6. Kocok yang benar.

1131 Words
"Kocok yang benar, Naura!! gunakan pergelangan tanganmu!" "Hmmm... iya benar, seperti itu." "Sedikit lebih cepat lagi. Pengang dengan sedikit kuat Naura!" Ravin perlahan menyentuh pergelangan tangan Naura, memandu tangannya untuk bergerak sesuai ritme yang tepat, menyesuaikan dengan keinginannya. Sementara itu, meski sudah di pandu oleh Ravin. Naura tampaknya masih kesulitan dengan apa yang ia lakukan. Maklum, ini adalah kali pertama baginya melakukan hal seperti ini. Naura cukup merasakan gugup dan itu membuat tangannya terasa kaku. Apa lagi Naura memang tidak menyangka jika rencananya untuk membuat bolu gulung justru malah berakhir seperti saat ini. "Ah.. jangan terlalu cepat. Pelankan sedikit gerakan tanganmu!" "Benar seperti itu, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu pelan. Atur kecepatannya jika tidak, nanti dia ..., uuuuch... sebentar, Naura." Sepertinya Naura yang sudah mulai bisa terbiasa dengan apa yang ia lakukan sehingga ia tidak terlalu mendengar apa perintah Ravin yang lainnya "Naura!!!!" Teriakan pun terdengar tak lama setelah Ravin meminta Naura untuk berhenti sejenak. Naura yang juga kaget mendengar jeritan Ravin itu, tersentak dengan cairan kental putih yang kini ada di wajahnya. "Tuh, kan, apa yang aku bilang! Baru saja aku katakan hati-hati kan." "Malah jadi muncrat kemana-mana, deh." Seketika Ravin menjulurkan tangannya ke arah bibir Naura. Mengusap cairan kental itu dari bibir Naura degan ibu jarinya. "Kamu sih, tidak mendengarkan arahan dariku dengan baik." Omelan Ravin memang terdengar menyebalkan, ia berteriak tepat di hadapan Naura. Tapi, di saat Ravin menunjukkan perhatiannya dengan membersihkan segala cairan kental putih itu dari wajah Naura, hati Naura kembali berdebar. Tampaknya Naura memang sudah tidak tertolong lagi. Ia benar-benar sudah tenggelam dalam perasannya untuk Ravin. Jangankan untuk merasa gugup atas segela omelan itu. Setiap perkataan Ravin hanya semakin membuat Naura terpesona dan menatap wajah tampan itu dengan lekat tak terkecuali saat situasi canggung seperti ini. Walau sebelumnya mereka juga pernah nyaris tenggelam dalam hasrat di kala hujan turun beberapa waktu yang lalu. Sekarang Naura justru kembali terkesima dengan perhatian kecil yang Ravin lakukan. "Nauraaaaa!!!" Akan tetapi, bak sebuah mantra yang menjadi kunci sebuah keberhasilan. Nama Naura memang kerap di panggil dengan penuh energi dan teriakan oleh Ravin. Menegaskan jika nama itu bak kode yang sedang menandakan sesuatu. Alarm berbahaya yang harus kembali Naura hadapi setelah mendengar jeritan tersebut. "Kenapa?" "Aku salah apa lagi?" Kedua bola mata Naura benar-benar sudah berkaca-kaca, menahan tangis setelah Ravin terus menerus memberikan teriakan tersebut di telinga Naura. Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak membuat Ravin berhenti untuk berteriak padanya. Justru, Ravin semakin geram akan tingkah Naura yang rasanya tidak ada yang benar sedari tadi. "Harus berapa kali aku bilang sih, pelan-pelan cantik, dan tolong yang di perhatikan itu adonan, bukan wajahku!" "Huuuft, sini biar aku saja yang mengocok whipped cream-nya." Kasar, Ravin menarik mangkuk besar bersisi adonan whipped cream yang hendak Naura buat dengan manual itu. Ia mengambil alat pengaduk adonan yang disebut balloon whisk dari tangan Naura dan mengaduknya sendiri dengan tangannya. "Lihat, seharusnya kamu mengocoknya seperti ini. Gunakan pergelangan tanganmu, bukan lenganmu." Masih dengan adonan yang ada dalam pelukannya, Ravin memberikan contoh secara langsung pada Naura. Mengajarkannya cara yang benar agar Naura tidak lagi melakukan dengan cara yang salah. "Kamu harus melakukannya seperti ini Naura, jika tidak nanti tanganmu akan terasa pegal dan nyeri otot." Sambil mempraktikkan apa yang seharusnya Naura lakukan, Ravin berapi-api mengajari Naura. Tapi, sungguh sayang. Apa yang Naura perhatikan lagi-lagi hanyalah wajah tampan Ravin. Naura cukup terkejut dengan hal tersebut, tapi terbilang itu karena Ravin kesal atau tidak. Naura justru senang saat Ravin yang geram itu memanggilnya cantik karena tidak becus melakukan sesuai dengan instruksi yang Ravin berikan. "Naura, kemana arah matamu itu?" Tampaknya Ravin sudah sangat kesal karenar Naura sama sekali tidak memerhatikan arahannya, ia mendekatkan wajahnya pada Naura, hingga kini kedua wajah itu hanya memiliki jarak satu senti saja. Jarak yang benar-benar dekat dengan bibir yang nyaris saja saling bersentuhan. "Uch..." Naura kaget dengan wajah Ravin yang tiba-tiba saja mendekat ke wajahnya. Wajah tampan yang sedari tadi ia perhatikan itu kini tepat berada di depannya dan berkat hal itu juga matanya terus semakin melebar dengan kepanikan yang sedikit terlihat di wajahnya. Sejujurnya, ekspresi itu lah yang bisa Ravin bayangkan jika memang ada wanita yang mencintainya. Baginya, rasanya tidak mungkin ada perasaan yang tumbuh tapi masih saja memiliki ekspresi santai. "Baru ini dia terlihat gugup. Harusnya jika memang mencintai aku. Ekspresi seperti ini lah yang benar!" Pikiran itu kini sedikit tercapai saat ia melihat wajah panik Naura yang kini tertunduk malu. Ravin yang melihat wajah gugup Naura saat menatapnya dan sedikit menunjukkan bahwa Naura benar memiliki perasaan untuknya. Selama ini Naura selalu bertindak berani, ia tak terlihat gugup sedikitpun membuat Ravin penasaran akan perasaan Naura yang sebenarnya pada dirinya. "Nah, seperti itu. Wajah itu yang ingin aku lihat." Bola mata yang berkedip cepat, napas yang menderu kencang dan juga wajah merah merona yang hanya terpaku saat menatap wajah Ravin. Hal itu, semakin membuat Ravin mendekatkan wajahnya lagi demi bisa melihat wajah Naura yang tersipu itu. "Adonan, perhatikan adonannya. Adonan!" Sama seperti sebelumnya, Ravin memperlihatkan wajah yang penuh tatapan dingin pada Naura. Walau di dalam hati, Ravin sedikit tersenyum saat ia mendapati tatapan gugup pertama yang bisa ia lihat dari Naura. Sebenarnya, Ravin sendiri nyaris melupakan bahwa mereka sedang belajar membuat kue bolu. Tapi, rasa gengsi yang Ravin miliki membuatnya tidak mudah mengakui perasaan Naura begitu saja. "Lihat ular milikku saja dia tidak gugup. Aku tidak boleh goyah hanya karena dia yang tersipu malu saat aku mendekatkan wajahku!" Begitulah pikir Ravin yang membuatnya semakin tidak mudah untuk bisa ditaklukkan oleh Naura. Sesuatu yang membuat Naura tampaknya harus bisa berusaha lebih keras lagi. Tentu saja menghadapi Ravin yang juga terkadang sengaja menguji perasaan yang Naura miliki untuk dirinya. "Bukannya kamu yang minta belajar denganku? jadi kenapa kamu tidak belajar dengan baik dan malah terus melihat wajahku?" pertanyaan itu sengaja Ravin layangkan saat ia sama sekali tidak mendapati reaksi lebih dari Naura. Selain hanya mematung dengan wajah yang bersemu merah. Naura sama sekali tidak menjawab apapun yang Ravin tanyakan. Pertanyaan yang bertubi-tubi itu seakan berakhir bagai sebuah angin lalu bagi Naura yang membisu. Ravin sedikit memiringkan kepalanya, menelisik perasaan Naura yang mungkin saja bisa ia terka dan Ravin pun menatap lekat ke arah Naura, semakin dekat dengan hidung yang bahkan sudah menempel di hidung Naura. Jantung Naura semakin berdebar, otaknya sudah berisi adegan plus, minus, bagi, dan tambah bahkan perkalian. Mungkin juga sudah terisi penuh dengan adegan ular masuk gua. Tapi, semua itu adalah hasrat dalam khayalan Naura yang membuatnya nyaris tak bisa mendengar apapun lagi dari Ravin dan hanya terfokus pada gerak bibir Ravin yang sangat ingin dia raih. Naura menutup matanya, tangannya gemetar sambil menarik kemeja Ravin, dan Naura memajukan bibirnya. Hidung Ravin sudah bersentuhan dengan hidung Naura itu kini semakin menempel. Sampai tibalah bibir Naura yang mendarat pada bibir bagian atas Ravin, lembut dan ringan juga terasa sedikit kenyal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD