Melupakan masa lalu yang sangat berharga sangatlah susah. Apalagi dia adalah cinta pertama. Cinta yang selalu aku perjuangkan dulu. Dan sekarang, aku merasa semuanya telah berakhir. Dari kehidupanku dan kisah cintaku. Aku memutuskan untuk pergi. Tanpa harus hadir di pernikahan sang mantan. Karena itu sangatlah menyakitkan. Aku tak sanggup melihat mereka bahagia. Karena bagiku, kebahagiaannya hanyalah untukku. Bukan untuk wanita lain. Tetapi aku salah. Kebahagiaan dia ternyata bersama dengan wanita lain. Bukan denganku.
Sudah terbayang kan. Gimana rasa sakit yang aku derita. Di saat orang yang aku cintai. Bisa di bilang cinta pertama. Menikah dengan wanita lain. Dan dia ternang-terangan bilang padaku.
Selama ini aku terlalu berharap berlebihan padanya.
Hahaha..
Aku terlalu bodoh. Aku pernah bermimpi dengannya. Kita akan menikah dan punya anak laki-laki dan perempuan yang sangat imut. Jika aku mengingat tentang itu semua. Aku merasa ingin sekali tertawa. Bahkan sampai menangis tak terhentikan.
Melihat senyumnya, di yang terukir jelas di otakku. Aku merasa dirimu begitu bodoh sebagai wanita. Sekarang, aku mencoba untuk membuang semua kenangan masa lalu. Dan berharap bisa hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang sangat menyakitkan.
Hari ini, kakakku akan datang menjemputku. Dia akan membawaku pergi jauh dari sini Dan memulai hidup baru. Dia meminta aku untuk bersekolah lagi. Agar aku punya banyak kegiatan untuk melupakannya. Dan aku mengiyakan. Tetapi, sebelum aku pergi Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah taman. Mengingat sejenak kenangan lalu. Sebelum aku benar-benar melupakannya untuk selamanya.
"Raisa… Ternyata kamu di sini?" suara yang begitu familiar di telingaku. Ya, aku tahu. dia pasti kakakku. Aku perlahan menghapus air mata yang mulai membasahi ke dua pipi dengan punggung tanganku.
Aku menoleh, melayangkan sebuah senyuman tipis. "Kak, apa kita akan berangkat sekarang?" tanyaku ragu. Aku masih sangat berat harus meninggalkan kota kenangan itu. Ke dua kakiku seketika terdiam kaku. Jika melangkah lebih jauh. Rasanya ada sesuatu yang tertinggal dari sebagian hidupku.
Dion kakakku, dia memegang ke dua bahuku. Dengan badan sedikit tertunduk. "Raisa. Kamu tahu, aku dan Arga adalah teman. Meski dia telah melukai hatimu. Tapi, aku ingin melihat dia menikah sekali saja."
"Tapi, kak!"
"Raisa… Aku tahu, kamu pasti sangat sakit melihat kenyataan. Tapi, aku yakin. Di balik sakit hati yang kamu rasakan saat ini. Ada kehidupan indah yang akan menunggu kamu nantinya." Aku mulai masuk ke dalam delapan hangat tubuh kakakku. Menyembunyikan wajahku di dadanya. Melupakan air mata yang terus keluar dari mata indahku
Aku hanya bisa menghela napas. Aku benar-benar terpuruk. Kepalaku saja bahkan tak sanggup menggelengkan. Hanya untuk bilang kata penolakan pada kakaknya.
Iya, aku tahu. Mereka berteman. Tapi, apa dia juga sadar gimana rasanya sakit hati yang aku alami.
Kak Dion tidak pernah berhenti selalu memberikku semangat. Dia selalu ada untukku. Menghapus air mataku, memberikan kehangatan kasih sayang sebagai kakak. Dia mengusap kepalaku. Memberiku kehangatan sentuhan seorang orang tua. Hanya dia yang aku miliki sekarang. Setelah orang tuaku meninggal 10 tahun lalu karena kecelakaan mobil.
Kak Dion menatap kedua mata dan wajah menyedihkan milikku. Di cengkeraman sangat erat ke dua bahuku. Tapi, aku hanya bisa tertunduk takut. Aku remas pinggiran gaun putih yang aku pakai. Ke pejamkan mataku sangat erat. Menutup semua kenyataan.
Dion memeluk erat tubuhku lagi. Mengusap punggung dan kepalaku.
"Jangan pernah sedikitpun mengeluarkan air matamu. Kakak yakin! Jika kamu pasti bisa tersenyum." ucap Dion, melepaskan pelukannya. Dan menuntun tangannku masuk ke dalam mobil. Meski sama sekali aku belum memberikan jawaban padanya. Gimanapun benar apa yang di katakan kakakku. Jika aku harus kuat menghadapi kenyataan.
Aku menghela napas kasar. Dan mencoba menangkan hatiku yang masih terasa sangat gugup.
Sampai di tempat pernikahan Arga. Di sebuah taman yang sangat luas. Di hiasi begitu banyak bunga. Dengan nuansa putih. Begitu banyak tamu yang datang mengucapkan selamat padanya. Dan termasuk wanita tua yang pernah sayang padaku seperti ajaknya sendiri. Aku menghela napas keluar dari sela-sela bibir.
Kak Dion menepuk pundakku. Dia tahu jika aku sangat takut. Aku gugup, aku takut tidak bisa terima kenyataan nantinya.
"Aku yakin kamu bisa." tegas kak Dion padaku. Aku hanya tersenyum tipis. Perlahan mulai melangkahkan kaki putihku keluar dari mobil. Ke dua mataku tertuju pada sepasang pengantin yang sedang tertawa bersama.
Aku mencoba menguatkan hatiku. Aku yakin, aku bisa. Aku bisa melewati semuanya. Aku bisa tersenyum di depannya. Aku tidak mau kalah dengan perasaanku ini. Dan terus tergelam dalam kesedihan.
Aku menoleh, melihat kaca mobil. Ya, lihatlah, wajah menyedihkan ini. Wajah yang di mana tidak bisa selaku tegar di saat patah hati. Bahkan bibir ini tak mampu untuk berbicara tidak pada kakak.
Iya, aku tahu. Jika aku harus tegar di depan mantan kekasihku. Aku bisa tegar di depannya. Menyambut kebahagiaan mereka dengan senyum terpaksa dariku.
Dalam satu tarikan napas. Aku mulai menguatkan hatiku. Dan mulai melangkahkankan kakiku berjalan di antara para tamu. Dion menggenggam tanganku. Dia mencoba menguatkan aku. Semua tamu tertuju padaku. Semua mata melihatku, termasuk mantan calon mertuaku. Dia dulu begitu sayang padaku.
"Raisa, kamu di sini?" tanya tante Laura.
Aku menoleh, melayangkan sebuah senyuman palsu padanya. "Iya, tante." sapaku dengan nada lembut.
Arga menatap ke arahku. Dia terlihat begitu kagum melihat kecantikan naturalku. Dengan gaun putih, panjang selutut. Dan bibi pink senada dengan make up tipisku.
"Kamu cantik!" ucapan laki-laki itu seketika menggetarkan hatiku. Tetapi, aku harus sadar. Aku siapa? Ingat, aku bukan siapa-siapa lagi. Hanya masa lalu yang tersakiti.
"Makasih!" Aku menatap wajah istrinya. Dia terlihat begitu polos. Entah, itu wajah asli atau hanya topengnya menutupi kebusukannya.
Aku menghela napas tipis. Melayangkan sebuah senyuman manisku. Sembari menatap istri tercinta Arga saat ini. Aku mencoba memasang wajah bahagia atas pernikahan mereka.
"Kamu juga sangat cantik dengan gaun putih ini. Terlihat elegan."
"Makasih!" jawabnya. Suaranya begitu lembut.
Aku mencoba mengulurkan tanganku. Memberi jabat tangan pada sang istri Arga. Lalu memeluk tubuhnya sejenak. Dan tak luap dnegan Arga. meski tanganku merasa ragu. Dan akhirnya tanganku mulai bersentuhan lagi dengannya. Arga mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan padaku.
"Aku masih mencintaimu Raisa. Sampai kapanpun, aku tetap mencintai kamu. Aku tidak akan pernah bisa melupakan kamu."
Deg!
Aku tertegun seketika. Jantungku berdetak begitu cepat. Apa yang di katakan dia tadi? Cinta?
Dia jatuh cinta padaku? Dia masih mencintaiku? Gak mungkin.. Iya.. Itu semua tidak mungkin. Jika dia cinta padaku. Harusnya dia tetap memperjuangkan aku. Tetapi, kenapa.. Kenapa dia memilih menikahi wanita lain. Hanya karena ucapan kakakku.
Aku sedikit mengangkat kepala. Mengedipkan matanya. Menahan air mata yang terbendung di kantong mataku. Aku sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata di depan mereka.
"Maaf, tangan kamu." ucapku lirih. Menarik tanganku dari genggaman tangan Arga.
"Sayang… Maafkan tante. Tante sangat mencintai kamu. Tapi, maaf! Mungkin ini pi lihat anak tante." Tante Laura memeluk tubuhku sangat erat. Aku mengangkat tanganku, rasanya ingin sekali memeluk. Tapi aku ragu. Jika aku merasa nyaman lagi dengan mamanya. Sama saja aku tidak bisa lagi mencoba hidup tanpanya.
"Raisa.. Tante ingin kamu selaku anggap tante sebagai mama kamu. Karena tante juga sudah anggap kamu sebagai anak tante. Jadi seringlah main ke rumah tante, ya. Nanti kalau ada apa-apa, kabari tante juga. Jangan sungkan-sungkan." Mama Laura mengusap rambutku. Sentuhan lembutnya mengingatkanku dengan ibuku. Aku hanya bisa tersenyum di depannya.
"Tante, sepertinya aku langsung pulang."
"Kenapa kamu buru, buru. Kamu gak ingin menunggu sampai Arga pergi."
Aku tersenyum tipis. "Tidak, tante. Aku akan pergi juga." ucapku mencoba mengelak. Meski sebenarnya dia akan pergi 1 jam lagi.
"Iya, tante. Beberapa menit lagi pesawat kita akan lepas landas. Jadi kita harus buru-buru." saut kakakku. Ia mendekap tubuhku dari belakang. Mencengkeram erat bahuku.
"Kalian mau kemana?" tanya mama Laura bingung.
"Raisa akan ikut denganku tante." jawab Dion.
"Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di jalan. Dan jangan lupa jaga kesehatan kalian." mama Laura begitu perhatian denganku dan kakakku. Dia memang benar-benar ibu pengganti sementara untukku.
"Iya, tante."
"Dan kamu, Raisa. Kamu juga jaga kesehatan. Aku yakin kamu baik-baik saja, kan. Dan jangan lupa. Kamu juga harus sering menghubungi tante." Mama Laura begitu cerewet. Bahkan cerewetnya melebihi ibunya sendiri dulu.
"Iya tante juga. Jaga kesehatan." ucapku. Sesekali aku mencoba melirik ke arah Arga. Dan begitu terkejutnya aku melihat dua pasang bola mata hitam itu menatap tajam ke arahku.
Aku tahu tatapan apa itu? Tatapan matanya ingin sekali mencegahnya pergi. Tapi aku tidak bodoh lagi. Dan bukan anak kecil lagi.
"Tante, aku pamit dulu." ucapku. Perlahan aku mulai melangkahkan kakiku pergi menjauh dari mereka. Dan Arga tidak hentinya menatapku. Ke dua matanya seakan sangat enggan berpaling dariku.
Merasa sudah jauh dari para tamu dan Arga. Raisa tak kuat lagi menahan air matanya. Entah sejak kapan air kata itu sudah membasahi ke dua pipinya. Sedangkan Dion dia terus berbincara di sampingnya. Tetapi, Aku tidak begitu fokus mendengarnya. Pikiranku masih tertuju pada Arga.
Hatiku terasa tersayat sayat melihat kemesraan mereka. Tanpa aku sadari Dion kakakku sudah membukakan pintu untukku. Sebelum aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam mobil. Aku mencoba menoleh, melihat Arga untuk terakhir kalinya. Dan begitu bodohnya Arga. Dia memberikan aku sebuah kiss jauh. Rasa sedih itu seketika berubah jadi senyuman di atas luka.
"Bodoh!" ucapku lirih.
"Raisa. Sudah, ayo kita pergi." saura kakakku, membuatku membuyarkan lamunanku. Dalam satu tarikan napas. Aku mulai melangkahkan kakiku amsuk ke dalam mobil. Perlahan mobil itu mulai berjalan menjauh meninggalkan pesta pernikahan itu.
Aku menyandarkan punggungnya. Memejamkan mataku rapat-rapat. Aku tam mau terus menangis seperti anak kecil.