2.

1056 Words
Aku menoleh, mendapati Reno memegang pundakku. Lega melihatnya, aku terduduk lemas di aspal dingin. “Kenapa?” tanyanya. Aku mendongak, melihat Reno yang sudah jongkok di depanku dengan tatapan  bingung. “Aku... pikir... aku... akan... mati.” Terbata-bata aku berkata sambil mengusap air mata di pipi.  Reno menoyorku. “Cengeng!” Hanya satu kata itu dan aku berhenti menangis. Sambil menepis tangannya, kucoba menjelaskan, “Kau tidak melihat pembunuhan di sana, jadi tidak akan mengerti ketakutanku. Ah iya, cepat hubungi polisi. Di sana ada pembunuhan.” Reno tampak terkejut dalam beberapa detik, lalu mengerutkan kening, seolah tidak yakin dengan ucapanku. Walau tampak enggan, dia tetap mengeluarkan ponsel. “Jalan Lily dekat gang sempit, yang diapit dua gedung kosong.... iya.... aku juga tidak mengerti. Datang sajalah... oke.” Aku bernapas lega, sekaligus bingung. Mengapa Reno bisa di sini? *** Senin, 02 Januari Saat kubuka mata, hamparan langit-langit berwarna putih mendominasi penglihatan. “Dia sadar.” “Oh, syukurlah.” “Cepat, panggil dokter!” Kulihat samar beberapa wajah asing di ruangan ini. Tidak ada Mama di antara mereka. Aku ingin bertanya, tapi mulut enggan terbuka, bahkan tubuh terasa kaku, sulit digerakkan. Aku mencium bau obat-obatan dan melihat botol infus dekat kepala. Ini mungkin kamar rawat di rumah sakit. Aku melirik kalender besar di dinding sudah berganti tahun. Saat mencoba menerka yang terjadi, pandanganku mulai gelap. ●●● Awalnya aku berjalan bingung di tempat gelap nan pengap yang membuat sesak, kemudian memilih berlari saat melihat sebuah pintu di ujung jalan. Aku menggapainya, lalu memutar knop. Ini sekolahku. Bangunannya besar dan kokoh dengan tiga lantai, beberapa pohon mawar tampak memenuhi taman di masing-masing depan kelas. Perlahan aku masuk, ternyata pintu tadi menuju atap sekolah yang menghubungkan koridor dengan tangga darurat. Herannya, kenapa aku bisa berakhir di tempat tadi? Yah, terserahlah, yang penting aku sudah bebas dari tempat sesak itu. Sambil memejamkan mata, kunikmati udara segar pagi ini. “Hei! Sedang apa?” Seseorang langsung mengalungkan tangan kanannya ke leherku. Aku membuka mata dan refleks menoleh ke kiri, ke pemilik cempreng yang khas ini. “Kau memanggilku ‘Hei’? Tidak ada manisnya sama pacar sendiri,” keluhku. Dia melepas rangkulan. “Hahaha... iya maaf. Juju sayang, lagi apa?” Dia mencubit kedua pipiku. “Jangan menghalangi jalan!” tegas seseorang, yang langsung memisahkan kami dengan menggeser badanku. Namanya Reno. “Si Reno itu seperti kulkas. Sama sohib sendiri masih saja kaku. Aku heran kenapa kita masih setia jadi temannya,” keluh pacarku, namanya Juna, yang kini menggandeng tanganku, lalu menyusul Reno. Aku mengedikkan bahu. “Entah. Aku pun heran.” Dia berhenti berjalan. “Yang lebih heran lagi,”—dipegangnya  kedua bahuku, lalu tersenyum—“kok, bisa ya, seorang Arjuna Dirgantara,–cowok paling famous, sang Ketua OSIS bewajah bagai idol K-POP ini,– punya pacar yang jelek seperti zombi didandani ala Jeng-Kelin?” “Apa?”  Juna berlari, tentu tertawa puas. Aku yang kesal, langsung mengangkat rok panjang dan mengejarnya. “Juju... angkat roknya lebih tinggi lagi, dong. Biar puas, Sayang,” teriak Juna sambil berlari mundur. “Dasar Juna! Reno... tangkap dia,” teriakku seantero koridor. Reno yang berjalan santai, langsung balik badan dan menangkap Juna yang memang berlari mendekatinya. Dia memelintir kedua tangan pacarku itu ke belakang punggung, mirip gerakan polisi membekuk pencuri. “Reno tidak seru, ah. Aku, kan, temanmu juga. Masa kau lebih mendengarkan Juju daripada aku?” Juna berusaha melepaskan cekalan tangan Reno. Aku akhirnya sampai di depan Juna, masih mengatur napas sebelum bicara dengan pria yang tingginya menyaingi tiang listrik ini. “Aku dan Juni sudah dekat sejak kecil, jadi tingkatannya berbeda denganmu.” “Sudah dengar, kan, Sayang? Jadi, tidak usah merasa bangga kalau masih mengenal Reno selama 3 tahun.” Aku mengepalkan tangan, bersiap menjitak kepala Juna. *** Selasa 03 Januari Aku melihat langit-langit kamar rawat, dan memerhatikan sekitar yang masih terlihat berkabut. Berkedip-kedip membiasakan diri dengan cahaya terang, kembali kulihat kalender di dinding, sudah berganti tanggal dari terakhir kali aku bangun. “Dokter! Juju sudah sadar.” Aku mendengar teriakan Juna. Mencoba meraihnya, tapi tanganku sulit digerakkan. Mencoba memanggilnya, tapi suaraku tidak keluar. Bahkan sekarang pandanganku semakin tidak jelas. “Jangan menangis, Ju. Aku di sini,” lirih Juna saat menghapus air mata di pipiku. Aku hanya bisa berkedip saat Juna menggenggam erat tanganku dan tersenyum hangat. Senyum manisnya yang kurindukan. Beberapa saat kemudian, seorang pria kulit kuning langsat dan berkacamata mendekat. Dia mengeluarkan senter kecil, lalu mengarahkan ke mataku. Aku mengikuti cahayanya sesuai instruksi. “Responsnya memang bagus, tapi, Juni tetap perlu istirahat. Saya permisi, Juna.” Juna mengangguk, sedikit membungkuk. Dia mengucapkan terima kasih dan duduk kembali di kursi kecil dekat brankar, memegang tangan kananku lagi. Sambil tersenyum, dia mengusap-usap pipiku dengan tangan kirinya. “Besok atau lusa, akan kujelaskan. Sekarang istirahat dulu,” ujarnya lirih. *** Dua minggu berlalu, tapi Juna belum menepati janji untuk menceritakan semuanya. Bahkan setelah serangkaian tes kulakukan, serentetan pertanyaan diajukan dokter dan beberapa orang menemuiku untuk menyemangati, tetap saja pria dengan penuh pesona itu bungkam. Pertanyaan terbesarku tentang keberadaan Mama juga tidak mendapat jawaban. Hanya bisik-bisik pasien dari ruang sebelah yang terkadang membuatku berpikir buruk tentang keadaan Mama. Semua membisu, seolah menunggu orang yang tepat untuk menceritakan segalanya kepadaku. Aku ingin marah tapi tubuh tidak mendukung. Pasca-koma sebulan, tubuh dan otakku melemah. Aku mendengar Juna mendesah. Dia masih setia mendorongku yang duduk manis di kursi roda. Mengusap pucuk kepalaku, tanpa berniat bicara. Kami berhenti di taman, dekat pohon besar di depan rumah sakit untuk menikmati mentari pagi. “Sudah dua minggu, Juna. Bagaimana dengan janjimu? Kau bilang akan menceritakan segalanya.” Juna berputar ke depanku, dan merangkung sembari menggenggam kedua tanganku yang bersimpuh di pangkuan. Iris cokelat gelapnya terlihat sendu, bahkan sekarang berkaca-kaca saat kusinggung janjinya waktu itu. Dia membasahi bibir sebelum mengeluarkan suara. “Waktu telah berlalu selama sebulan.” Dia memalingkan wajah. Aku tahu. Bisa kulihat kalender di kamar rawat sudah berganti tahun. Suster juga sudah mengatakannya. “Lanjutkan!” Dia kembali menatapku. “Tante April telah meninggal.” Sepertinya pendengaranku belum kembali normal. Aku pasti salah dengar. Atau Juna sedang bercanda. Oh, ayolah, ulang tahunku masih lima bulan lagi. Bahkan ini bukan April fool ala Na-Ni-No (Juna, Juni, Reno). Aku menepis tangan yang digenggam Juna. “Bohong! Kau bohong, kan?” Juna merapikan anak rambutku yang sedikit berantakan. “Maafkan aku. Harusnya aku menjemput mamamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD