Chapter 3 - Pinangan Oma

1364 Words
Abas sudah menawarkan kamar kos yang layak untuk tempat tinggal Iwa, tapi Iwa tidak menerimanya. Iwa harus tetap bertahan di kamar kos murahnya ini, karena ia tidak ingin berhutang budi apapun dengan orang. Berhutang budi sama besarnya seperti hutang yang ia akan memiliki beban untuk melunasinya segera, kalau tidak apabila hubungannya denga orang tersebut rusak, hutang Budi itu akan menjadi duri yang membusuk dalam daging. “Nanti, aku akan mentraktirmu!” Ucap Iwa sambil menyuapi mulutnya hingga tidak bisa lagi potongan tempe mendoan hangat itu masuk ke mulutnya. Melihat Iwa memakan nasi uduknya dengan sangat lahap membuat Abas ikut kenyang, ia tahu sekali, Iwa sangat kelaparan. Terlihat dari cekungan yang semakin dalam pada tulang selangka yang tampak di balik kaos usang yang ia kenakan. “Kamu harus bekerja lebih giat, karena aku akan menagih janjimu,” timpal Abas, membuat Iwa mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol tangan kirinya, makanan yang memenuhi mulutnya membuat Iwa tak lagi sanggup menjawab pernyataan Abas. Abas tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. “Apa alasanmu menolak penasaranku tadi?” tanya Abas ketika melihat Iwa sudah mulai menyuapkan suapan terakhir ke mulutnya, Iwa masih sibuk mengunyah, lalu menyeruput es jeruk agas nasi uduk yang dikunyah bisa lekas masuk ke pencernaannya. Abas menggeser gelas berisi minumannya ke arah Iwa, karena Iwa terlihat kesulitan menelan makanan, gelas berisi es jeruk miliknya sudah tinggal es batu saja. “Bukan begitu,” Iwa kembali menyeruput gelas milik Abas, “aku hanya tidak ingin merepotkanmu.” Jawab Iwa berbohong, Iwa bersendawa, diiringi ucapan syukur karena siang ini perutnya terselamatkan dengan sangat baik. “Klise,” jawab Abas curiga, “Apanya? Memang kenyataannya begitu.” Jawab Iwa cuek, kali ini Iwa mengusap mulutnya dengan lap yang terselip di bawah kobokan*. “Aku tidak mungkin menawarkannya untukmu, bila itu akan membuatku kesulitan.” Jawab Abas belum mau kalah, “Bas, kamu masih delapan belas tahun, baru saja lulus SMA.” “Lalu?” suara Abas meninggi, “Kamu pikir, pekerjaan paruh waktu di mini market, cukup untuk membantuku pindah kos? Dengan aku pindah, aku harus menyiapkan uang untuk angsuran pertama kamar kos itu.” Iwa mulai serius, Abas harus disadarkan, bahwa tawarannya penuh dengan konsekuensi. “Aku bisa menawarkan satu bulan pertama uang kosmu,” Abas terdengar meninggi, Iwa tersenyum memicingkan bibirnya, “Lalu, kamu kira aku hanya satu bulan di sana? Aku mencari tempat tinggal yang kira-kira aku sanggup membayarnya. Kalau di kos yang kamu tawarkan, apa aku harus makan dua hari sekali?” Iwa berkata tegas, Abas teridam, “kalau kamu bilang akan membayarkan kosku setiap bulan, itu sudah ngaco!” Abas masih diam. Abas memang sahabat yang baik, tapi Iwa tidak bisa melulu menerima perlakuan istimewa nya terhadap Iwa. Iwa merapihkan rambut pendeknya yang terlihat tidak karuan pada pantulan cermin yang menghiasi warung makan itu. “Kamu bukannya sedang kuliah?” tanya Iwa. Abas mengangguk, “Jurusan hukum.” Abas memberitahu sebelum Iwa bertanya. Iwa mengerutkan alisnya, “kalau gak salah ayahmu melarang kamu di jurusan itu?” tanya Iwa penasaran, Abas mengangguk, “tapi aku setuju, aku sudah mempertanggung jawabkan piliahnku.” Iwa mengangguk mengerti. Sedari masuk SMA, ayah Abas memang tidak menyetujui anaknya dimasukkan ke sekolah umum, ayah Abas berharap Abas bisa sekolah di pondok pesantren, dan menjadi hafidz Al Qur’an. Tapi, Abas mengambil langkah yang sama seperti yang Iwa ambil. Apapun itu, pada akhirnya pengambil keputusanlah yang harus bertanggung jawab atas semua. Abas menatap wajah kusam sahabatnya itu, kalau saja ia memiliki banyak uang, Iwa pasti akan ia jamin sepenuhnya. Tapi kuasa tetap masih di tangan orangtua Abas. Apalagi, Abas dan ayahnya tidak sejalan dalam hal menentukan langkah, Abas tidak bisa bertindak gegabah, kalau tidak ayahnya akan semakin menyepelekan pilihannya. *** Oma Aning menyelipkan tasnya di antara lipatan siku lengan kirinya, sementara tangan kanannya memegang tongkat rotan andalan yang diberikan Mahesa. Oma Aning sempat perotes, karena tongkat stainlis yang dibelikan Mahesa di Singapore terlalu ringan, ia tidak menyukainya. Seperti tidak memakai tongkat, katanya. Mahesa akhirnya membelikan oma Aning kembali sebuah tongkat, kali ini sedikit lebih berat, namun tidak terlalu. Tongkat yang terbuat dari rotan, dengan ujung tongkat di lapisi karet agar tidak licin saat berjalan di atas lantai, sementara di ujung gagangnya bengkok menyesuaikan bentuk telapak tangan oma Aning. Cucu tunggalnya itu adalah andalan oma Aning, putranya, ayah Mahesa meninggal, oma Aning menaruh harapan penuh kepada Mahesa saat ini. Suasana pasar tradisional pagi ini tidak terlalu baik, hujan semalam membuat tanah basah menutupi lantai abu-abu di pasar yang selalu ramai setiap pagi itu. Oma Aning sudah bangun sejak subuh, selesai solat subuh, wanita berambut putih yang kepalanya selalu di tutupi selendang, dengan penjepit sebagai penguatnya itu selalu meminta Syahrul, supir andalan semenjak suaminya masih hidup dulu mengantarkannya ke pasar. Ia hanya tinggal dengan dua orang lainnya di rumah. Oma Aning, Mahesa, dan Syafa, cucu menantu oma Aning. Syafa terlalu sibuk dengan urusannya di kantor, sehingga ia tidak sempat memasak. Syafa memang sudah mengingatkan asisten rumah tangga di rumah untuk memasak, tapi tadi malam asisten rumah tangga yang baru bekerja dua bulan di rumahnya itu meminta izin berhenti. Jadilah oma Aning harus kembali turun tangan memasak sendiri. Mata oma Aning menangkap setumpuk cabai merah segar, ia melangkahkan kaki mendekat agar bisa menyentuh cabai merah itu, tapi kakinya menginjak lantai basah yang di penuhi lumpur. Tubuh oma Aning limbung, karena sendalnya meluncur ke depan karena licin, “Au!” pekik oma Aning, tubuh oma nyaris terbanting ke belakang, tapi sebuah tangan sigap menangkap tubuh rentanya. “Nek, Nenek tidak apa-apa?” Iwa memeluk tubuh gempal oma Aning, ia membantu oma Aning kembali ke posisi berdiri seperti semula. “Hah? Aduh, hampir saja..” oma Aning mengelus dadanya, tubuhnya masih bergetar lantaran terkejut atas kejadian yang baru saja nyaris membuat tubuhnya terhempas. Ia tidak bisa membayangkan kalau itu sempat terjadi, “kamu tidak apa-apa, Ci?” tanya oma Aning menatap Iwa. Iwa tersenyum, seraya mengangguk, “aku tidak apa-apa, Nek.” Jawab Iwa. “Kalau begitu, saya permisi.” Pamit Iwa. “Tunggu dulu,” Oma Aning mencegah Iwa pergi, Iwa menghentikan langkahnya dan kembali menatap oma Aning, “kamu sedang apa di sini?” tanya oma, Iwa mengerutkan alisnya, “maksudku, kamu sedang berbelanja, jualan, atau..” “Ooh, itu. Aku sedang bekerja, Nek.” Jawab Iwa, “Kalau boleh tau, bekerja apa?” oma Aning kembali bertanya, “Kerja apa saja, yang penting halal. Kalau ada yang mau bantu angkat barang belanjaan, bisa. Kalau ada yang butuh untuk menunggu lapak dagangan karena ingin pergi sebentar, juga bisa. Apa saja, Nek.” Iwa tersenyum. “Siapa namamu?” “Raiswara, tapi biasa di panggil Iwa.” “Hm, begitu.” Oma Aning kini menatap kembali Iwa dari bawah, dua pasang sendal jepit karet berwarna kuning usang dengan bantalan yang sudah menipis karena terlalu sering dipakai berpadu dengan kaki dengan kulit kuning langsat, tapi dipenuhi lumpur, lalu terus naik ke atas, gadis remaja di hadapannya itu mengenakan celana pendek dan baju kaos polos. Rambut gadis itu pendek, ia selipkan di belakang telinga. “Kamu, mau, menjadi asisten rumah tangga di rumah saya?” tanya oma Aning. Pertanyaan oma Aning cukup membuat Iwa terkejut. Iwa yang baru saja mengundurkan diri dari warung makan, menganggap tawaran oma Aning adalah tawaran luar biasa. Iwa membayangkan, ia tidak perlu lagi membayar uang kos apabila bekerja di rumah nenek yang tidak sengaja ia temui di pasar ini. “A-asisten rumah tangga?” Iwa masih tidak percaya, Oma Aning mengangguk, “maafkan saya kalau kamu tersinggung..” oma Aning berkata pelan. Iwa menggeleng, lalu mengangguk cepat, “aku mau, aku mau, Nek!” tanpa pikir panjang, Iwa menerima tawaran oma Aning. Dari yang ia lihat, oma Aning orang baik. Iwa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk ia mendapat kan tempat tinggal layak seperti ini. Oma Aning merogoh kantung tasnya, lalu menyodorkan sebuah kartu nama, “Mahesa Adji Pangestu,” Iwa membaca nama yang tertera di kartu nama itu, “Itu kartu nama cucu saya, di bawahnya ada nomor ponsel dan nomor rumahnya. Hubungi saja nomor rumah ini, kalau kamu sudah siap dijemput.” Jelas oma Aning, Iwa mengangguk mengerti. “Kalau begitu, pagi ini untuk permulaan, kamu temani Oma belanja ya?” Pinta oma Aning, “Baik! Siap, Oma!” Jawab Iwa mantap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD