dewa tulus bicara begitu, karena ia sadar kesalahannya teramat besar. Sekalipun Fiola memaafkannya, Dewa memastikan luka yang teramat besar kini tengah di derita Fiola. Dewa cukup piawai memainkan rencananya. Ia memang jahat dan kejam. Ia mengakui semuanya. Dewa menyandarkan tubuhnya di pintu gerbang rumah miliknya. Rumah yang seharusnya akan ia tempati bersama Fiola. Tapi sepertinya, bukan Fiola yang akan menjadi nyonya di rumahnya ini. Jelas Dewa menentukan, jika Fiona akhirnya yang akan mendampingi hidupnya ke depan. Bahkan Dewa mampu menyingkirkan wanita yang sudah mendampinginya dua tahun ini, demi wanita yang baru lima bulan dekat dengannya. Terkadang ia bertanya dalam hati, apakah perasaannya terhadap Fiona itu cinta, atau hanya pelepas kesepian semata? Tapi berulang kali dia bertanya pada hatinya, Dewa tak mampu menemukan jawabannya. Semua tidak akan terjadi, andai Dewa menolak dengan tegas keinginan Fiola beberapa bulan lalu. Lima bulan yang lalu. "La, please. Masa aku jemput Fiona sih." Dewa protes dengan nada tak suka. Ia baru saja mematikan mesin mobilnya, ketika sudah sampai di depan kantor Fiola, setelah tadi menurunkan Fiona terlebih dahulu di kantornya. Semenjak Dafa meninggal, Fiona ikut mobil Dewa pulang dan pergi. Tentunya atas permintaan kekasihnya, Fiola. "Mas, aku harus keluar kota. Ada meeting yang harus aku ikuti di sana." Fiola mencoba membujuk kekasihnya dengan menggenggam telapak tangan Dewa. "Tapi suruh aja Fiona naik angkot," titah Dewa. Fiola menghela napas. "Mas, kamu tahu Fiona sedang bersedih. Dan membiarkan Fiona naik angkot sendirian, kamu kok tega sih. Kamu kan ada waktu Mas. Lagipula jarak kantor kamu juga gak jauh-jauh amat." Dewa menghembuskan napasnya dengan kasar. Fiola sadar, kekasihnya tak menyukai sosok Fiona. "Mau ya Mas, jemput Fiona. Kasihan, kalau Dafa masih hidup juga, ini tidak akan menjadi tugas kamu." Suara Fiona kadang rame, apalagi kalau bertemu kekasihnya Dafa. Itu yang Dewa tak suka. "Mas, Fiona baru saja kehilangan Dafa. Please, jangan musuhin dia ya. Aku kasihan melihatnya sedih terus." Fiola hanya ingin Fiona merasakan jika Fiola dan Dewa akan menemani Fiona, hingga tidak lagi merasa kesepian ditinggal Dafa. "Bukan tugas aku untuk mengobati kesedihannya kan La," keluh Dewa. Fiola tersenyum. "Aku tahu, tapi kali ini aja kamu tolong aku. Nanti kalau aku sudah kembali normal bekerja, aku yang akan jemput Fiona sama kamu seperti biasa." Akhirnya dengan berat hati Dewa mengangguk. Demi Fiola. "Oke, hati-hati ya Mas. Aku masuk kantor dulu." Setelah Dafa meninggal, Fiona sempat stress. Bagaimana tidak, acara lamaran dan pernikahan sudah tinggal menghitung bulan. Dan disinilah Dewa, menjemput Fiona di depan kantornya. Biasanya mereka bertiga dengan Fiola. Tapi Fiola sedang sibuk bekerja, harus pergi pula ke ibukota. Sepertinya jika mereka sudah menikah, Dewa akan meminta Fiola berhenti bekerja saja. Dan demi rasa cintanya pada sang kekasih, sorenya Dewa sungguh menjemput calon adik iparnya. Dewa sedang melamun, ketika pintu kaca diketuk dari luar. Lalu ia memasang senyum ketika melihat sosok yang mirip kekasihnya masuk ke dalam mobilnya. "Maaf lama ya." Fiona tersenyum tak enak hati. Tanpa banyak bicara, Dewa menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan tak ada yang bicara. Dewa yang pendiam, sama sekali tak berniat menyapa Fiona. "Terima kasih ya Mas. Seharusnya Mas gak perlu jemput aku," lirih Fiona. Ia tahu lelaki ini tak menyukai dirinya. Menurut Fiola, Mas Dewa gak suka berisik. Jadi sebaiknya Fiona tidak terlalu banyak bicara. "Hmm." Hanya itu yang Dewa ucapkan. Jadi sepanjang perjalanan, mereka berdiam diri. Tapi lama-lama Dewa juga aneh. "Kamu kenapa? Sakit?" tanya Dewa menoleh pada Fiona. Ditanya begitu Fiona menggeleng. "Biasanya rame." Lirikan Fiona kembali ke arah Dewa. "Fiola titip pesan, kalau sama Mas Dewa aku gak boleh rame. Nanti Mas Dewa kapok anter jemput aku." Dewa terkekeh. Ternyata Fiola selain menitip pesan padanya, juga menitip pesan pada Fiona. "Kok ketawa Mas, ada yang lucu ya?" Dewa menoleh. Menatap wajah Fiona. Astaga, baru ditinggal sehari oleh kekasihnya, ia sudah rindu Fiola. "Kamu gak usah berubah Fiona. Seperti biasa saja." "Serius Mas?" tanya Fiona tak percaya. "Mas gak keberatan kalau aku rame?" Dewa menggeleng. "Kalau kamu banyak diam. Justru aku bingung, aku bersama Fiola atau Fiona." Mata Dewa menatap ke dalam mata Fiona. Ya Tuhan, mereka memang mirip sekali. Dewa menelan salivanya dengan susah payah. "Mas kenapa liatin aku kaya gitu?" Fiona merasa risih. Pasalnya baru kali ini ia mendapat tatapan aneh dari calon kakak iparnya ini. "Tatap mata aku," pinta Dewa. Dengan perlahan Fiona mengangkat wajahnya. Mereka kembali saling tatap dalam keremangan malam. Lalu Fiona melihat kedua sudut bibir Dewa tertarik. Ternyata kalau senyum Mas Dewa memang tampan. "Aku merindukan Fiola. Dan dengan menatapmu, aku serasa sedang bersama calon istriku itu," bisik Dewa, tapi mampu membuat bulu kuduk Fiona meremang. "Tapi, aku Fiona Mas. Bukan calon istri Mas Dewa," cicit Fiona. Ditatap seintens itu oleh sosok lelaki yang biasanya bersikap biasa selama ini, membuat Fiona berdebar. Dafa saja tak seperti ini menatapnya. Telapak tangan Dewa mengudara, perlahan mengusap puncak kepala Fiona. "Itu sebabnya, berlakulah seperti Fiona, yang berisik. Aku takut gak bisa membedakan mana kamu mana Fiola." Debaran dalam d**a Fiona makin kencang. Ini kali pertama mereka berdua di dalam mobil tanpa Fiola. Dan ini kali pertama Dewa berlaku manis dengan senyum dan jemarinya. ** Hingga suatu hari Dewa meminta Fiona menemaninya untuk mengunjungi rumah mereka, yang di minta cat ulang oleh Fiola. Fiona yang memang tak bisa menolak mengikuti kemana Dewa membawa mobilnya, setelah menjemputnya dari kantor. "Ayo kita keluar," pinta Dewa. Dengan ragu Fiona keluar. Ini pertama kalinya ia masuk ke rumah Dewa tanpa Fiola. Dulu ia menginjakkan kakinya kemari bersama Dafa, saat Fiola mengajaknya. Memberi tahu rumah impian Fiola. Ketika langkahnya memasuki teras, tampak beberapa orang tukang sedang mengecat. Hujan mulai turun, saat Fiona dan Dewa masuk ke dalam rumah. "Selamat datang Pak Dewa, Ibu Fiola." Tampaknya orang ini tidak tahu jika yang datang ini bukan Fiola. "Masih lama pengerjaannya pak?" tanya Dewa. Mereka memang memakai jasa tukang borongan. Hingga malam pun pekerjaan tetap dilakukan. "Ruangan dalam sudah pak, tinggal ruang depan saja. Silahkan kalau mau cek ke dalam." "Oke." Lalu Dewa membuka pintu mengajak Fiona masuk. Tatapan Fiona menyapa seluruh ruangan. Ia terpaku. Ini seperti kediamannya di apartemen Dafa. Fiona tersadar, mereka memang memilih interior yang sama. Penataannya pun sama, karena baik dirinya dan Fiola janjian. Dan itu menumbuhkan rasa sedih di hatinya. "Kamu baik-baik saja?" Dewa melihat raut wajah Fiona berbeda. Seperti orang sedih. Fiona mengerjapkan matanya. "A-aku cuma ingat apartemen milik Dafa." "Ini, ini hampir sama." Dewa menatap wajah Fiona. "Yah, karena kalian memang merencanakannya untuk sama semua kan?" Hening sejenak. "Aku memeriksa kebelakang sebentar." Dewa melangkah ke belakang rumah. Sementara jemari Fiona justru membuka tuas pintu kamar utama rumah itu. Langkah kakinya membawa tubuhnya ke dalam kamar. Interior kamar pun sama. Fiona membelai tiap sudut spring bed yang ia pilih berdua bersama Fiola. Bahkan sprei pun mereka samakan. Jadi pada akhirnya yang bahagia hanya Fiola, sedang dirinya tidak. Dan melihat semua ini, membuat Fiona merasa nasibnya teramat tragis. Fiona mendudukkan tubuhnya di atas kasur, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ya Tuhan, mengapa kau tak adil padaku? Jeritnya dalam hati. Mengapa tak kau biarkan aku dan Fiola sama berbahagia, seperti yang biasa kami rasakan. "Fiona, kamu kenapa?" Pertanyaan Dewa, membuat Fiona melepaskan telapak tangannya yang semula menutup wajahnya. Saat itulah Dewa menyaksikan wajah Fiona sudah basah air mata. "Maaf, Mas. Aku ...." Ucapan Fiona terhenti, ketika telapak tangan Dewa terulur dan mendarat manis di pipi Fiona. Membuat Fiona mematung, begitupun Dewa. Ia tak menyangka bisa melakukan hal ini. "Jangan menangis, aku gak suka melihat kamu bersedih lagi," bisik Dewa dengan suara lirih. Telapak tangan itu membelai pipi Fiona yang lembut, menghapus basah di sana. Perasaaan sedih Fiona kini berganti dengan debaran jantungnya, kala Dewa menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mereka masih saling menatap, dan tanpa bisa dicegah, Dewa semakin menipiskan jarak diantara mereka. Alarm dalam diri Dewa sudah memperingatkan jika wanita cantik di depannya ini bukan miliknya, bukan calon istrinya. Tapi rasa rindunya pada calon istrinya, membuat ia buta. Meyakini jika di depannya ini adalah wajah yang sama. Hingga dengan beraninya Dewa melakukan hal yang sama sekali tak patut dia lakukan. Pun dengan Fiona, yang seharusnya menghindar dan memberitahu kesalahan lelaki di depannya. Tapi nyatanya Fiona menikmati apa yang Dewa lakukan pada bibir tipisnya. Membiarkan lelaki itu melepaskan rasa rindu yang sebenarnya bukan miliknya. Fiona, yang memang merasa kehilangan tempat berpijak seolah menemukan pegangan baru. Kembali menemukan sosok yang selama ini ia rindukan, namun terpisah dengan alam. Kilatan petir dan derasnya hujan menjadi saksi bagaimana dua insan di dalam kamar memulai suatu kesalahan. Itulah pertama kalinya mereka melakukan kesalahan. Hanya kesalahan kecil, ketika dua insan manusia terkekang rindu akan pasangan yang entah ada dimana. Yang tak bisa memuaskan dahaga keduanya, ketika rindu itu seharusnya bermuara. Kesalahan kecil yang nyatanya mengundang kesalahan lainnya tanpa mereka sadari. Bahkan tanpa rasa bersalah mereka melakukan sentuhan pertama di salah satu panca indra keduanya, di rumah dan di kamar yang seharusnya menjadi tempat Dewa dan Fiola memadu kasih nantinya jika mereka benar menikah. Dewa melepaskan sentuhannya, menikmati bagaimana rona wajah Fiona kini di depannya, "Mas, ini salah." Hanya sedikit kosa kata yang Fiona keluarkan dari bibirnya, karena selajutnya Fiona kembali tak berdaya, ketika Dewa semakin menuntut memperlakukan dirinya. Kesalahan yang mereka nikmati berdua, tanpa mereka sadari ada hati yang harus dan akan menjadi korban nantinya. Hati orang yang mereka kasihi. Sejak itu Dewa tak lagi canggung bila pergi dan menghabiskan waktu bersama Fiona. Ia tetap rajin antar jemput calon adik iparnya, sementara Fiola sedang giat-giatnya bekerja dan pulang pergi Jakarta-Semarang. Terkadang Dewa mengajak Fiona mampir makan dulu sebelum sampai ke rumah. Memang benar, kebersamaan terkadang bisa menumbuhkan rasa yang tak pernah kita sadari. Dalam kondisi Dewa yang nyaris merindukan kekasihnya, ia setiap hari di suguhkan keberadaan Fiona. Apa bedanya Fiona dan Fiola? Mereka nyaris memiliki kesamaan. Wajah keduanya pun sama, hanya setitik hitam di antara alis yang membuat Dewa bisa membedakan fisik keduanya. Karena keseringan bersama Fiona daripada Fiola, membuat sesuatu rasa nyaman mulai timbul di hati Dewa, yang awalnya mati-matian ia sanggah. Dewa yang dulu tidak menyukai keberisikan Fiona, kini bahkan sudah merasa nyaman. Dan Fiona, yang memang merasakan kehilangan pelindung dari seorang Dafa, mendapatkan itu semua dari calon kakak iparnya. Sekuat apapun keduanya menentang hubungan terlarang mereka, hati mereka tak bisa saling menipu, mereka sama-sama nyaman dan menikmati. Tak ada lagi Dewa yang keberatan ketika Fiola lama di ibukota. Tak ada lagi protes ketika Fiola lupa menghubunginya, karena kini ia menemukan pengganti Fiola di dalam diri Fiona. Mereka berdua menikmati kedekatan mereka. Tentu saja itu berlaku jika tidak ada Fiola. Jika ada Fiola, Fiona tahu diri untuk tidak menunjukkan hubungannya dengan Dewa yang semakin kemari semakin dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD