Kuliah

2109 Words
Hari pertama kuliah setelah masa Ospek membuat semangat, Diba berada pada fase stabil. Setelah sakit tempo hari, dia diberi kompensasi untuk tidak mengikuti Ospek fakultas di hari ke dua. Beruntung Renal mempunyai intuisi bahwa juniornya itu lebih baik  beristirahat dari pada harus mengikuti agenda ospek. Dia langsung meminta surat keterangan sakit dari dokter klinik saat Diba di periksa. Suasana kampus sangat ramai, apa lagi banyak mahasiswa jurusan Diba yang melihat ke arah papan pengumuman. Di papan tersebut ada lebih ratusan nama terpampang. Dia segera menuju papan pengumuman untuk mencari namanya berada di kelas apa. Namun dia langsung mengurungkan niat karena tidak mau terjebak dalam kerumunan orang. “Foto ui biar mudah dari pada gini.” “Geser, kaki gue keinjak oi.” “Awas, anak  yang punya kampus mau lewat.” “Air panas…Air panas woi.” "Minggir woi, gue cewek!!!" Masih banyak kehebohan di depan papan pengumuman. "Oi Dib," sentak Abel yang baru datang. Diba terkejut. Dia langsung memberikan bogeman angin kepada Abel. “Salam dulu kali, bikin orang kaget aja,” cerocos Diba. Abel nyengir tanpa rasa bersalah. "Sory Sory, Assalamu’alaikum,” ulang Abel. “Wa’alaikumsalam, Lo dari mana?” tanya Diba penasaran. Abel langsung memperlihatkan 2 buah permen milkita dan juga 3 buah bembeng.  Diba menggelengkan kepala. Jika sudah memegang permen milkita maka Abel pasti dari kantin. Diba dengan tidak tahu malunya mengambil permen yang berada pada tangan Abel. Abel memekik hebat sehingga mereka menjadi pusat perhatian. “Suara lo Bel,” geram Diba menahan malu. Abel kembali nyengir, “Lo si asal narik-narik aja. Minta baik-baik apa salahnya.”  Diba menatap tajam, “Lo kelas berapa?” tanya Diba. "Belum liat. Gue takut lihat cowok banyak kayak gitu," lirih Abel sambil menunjuk kerumunan masa. Dia ngeri sendiri melihat hampir semua laki-laki yang bertumpukan di depan papan pengumuman. "Namanya anak teknik," balas Diba dengan benar. Bukan menjadi rahasia umum jika fakultas teknik kebanyakan kaum adam. Abel berusaha melihat-lihat sambil berjinjit dan bahkan beberapa kali melompat agar dia dapat melihat papan pengumuman. Namun apa yang dia lakukan hanya sia-sia. Tidak dapat melihat sama sekali. Hal itu membuat Diba tertawa. "Lo kelas C Bel," ucap Diba memberitahu. "Serius? Lo kok bisa tahu. Bohong kan?" "Ni ada yang ngirim di grup," balas Diba sambil memperlihatkan layar ponsel. Dia memang bergabung pada grup ospek kelompok. "Percuma dong gue lompat-lompat nggak jelas, dari tadi kek!" keluh Abel lesu. Merasa tidak puas, dia langsung melihat sendiri pada ponselnya. "Udah ayo ke kelas, jam 8 kita ada makul dasar pemograman," Diba menarik tangan Abel untuk mencari ruangan 1 di gedung A.   Dasar pemograman? Wah Diba rasanya ingin tertawa. Dia sangat asing dengan 2 kata itu. "Lo tahu nggak?" tanya Abel saat berjalan. "Enggak," potong Diba cuek. "Gue belum selesai ngomong Dib, bikin kesal aja ngobrol sama lo," kesal Abel. "Ya udah nggak usah ngobrol, susah amat," balas Diba kelewat santai. "Dibaaa… gue serius." Abel memukul gemas Diba. "Waktu lo nggak datang Ospek, Kak Aris nyariin. Gue curiga, sebenarnya lo nggak sakit kan? Cuma takut ketemu Kak Aris," sambung Abel sambil memberikan tatapan penuh kecurigaan. "Siapa yang mau sakit Abeeelll. Gue nggak takut, emang salah gue apa?" Abel menggelengkan kepalanya. Dia terlalu bingung dengan sosok Diba. Abel berhenti, dia menahan tangan Diba agar berhenti juga. Dia meletakkan kedua tangannya pada pipi Diba, "Dengarin gue ya Dib baik-baik.”  Abel menghela napas panjang. “Lo itu secara terang-terangan nunjukin kalau nggak suka sama anak BEM Dib, ngeri gue lihatnya,” sambung Abel gemas. Matanya juga melotot. "Udah? malas benget gue bahas itu," balas Diba. Dia melanjutkan jalan yang sempat tertunda. Diba melihat-lihat ruangan untuk mencari kelas. Tidak susah mencari. Mereka menemukan ruangan I yang berada di lantai satu dan langsung masuk ke dalam kelas. Diba dan Abel memilih untuk duduk di kursi belakang. Jika dulu zaman Sekolah orang memilih untuk duduk di kursi paling depan maka saat masa perkulihan orang lebih suka duduk pada barisan belakang. Ruangan dipenuhi oleh laki-laki, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 9:1. Dosen pengajar datang dengan gaya santai dan elegan. Awal perkulihan masih seputar perkenalan dan kontrak perkulihan. Hanya dalam waktu 30 menit perkulihan selesai. Beberapa orang juga membawa Abel dan Diba berkenalan. Contohnya saja mereka sudah dekat dengan perempuan yang bernama Ella. Tidak hanya Ella, ada dari kaum adam juga yaitu Kamil, Zaki, Ridho dan lainnya. Seusai kuliah, sebagai penghuni masih ada yang berada di dalam kelas. Ada juga yang sudah ngancir keluar. Diba malah duduk sebentar di dalam kelas untuk menikmati Ac. Memang masih sangat pagi, namun cuaca di kota tersebut relatif panas. "Dib kantin nggak?" tawar Abel. Dari pagi dia belum makan sama sekali. Dia hanya membeli jajanan dan tentu saja tidak akan membuat perutnya kenyang. Jika Diba pikir-pikir, Abel baru beberapa jam yang lalu dari kantin dan lihat sekarang ia masih ingin ke kantin lagi. Itu perut apaan? "Bentar lah, Jiwa gue menyatu dengan Ac." Abel kesal, dia sudah menarik-narik Diba agar mau beranjak dari ruangan. “Macam anak yang minta permen lo Bel,” goda Kamil. Abel menatap tajam dan dibalas dengan tawaan oleh Kamil. Sebelum ada adu bacok, Diba langsung menengahi dengan berdiri. Dia gantian menarik Abel untuk di bawa ke kantin. Ternyata benar kata orang, ketika lapar bisa berubah menjadi begitu menyeramkan. “Gue ikut,” ujar Kamil mengintili mereka dari belakang. Diba juga mengajak Ella, namun Ella ada urusan dengan kantor administrasi jurusan. Mereka bertiga berjalan menuju Kantin fakultas yang berada di belakang gedung E. Suasana ramai dan lebih didominasi oleh para senior. Diba melihat-lihat untuk mencari tempat kosong. “Di sana aja,” tunjuk Kamil. Diba dan Abel setuju. Mereka duduk di tempat paling belakang. "Gue nasi goreng sama teh hangat," ucap Diba yang baru mendudukan diri pada kursi. “Gue Mie rebus sama teh tarik,” lanjut Kamil. Abel mendengus kesal, dia belum duduk malah sudah di berikan ultimatum agar pergi memesan makanan. Baru 2 menit beranjak, Abel sudah kembali. Dia menutup wajahnya dengan tangan karena malu. “Kenapa lu?” tanya Kamil kebingungan. Abel  heboh sendiri, “Lu tahu kagak? ets jangan di potong dulu,” ujar Abel memberikan peringatan sebelum Diba bertingkah jail. “Kita kudet banget, no liat jelas kantinnya itu udah punya sistem sendiri. Ibu kantinnya bilang harus download aplikasi dulu di situs kampus nah login pakai NIM kita baru bisa mesan makanan,” lanjut Abel. Diba dan Kamil membulatkan matanya. Mereka takjub dengan fasilitas kantin yang sudah lumayan canggih. Mereka segera mengikuti step by step yang sudah tertulis jelas di spanduk kantin. Sungguh mereka sangat payah, informasi yang begitu besar saja tidak diketahui. Entah kemana mata mereka melihat atau juga pikiran mereka yang berkelana kemana-mana. Asik dengan ponsel masing-masing, mereka dikejutkan oleh suara yang begitu manly. "Wah… Saya kira kamu takut masuk kampus," suara yang tiba-tiba saja sampai di gendang telinga Diba. Krik krik Tidak ada yang membalas ucapan itu karena mereka bingung dengan siapa sang senior berbicara. “Saya ngomong ini,” ucapnya lagi. "Eh Ka-kak Aris," ujar Abel memberanikan diri. Dia sedikit terpesona dengan penampilan sosok presiden kampus tersebut. Apalagi parfum yang begitu menyengat indra penciuman mereka. Diba mengipas-ngipaskan tangan dengan sesekali memegang hidung. Aris mengangkat satu alisnya. Dia yang awalnya ingin bertanya kenapa namun diurungkan. "Boleh gabung?" tanya Aris dengan senyum manis. "Bo-boleh kok kak, silakan," Abel mempersilakan presiden kampus itu untuk duduk di depan mereka. Berbeda dengan Kamil yang bersikap bodo amat. Aris juga merasa tidak asing dengan wajah Kamil, seperti pernah melihat tetapi tidak tahu di mana. Pesanan mereka datang, Diba mengucapkan terima kasih kepada ibu-ibu yang mengantarkan. "Wah ternyata nggak bisu ya," sindir Aris. Dia merasa kesal karena dari tadi mencoba mengajak sang junior berbicara tetapi tidak ada respon balasan sama sekali. Sedangkan Diba dan Kamil tengah asik memakan makanan mereka masing-masing tanpa memperdulikan orang lain, namun berbeda dengan Abel yang malah diam-diam mencuri pandang dengan Aris. Jika saja urat malu Abel putus maka dia akan memotret Aris saat ini juga untuk di jadikan story sosial media. “Hello,” pancing Aris lagi. "Dib…,” bisik Abel sambil menyenggol tubuh Diba sedikit. “Kak Aris dari tadi bawa lo ngomong, jangan gitu lah," lanjut Abel yang tidak enak hati karena sang teman yang tidak menanggapi sang senior. "Oi Ris, ngapain lo sini?" panggil Imran yang baru datang. Aris Pratama merupakan mahasiswa fakultas hukum. Jadi patut di pertanyakan kenapa sosoknya ada di fakultas teknik. Jika fakultas mereka bertetangga maka lazim namun fakultas mereka seperti utara dan selatan yang tidak akan bisa berdekatan. "Eh Im, tadi ada urusan sama Zaid bentar," balas Aris. "Masalah lagi?" Aris hanya diam karena setiap dia datang ke Fakultas teknik pasti ada saja permasalahan internal yang terjadi. Suasana menjadi begitu tidak berpihak kepada Diba.  Begitu pun dengan Abel yang sedikit takut ketika melihat senior yang terkesan galak yaitu Imran. Pandangan mata Imran tertuju pada perempuan yang terkesan cuek dan tidak terpesona sedikitpun dengan dirinya ataupun Aris. "Wah Anak yang punya kampus ternyata," sindir Imran dengan senyum misterius. "Siapa?" tanya Aris polos. Abel pun penasaran siapa anak yang punya kampus. "Noh," tunjuk Imran pada Diba yang tengah asik menikmati makanan. "Diba maksud lo?" Imran cukup terkejut karena Aris tahu nama mahasiswa baru. Hal itu cukup jarang terjadi. "Hari pertama ospek dia telat, makanya gue bilang anak yang punya kampus." Aris dan Abel mengangguk paham. “Ngapain datangin dia?” tanya Imran kepo. Aris tidak menjawab, dia sibuk bermain ponsel. “Gebetan Renal tu,” pancing Imran lagi. Aris melotot. Dia ingin memastikan apa benar Diba gebetan Renal. “Nggak usah nyebar gosip Kak, saya bukan gebetan siapa-siapa,” bantah Diba sebelum gosip tersebut menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. “Udah?” tanya Kamil yang mulai risih. Walaupun dia baru berteman dengan Diba dan Abel, namun dia juga akan melindungi jika terancam. "Udah, ayoo!!!" Diba beranjak untuk segera membayar makanan. Abel juga ikut berdiri, dia tidak mau berlama-lama dalam suasana horror yang sedang berlangsung. "Saya nggak tahu Kamu punya pikiran negatif apa tentang anak BEM, tapi Saya mau Kamu masuk BEM biar Kamu tahu gimana kita," Ucap Aris ketika melihat sang junior yang ingin beranjak pergi. Diba menghela napas panjang. Dia tidak tahu kenapa harus berurusan dengan orang yang paling dia ingin hindari selama masa perkulihan. Dia juga tidak tahu kenapa Imran selalu saja melihat ke arahnya dengan pandangan tidak suka. Dia melakukan kesalahan sebesar apa sehingga begitu tidak di sukai? Diba hanya ingin kuliah dengan tenang, tanpa harus terlibat konflik dengan siapapun apalagi senior. "Terima kasih tawarannya, maaf saya tidak tertarik sama sekali," ucap Diba sebelum melangkah jauh. "Diba lo gila sumpah, orang pengen banget masuk BEM dan lo malah nolak mentah-mentah," omel Abel. Diba menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gue cuma mau kuliah dengan tenang dan selesai tepat waktu. Okey?" Abel mengerti, sering beredar kabar bahwa anak organisasi pasti akan terlambat menyelesaikan perkulihan. Dan memang kebanyakan seperti itu, apalagi fakultas mereka bukan mudah. Teknik adalah fakultas yang sudah di anggap sulit. “Udahlah, nggak usah di anggap pusing atau takut. Lo juga bayar kan kuliah di sini,” ujar Kamil. Diba seperti mendapat pencerahan dari Kamil setelah pikirannya menjadi kalang kabut. Dia harus kuat dengan situasi apapun dan semuanya terjadi agar dia menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Mereka membayar makanan masing-masing, setelah itu mereka menuju kembali ke koridor kampus. Di sepanjang jalan mereka bercanda dan juga mengobrol hal-hal seru. Diba juga bingung kenapa begitu cepat akrab dengan Kamil.  Berjejer di mading jurusan segala informasi tentang organisasi kampus. Abel berhenti sejenak untuk membaca informasi tersebut. Dia ingin bergabung dengan salah satu organisasi agar bisa berbaur dengan orang lain. “Ikut  apa lo Mil?” tanya Abel. Kamil berpikir sejenak, dia banyak tertarik dengan organisasi yang berjejer di manding. Hanya saja dia ragu harus melabukan pilihan pada yang mana. “BEM fakultas kayaknya,” balas Kamil kurang yakin. “Lo kok nggak protes Dib?” tanya Abel bingung. Dia saja ingin bergabung BEM langsung di semprot oleh Diba, namun kenapa saat Kamil yang ingin bergabung dengan BEM Diba diam saja. “Terserah Kamil dong, lo kok sensi banget sama gue Bel?” “Lo tu aneh, banyak banget musuhnya hahaha.” Diba menarik ransel Abel sehingga Abel tertarik kebelakang. “Dibaaa, jail banget dah,” kesal Abel sambil berusaha membalas Diba. Mereka tidak sadar ada beberapa orang yang melihat tingkah laku mereka. “Ngeri gue lihat kalian,” ucap Kamil. Diba dan Abel tidak menghiraukan. Mereka bahkan sudah saling kejar-kejaran di koridor kampus. Kamil tidak lagi peduli, dia langsung duduk di kursi santai yang di sediakan kampus. Dia membuka 1 buah permen milkita dan mulai bermain game online. Hari pertama kuliah mereka habis begitu saja. Mereka mulai menikmati walau pun belum tahu apa yang menanti mereka di depan sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD