Bianca menata sarapan sederhana yang dia buat, hanya satu porsi sayur sup, tahu-tempe, dan sambal terasi. Tak lupa, dia membuat secangkir teh untuk menemani paginya sebelum beraktifitas. Di saat orang lain tergesa-gesa, Bianca tetqp tenang—menikmati sedikit waktu yang dia punya.
Bianca meraih cangkir berwarna perak itu dengan elegan, gerakan wanita itu tenang dan anggun. Dia menyesap teh itu dengan mata terpejam, menikmati aroma teh dan uap yang dihasilkan oleh teh tersebut. Menjauhkan cangkir dari mulutnya, Bianca meletakkan kembali di atas meja.
Suara langkah kaki yang berasal dari depan tak dia hiraukan, Bianca tetap duduk tenang dan menikmati sarapan yang dia buat. Sampai, seorang perempuan dengan pakaian casual masuk ke dapur dan duduk di hadapan Bianca. Tangan perempuan itu dilipat di atas meja, dia menatap malas sosok Bianca yang makan dengan gerakan anggun.
"Bi, ini udah jam berapa?! Ini jam delapan, buru deh lu!" sentak Alin, sedikit emosi.
Bianca mendongak. "Santai kali, mending lu temenin gue sarapan deh."
Jawaban itu membuat Alin mendengus sebal, tetapi tangan perempuan itu bergerak mengambil piring dan menyendokkan nasi. Bianca yang melihat itu tersenyum puas, dia kembali melanjutkan makannya.
Alin makan dengan tenang, gerakannya pelan, tetapi teratur dan tidak lambat. Dia seakan memang tercipta menjadi perempuan elegan itu, sayangnya Alin berteman dengan sosok Bianca—wanita yang selalu ceplas-ceplos dan terkadang sedikit berantakan.
"Kok lu kayak anggun beneran, sih, Lin?" protes Bianca, memberengut kesal.
Alin mengangkat kepala, dia menaikkan sebelah alisnya. "Bawaan lahir," jawab perempuan itu asal.
Bianca mendengus sebal, dia memutar malas bola matanya. "Maksud lu sejak lahir gue udah gragas?"
Pertanyaan sinis itu diangguki Alin tanpa banyak berpikir. Bianca meliriknya sinis, wanita itu mencebik sebal. Bianca meletakkan sendoknya, dia lantas berdiri—membawa piring miliknya ke wastafel. Di tempatnya, Alin menatap Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bi, lu nggak mau tinggal sama gue aja?" tanya Alin hati-hati.
Bianca menoleh ke belakang. "Enggak usah, Lin. Di sini terlalu banyak kenangan bareng orang tua gue dan gue nggak bisa ninggalin itu," jawab Bianca seraya menggeleng.
Alin membuang napas kasar, dia mengangguk tak rela. Perempuan itu menghabiskan makanannya dengan perlahan, sesekali dia akan melirik Bianca yang tengah membersihkan dapur.
"Lin." Bianca memutar tubuhnya, dia menatap Alin. "Lu makan dulu aja, ya. Gue mau siap-siap kerja," kata Bianca yang diangguki Alin.
Bianca melangkah menuju kamarnya yang berada di dekat ruang tamu, dia masuk ke dalam kamar. Bertepatan dengan suara pintu tertutup, Alin menoleh—perempuan itu memandang pintu kamar Bianca dengan sorot yang tak bisa dijelaskan.
"Harusnya lu hidup dengan baik, Bi."
***
Jam menunjukkan pukul 12.00 siang dan sebentar lagi jam makan siang, Bianca tengah sibuk memeriksa beberapa dokumen. Dia masih belum merasa lapar, sedangkan rekan kerjanya sudah pergi ke kantin lebih dulu.
Bianca menyesap kopi hitamnya, dia menguap pelan. Wanita itu kembali fokus pada kerjaannya, dia berulang kali menatap kertas dan layar komputer bergantian. Wanita itu tengah mencocokkan data.
"Gila, ini mata ngantuk banget. Rebahan enak ini," ucap Bianca dengan suara kecil.
Suara derap langkah kaki yang terdengar berisik membuat Bianca melirik pintu masuk. Dia bisa melihat rombongan teman satu divisinya tengah berjalan ke arah ruangan. Bianca langsung melihat jam di pergelangan tangannya, dia meringis pelan—dia belum sempat makan siang.
Samar-samar Bianca mendengar suara berisik yang asalnya dari mereka. Kening wanita itu mengernyit, penasaran dengan hal apa yang mereka bahas.
"Kira-kira itu punya siapa, ya?" Itu suara Alma, Bianca tahu persis suara perempuan itu.
Saat mereka sudah ada di dalam ruangan, Bianca langsung memutar kursinya. Raut wajah ingin tahunya tak bisa dia sembunyikan. Namun, belum sempat dia bicara—Ryan telah lebih dulu meletakkan roti dan lunch box di atas meja kerjanya. Bianca menaikkan sebelah alis sebagai respons.
"Kamu nggak makan siang hari ini, jadi aku inisiatif beliin kamu makanan. Di makan, ya? Nanti sakit," tutur Ryan dengan senyuman.
Bianca tersenyum, lalu mengangguk. "Makasih, Kak."
"Eh, tadi kalian bahas apa?" Bianca menatap mereka satu per satu. "Kayaknya asyik banget," sambung wanita itu.
Rahma berdeham pelan, dia mendekatkan kursinya ke arah Bianca. Sementara itu, Bianca menyeruput kopinya seraya menatap Rahma—menanti apa yang akan disampaikan oleh Rahma.
"Jadi, gini. Tadi pagi, ob bersih-bersih di ruangan pak bos, kamu tau?" Wajah Rahma begitu serius, suaranya pelan—tatapanya mengandung sejuta pertanyaan.
Bianca menggeleng polos, wanita itu masih menyeruput kopinya.
"Ob nemu celana dalam warna hitam ada pita warna senada," bisik Rahma.
Bianca terbatuk, wanita itu menepuk keras dadanya. Matanya berair, wanita itu menarik napas panjang. Wajahnya memerah, dia meringis pelan. Menggaruk leher belakangnya, Bianca tersenyum canggung.
"Maksudnya, pak bos gituan?" tanyanya teramat pelan.
Alma mengangguk. "Dugaan sementara sih gitu, enggak mungkin itu celana dalam anaknya," sahutnya.
Bianca menarik napas panjang, dia menyeruput kopinya dengan cepat. Wanita itu lantas memutar kursi menghadap komputer. Jantung wanita itu berdegup kencang, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang.
"Itu 'kan celana dalam gue, kenapa bisa ketinggalan di sana, sih?"
***
Di ruangan itu, hanya tersisa Bianca. Dia merentangkan tangan seraya melenguh. Menguap, Bianca mengusap wajahnya. Wanita itu mematikan komputer kantor, lantas merapikan barang-barangnya.
Saat semua barangnya sudah rapi, Bianca terdiam—kedua tangan wanita itu bertumpu pada meja. Dia tengah memikirkan cara mengambil kembali dalaman miliknya di ruangan Bastian.
"Kalau ada yang mergokin gimana? Divisi desain 'kan lembur semua malam ini," gumam Bianca.
Menggaruk pipinya, Bianca mengembuskan napas panjang. Bianca melempar tubuhnya ke kursi dengan perlahan, dia menutup wajahnya dengan. Mendengar cerita rekan sedivisinya berhasil membuat Bianca malu sekaligus takut.
"Gimana kalau ketahuan?" batin wanita itu.
Menegakkan tubuh, Bianca mengatur napasnya perlahan. "Oke, positif thinking, tenang, tenang. Harapan adalah doa."
Bianca berdiri, meraih tas dan ponselnya, lantas keluar dari ruangan divisinya. Dia berjalan ke arah lift dan masuk ke dalam. Wanita itu dikejutkan dengan seorang gadis dengan dress biru selutut dan rambut lurus yang digerai, tatapannya datar dan wajahnya yang cukup sinis.
Tak ada percakapan di antara mereka, canggung menyelimuti Bianca. Berulang kali dia melirik gadis itu, Bianca baru sadar tujuan mereka sama, yaitu ke lantai teratas—tempat ruangan Bastian berada.
Meringis pelan, Bianca menundukkan kepala. "Mampus, kalau gue ambil sekarang yang ada ketahuan total!"
Bianca melihat pintu lift terbuka, dia mengurungkan niatnya untuk ke ruangan Bastian. Saat gadis itu keluar, dia langsung bersandar lemas di dinding lift, tangan kiri wanita itu memegang dadanya.
"Jangan-jangan itu pacar pak Bastian?"