Bab 6. Tingkah Absurd Bianca

1009 Words
Suasana restoran begitu ramai aroma dari dapur menguap keluar membuat perut pelanggan semakin lapar. Suara musik jazz menggema, asalnya dari sudut restoran. Suara tawa juga terdengar dari meja pojok, restoran itu begitu hidup di tengah terik matahari yang terasa lebih panas. Di meja tengah, Bianca duduk berdua—berhadspan dengan Alin, sahabatnya. Alina Putri Robert, sahabat Bianca sejak duduk di bangku menengah pertama. Alina atau Alin, merupakan mahasiswi kedokteran semester empat. Dia sudah memiliki kekasih sejak dua tahun belakangan ini. Alin menatap sang sahabat dengan heran, Bianca tampak lesu dan tak bersemangat. Rasanya jauh berbeda dengan Bianca yang dia kenal, menyesap teh hangatnya perlahan—pandangan Alin tak pernah lepas dari Bianca. Sementara itu, Bianca masih diam seraya mengaduk makanan yang dia pesan. "Lu kenapa deh?" Alin memandang heran sang sahabat. Bianca mendesah, dia meletakkan sendok garpunya. Wanita itu mencondongkan tubuh, dia menatap serius Alin membuat perempuan berusia 24 tahun itu tak berkedip. "Lu percaya nggak, kalau gue udah having s*x?" bisik Bianca. "Ha?!" seru Alin dengan wajah bingung. "Ngaco lu, Bi! Bohong tuh jangan keterlaluan!" kesal Alin. Bianca berdecak, dia kini semakin mendekatkan tubuhnya. "Gue beneran having s*x sehari sebelum kerja dan lu tau sama siapa?" Dia berbicara dengan nada serius membuat Alin tanpa sadar menggeleng. "Atasan gue sendiri, Lin!" sambung Bianca dengan menggebu-gebu. "Manusia gila!" sembur Alin sembari mendorong jidat Bianca agar wanita itu menjauh. Bibir Bianca mencebik, dia memandang sebal sang sahabat. Sementara Alin melototkan mata sebal mendengar penuturan sang sahabat yang terdengar begitu bangga menyampaikannya. "Lu jangan sampe gue geplak ya, Bi!" omel Alin dengan mata melotot. "Lu kenapa marah? Itu 'kan pencapaian pertama di hidup gue, lu harusnya bangga tau!" Bianca mencebik, dia membuang muka sebal. "Bangga ndasmu botak! Otak lu geser ya, Bi? Makin tua bukannya makin bener malah makin gila, harusnya gue ambil psikologi biar bisa ngobatin lu!" umpat Alin dengan wajah memerah. Bianca mendengus. Dia mengambil kentang goreng dengan gragas, wanita itu mencibir tanpa suara. Sementara Alin kini tengah memijat pangkal hidungnya, kepalanya mendadak pusing karena tingkah Bianca yang di luar nalar. "Udah berapa kali lu having s*x?" tanya Alin dengan serius. "Empat kayaknya deh." Bianca berpikir sejenak, dia mengabaikan tatapan terkejut Alin. "Atasan gue kayaknya candu sama gue deh, ketagihan mulu dia, sampe gue harus ngehindar," sambung Bianca. "Bi—" "Tapi, ya ...," potong Bianca tanpa rasa bersalah. "Gue kayaknya suka deh. Rasanya sakit-sakit nagih gitu," lanjutnya dengan santai. "Bianca Ramons!" sentak Alin tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. "Lu aneh-aneh lagi? Gue kebiri lu, Bi!" Alin menodongkan pisau ke arah Bianca yang membuat wanita itu bergidik ngeri. "Buruan makan! Gue anter lu ke kantor." "Uh, sahabat gue emang terbaik! Tau aja gue nggak mau ngeluarin ongkos buat pesen ojol hehehe ...." Alin memutar malas bola matanya, itu menatap sinis Bianca yang bersikap santai setelah apa yang dilakukan wanita itu. *** Bianca turun dari mobil Alin, dia melambaikan tangan ke arah Alin. Wanita itu melangkah masuk setelah mobil Alin pergi menjauh. Dia melangkah tenang seraya bersenandung kecil, meski demikian jantung wanita itu berdetak kencang, dia tahu akan ada banyak pertanyaan dari rekan satu divisinya. Menarik napas panjang, Bianca masuk dengan senyuman ceria. Dia melambaikan tangan ke arah rekan satu divisinya, lalu duduk di tempatnya. Wanita itu mencoba tenang, meskipun jantungnya berdetak kencang. "Hehehe ... hai everyone!" sapa Bianca gugup. "Ke mana aja, Bi? Kok kemarin nggak masuk?" tanya Ryan dengan kening berkerut. "Urusan kampus, biasalah. Udah izin juga kok," jawab Bianca sekenanya. Ryan mengangguk memahami. "Oh ya, dua hari lalu ngapain kamu lama banget di ruangan si bos?" tanya Rahma dengan nada penasaran. Bianca yang mendengar itu terbatuk, dia meringis pelan. Wanita itu menggaruk kepalanya, dia tengah memikirkan jawaban yang tepat. Namun, sebelum dirinya menjawab, sebuah suara sudah lebih dulu menyela dengan nada sinis. "Paling godain pak Bastian," kata Amel. "Mel," tegur Ryan dengan lembut. Amel memutar malas bola matanya, dia memilih melanjutkan pekerjaan daripada harus menimbrung dan dia yang terpojokkan. Bianca berdeham. "Oh itu, dibantu kasih bimbingan aja, soalnya masih baru dan kuliah, 'kan? Jadi pak Bastian yang turun tangan hehehe ..." Mereka mengangguk mengerti membuat Bianca menghela napas lega. Belum sempat kelegaan itu berlangsung lama, dia dikejutkan dengan kehadiran Bima. Wajah Bianca berubah pucat, wanita itu menundukkan kepala seraya memainkan jemarinya di bawah meja. "Bianca, pak Bastian manggil kamu ke ruangannya," kata Bima seraya memandang Bianca. Bianca mendongak, matanya membulat. "Aduh, tolong bilangin nanti, ya, Pak. Saya mau beresin kerjaan dulu hehe ...," jawab Bianca mencoba menghindar. "Jangan kelamaan," ucap Bima lantas pergi dari sana. Ryan menatap Bianca begitu juga dengan yang lain, sedangkan Bianca tersenyum polos pada mereka—seolah tak mengetahui apa pun. "Rajin bener kamu dipanggil," kata Rahma heran. "Mungkin kangen hehe ...," kelakarnya yang membuat mereka menggelengkan kepala. Bianca menatap komputernya, dia menggeram tertahan. Tangan wanita itu terkepal di bawah meja, dia menahan napas beberapa saat. "Mau apa lagi sih itu orang?! Nggak bisa apa itu orang biarin gue hidup tenang bentar." *** "Kenapa kamu tidak ke ruangan saya?" Bianca terkesiap, wanita itu mengelus d**a naik turun. Dia memandang kesal Bastian, beruntung hanya ada mereka di lorong itu karena seluruh karyawan sudah pulang dan Bianca harus lembur karena dia memilih cuti kemarin. "Mau saya bantu usapin?" tawar Bastian dengan seringaian. Bianca mendelik sebal. "m***m banget itu otak!" sindir wanita itu. Pria itu terkekeh, dia memandang lamat wajah cantik Bianca. Melangkah maju, Bastian tak mengalihkan pandangannya dari Bianca. Sementara itu, Bianca menyadari alarm bahaya, dia memilih mundur setiap kali Bastian melangkah mendekat. "Pak, berhenti! Jangan mendekat." Bianca terus memberi peringatan, tetapi Bastian seakan tuli. "Pak!" jerit Bianca tertahan, wajah wanita itu panik—dia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendapatkan bantuan. "Saya kangen tubuh kamu, memang kamu tidak?" Ungkapan jujur itu membuat Bianca melotot. "Orang gila, orang stress, orang edan, orang-orangan sawah!" umpat Bianca, d**a wanita itu naik turun dengan keras. Dia berlari menjauhi Bastian, mengabaikan teriakan Bastian yang menawarkan tumpangan. Sementara itu, Bastian menatap kepergian Bianca dengan senyum. Dia menjilati bibirnya, sudut bibir pria itu tertarik ke atas membentuk senyuman miring. "Cantik dan manis," ucap Bastian dengan wajah memerah, menahan sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD