3. Pekerjaan Sampingan

919 Words
"Bangun ... bangun!" Tidur Liona merasa terganggu karena mendengar teriakan dan gedoran pintu di luar. Dengan wajah kusut dan malas-malasan, dia membuka pintu. Padahal dia masih ingin melanjutkan tidurnya. "Mana uangnya ?!" Liona langsung tersadar saat mendengar suara yang tak asing lagi bagi telinganya. "Maaf Bu, saya belum punya uang." "Kamu sudah tidak bayar selama 4 bulan. Mau kapan kamu bayar kontrakan ini?!" tanya Bu Ina jengkel. "Kasih saya waktu lagi, Bu. Saya mohon," pinta Liona. "Bu, Bu, Bu, kamu kira saya Ibu kamu apa?!" Bu Ina melotot tajam. "Ya sudah, saya kasih kamu waktu dua minggu. Kalau kamu tidak bisa bayar, kamu harus angkat kaki dari sini!" Bu Ina berlalu sambil menggerutu. "Syukur, deh. Tapi kalau aku enggak bisa ngumpulin uang dalam waktu dua minggu--" Liona menghentikan monolognya, "Ahh, pokoknya aku harus bisa. Aku yakin itu." Dia berpikir keras, bingung harus mencari uang di mana. Pekerjaan yang selama ini dia tekuni hanya menghasilkan sedikit uang dan itu kurang jika harus digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar kontrakan. Dia harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pendapat. "Hah." Liona menghela napas kasar. "Aku harus gimana?" dia frustasi dengan keadaannya saat ini. Liona berandai-andai jika orangtuanya ada, mungkin dirinya tidak akan bernasib seperti ini. Melihat orangtuanya saja tidak pernah, apalagi merasakan pelukan dan kasih sayang dari mereka. Dia hidup di tengah-tengah keluarga panti yang menyayanginya setulus hati. Meskipun, dirinya tidak jelas asal usulnya. Kadang-kadang Liona bertanya-tanya siapa orangtua kandungnya dan kenapa mereka meninggalkan dia di panti asuhan. Liona memilih hidup mandiri dan keluar dari panti saat dia diterima di sekolah elite. Awalnya Bunda menolak dengan tegas permintaan Liona, tetapi dia terus bersikeras hingga akhirnya wanita yang sering dipanggil bunda itu merelakan Liona dengan syarat dirinya harus selalu memberi kabar. Dia berpikir kenapa orangtuanya tega melakukan itu semua padanya? Atau mungkin ada suatu hal yang mengharuskan mereka melakukan itu? Akan tetapi apa? Liona kembali tersadar dari lamunannya, dia segera bersiap masuk kamar mandi dan merias diri. Dengan berjalan kaki dan tekad yang bulat dia mencoba untuk mencari pekerjaan sampingan. Dia memilih berjalan kaki karena itu dapat menghemat biaya. Dia juga berencana untuk mengurangi bahan makanan dan keperluan sehari-hari. Kaki kecil itu terus menyusuri sudut-sudut kota demi mendapatkan pekerjaan sampingan. Dia sempat putus asa, tidak tahu kemana langkah kaki akan membawanya. Hingga sampailah dia di sebuah toko bunga tidak terlalu besar, tetapi terlihat cantik dan nyaman dengan penataan tempat yang membuat orang ingin berhenti dan masuk kedalamnya. "Semoga bisa." Liona mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. Tangannya membuka pintu toko, pertama kali masuk dia disambut dengan harum wangi bunga dan kenyamanan yang ada di dalamnya. Liona melangkahkan kaki perlahan-lahan memasuki toko lebih dalam lagi. "Sedang cari apa?" Seketika Liona kaget dengan adanya suara yang tiba-tiba datang dari arah belakangnya. "Oh, ngagetin, ya?" tanya wanita itu dengan senyum tersungging di bibir tipisnya. "Eng-enggak," jawab Liona terbata. "Haha, jangan taku. Apa mukaku nyeremin?" wanita itu mengedipkan mata menatap pada Liona. "Oh, ayolah lupakan itu. Jadi apa yang membuatmu datang ke sini?" Wanita itu mengajak Liona untuk duduk disalah satu sofa yang ada di sudut ruangan. "Saya ingin melamar pekerjaan di sini. Apa boleh saya bekerja di sini?" Liona bertanya dengan harap cemas pada wanita yang duduk di sampingnya itu. Wanita itu melihat dan menilai Liona dari atas hingga bawah, "Apa kamu masih sekolah?" Liona menganggukkan kepala. "Terus kenapa mencari pekerjaan? Bukannya anak zaman sekarang itu selalu tercukupi semua kebutuhannya? Bahkan mereka selalu berfoya-foya dengan uang orangtuanya," katanya diakhiri dengan senyum sinis dan tatapan tajam yang diarahkan ke Liona. Liona hanya diam dan menundukkan kepala tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa diam?" "Saya tidak punya orangtua," jawab Liona sedih. "Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu." Wanita itu terlihat menyesal setelah melontarkan kata-kata sedikit kasar tadi. "Enggak apa-apa kok." Liona menutupi kesedihannya dengan berusaha untuk tersenyum. "Oke, kalau gitu aku menerima kamu bekerja di sini. Dan, kamu boleh bekerja di sini waktu hari Sabtu dan Minggu. Bukannya hari itu kamu libur sekolah?" "Ah, iya. Terima kasih banyak." Senyum Liona merekah mendengar ucapan itu. "Namaku Lydia, kamu bisa panggil aku Ibu Ly." Liona menatap Lydia dengan wajah bingung. Kenapa dia harus memanggilnya Ibu? "Ah, nggak usah bingung, aku hanya suka panggil itu." Lydia tersenyum dengan Liona. "Oke, Ibu." Lydia kembali mengerjakan pekerjaan sebelumnya yang sempat datang karena kedatangan Liona. Sedangkan Liona, dia terus menatap wanita itu dengan tatapan kagum. Lydia masih cantik meski sudah dimakan usia. Kerutan-kerutan halus di wajahnya malah menambah kesana wibawa pada dirinya. Liona memperkirakan usianya sekitar empat puluhan tahun. Dia masih tersenyum menatap Lydia hingga tak sadar jika Lydia juga balik menatapnya. "Kenapa lihatin kayak gitu? " "Ah, enggak kok." "Haha, kamu sangat cantik, emm--" "Liona, panggil saya Liona." Sesaat Lydia terdiam karena terkejut mendengar Liona menyebutkan namanya. "Ah, ya nama yang bagus seperti orangnya," puji Lydia. Liona tersipu malu mendengar ucapan itu yang berisi layanan. " So, Ibu masih penasaran kenapa kamu mau bekerja padahal masih sekolah. Jadi besok kamu bisa mulai kerja dan harus datang agak pagi sebagi awalan." Lydia mengedipkan mata pada Liona Liona menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya. Dia berjabat tangan dan keluar toko dengan senyum yang masih tercetak di wajahnya. Jika dilihat dari dekat, Liona memang cantik malah sangat cantik jika dia mau sedikit berdandan dan merapikan penampilannya. Akan tetapi, dia tidak akan pernah melakukannya karena berdandan akan membuat waktunya terbuang sia-sia. Dia berjalan menuju kontrakannya dengan perasaan gembira. Jaraknya cukup jauh, tetapi dia tidak mau mengeluarkan biaya hanya untuk naik bus. Baginya berjalan kaki lebih sehat dan hemat. Itu hanya anggapannya saja. Mungkin tidak dengan orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD