4.

1034 Words
Dua hari setelah diskusi dengan Juna, aku memenuhi panggilan polisi. Dalam perjalanan, lumayan banyak reporter yang ingin menanyaiku, tapi Juna berhasil menghalau mereka. Dari pertama sadar saja sudah banyak reporter, tapi untungnya pihak rumah sakit membuat aturan ketat untuk tidak menggangguku. Kami tiba di kantor polsek Binjai yang cukup besar. Seorang menanyai Juna, kemudian dia membimbing kami menuju ruang interogasi. Melewati beberapa lorong, sebenarnya membuatku sangat gugup. Meski berulang kali kutegaskan pada diri sendiri untuk tenang, tetap saja saat menghadapi langsung seperti ini benar-benar mendebarkan. "Silakan masuk!" kata si petugas berlesung yang mengantar kami. Juna memeluk dan mengecup keningku. "Kau bisa," bisiknya. Dia merengkuh pipiku dan tersenyum sangat manis. "Beri aku senyuman." Aku memukul dadanya dan memeluknya sekali lagi. "Aku sangat takut." "Aku akan menunggumu di luar." Aku mengangguk. Kubuka pintu kayu dan melangkah masuk. Empat kursi dengan sebuah meja. Aku duduk di salah satunya dan mengamati ruang minimalis yang kosong perabotan dan hiasan dinding. Membuat sumpek saja! Tidak berapa lama, dua orang berseragam cokelat  masuk ke ruang interogasi. Dari tanda pengenal di saku baju mereka, kutahu yang berkulit putih dan tinggi bernama Wahyu, sementara rekannya yang buncit itu bernama Aldi. Mereka duduk di depanku dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari ransel besar. Wahyu mengeluarkan laptop dan alat perekam, meletakkanya di atas meja kecil yang memisahkanku dengan mereka. Setelah menarik napas panjang, dia menatapku serius. "Siapa nama Anda?" tanya Wahyu. "Juni Ananda Putri," jawabku, dan langsung terdengar suara ketikan di laptop. Sepertinya Aldi akan mengetik setiap kata yang keluar dari mulutku. "Berapa usia Anda?" "16 tahun." Berikutnya Wahyu menanyakan segala hal tentang latar belakangku. Setiap pertanyaan kujawab dengan jujur. Sampai dia tiba pada pertanyaan serius. "Apa hubunganmu dengan Reno?" Aku bernapas sejenak untuk berpikir jawaban apa yang tepat menggambarkan hubungan kami. Memang sudah kupikirkan sejak kemarin, tapi berhadapan langsung dengan polisi ternyata membuat otakku sedikit kosong. "Tetangga, juga teman sekelas," jawabku kemudian. "Anda yakin?" Aku mendongak, melihat wajah datar Wahyu. "Ya." Dugaanku sepertinya benar. Mereka mencurigaiku. "Kalau begitu, pada malam tanggal 2 Desember tahun lalu, Anda berada di mana dan sedang apa?” Aku menghela napas dan seolah kembali ke malam paling dingin dalam hidupku. Bahkan masih teringat jelas setiap waktu dalam rangkaian kegiatan yang kulakukan, seolah kejadiannya baru kemarin. ●●● 2 Desember pukul 20:02 Juna menggenggam erat tanganku. Wajahnya sangat berseri hari ini. Usai merayakan ulang tahun di rumahnya, dia ingin merayakan lagi bertiga saja denganku dan Reno. Sahabatku itu masih saja sibuk dengan ponselnya sejak tadi, seolah aku dan Juna hanya bayangan. “Kalian mau ke mana?” Juna mengedarkan pandangan ke area permainan di Time Zone. “Basket, mau?” Aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul. “Aku ikut saja. Reno bagaimana?” Pemuda kulit putih dengan wajah yang lebih sering datar itu menoleh ke samping. “Terserah.” Dia kembali larut dengan ponsel. Dia chat sama siapa, sih? Juna pergi menukar koin dan aku menunggu di area basket. Tidak lama, dia datang dan kami bermain sepuasnya. Setelah satu jam bermain basket dan beberapa permainan balap motor, Reno izin pulang. “Kok, cepat?” protesku. “Nanti aku pulang sama siapa?” “Kan, ada Juna. Aku balik.” Dia pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. “Ya sudahlah, kita main lagi?” Aku hanya mengangguk menyetujui permintaan Juna. Kami berlanjut main dance-dance revolution, lalu makan di salah satu kafe dalam mal. Sudah pukul sebelas, tapi aku masih betah bersama pacarku ini. Entahlah, waktu terasa sebentar saat bersamanya. “Kenapa?” Juna sedang menjawab telepon dari abang iparnya. Sejak tadi dia memang dihubungi, tapi pacarku itu mengabaikan dan bilang masih ingin bermain. Kali ini sepertinya serius. “Ya sudah, aku pulang! Aku antar Juju pulang dulu... astaga! Memangnya tidak bisa meminta Kakak pulang? Iya, iya. Aku pulang!” Juna menutup telepon, lalu menoleh kepadaku. “Kau pulang saja.” Aku menatap kening Juna yang berkerut. “Aku akan mengantarmu dulu. Sudah malam.” Dia menggenggam tanganku saat keluar kafe. “Hanya sampai aku naik angkot, oke?” Dia mendeceh. “Baiklah. Hubungi aku kalau sudah sampai.” Aku mengangguk. *** Tiga puluh menit kemudian, aku tiba di Jalan Lily. Aku mencoba menghubungi Reno tapi tidak tersambung, mungkin sinyal jelek. Aku hubungi lagi sampai tiga kali, tapi tetap tidak tersambung. Aku menyerah. Kuputuskan untuk berjalan sendiri menuju gang sempit yang bisa tembus ke Jalan Kemuning. Nahas, seorang wanita menabrakku. ●●● “... Anda sedang berada di mana?”Aku tersadar dari ingatan. “Di mal bersama Juna.” Wahyu menatapku datar. “Apa Anda bertemu Reno malam itu?” Aku menelan ludah dan mencengkeram kemeja biru yang kukenakan. “Ya. Sebelum itu, saya melihat seorang wanita terbunuh.” “Anda kenal wanita itu?” Aku menggeleng. “Saya tidak terlalu mengingat wajahnya. Dia memiliki tinggi seperti saya.” “Bagaimana dengan pakaian yang dia kenakan?” “Saya tidak yakin karena saat itu gelap. Saya rasa dia memakai gaun selutut.” “Coba lihat!”—Wahyu menyodorkan sebuah foto padaku—“apakah seperti ini, wanita itu?” Wanita dalam foto memiliki rambut hitam sebahu dan sepasang mata cokelat terang. Dia memakai gaun putih selutut, tengah tersenyum manis menghadap kamera dengan dua jari membentuk V. Usianya terlihat sama denganku, sekitar 16 atau 17 tahun-an.   “Saya tidak ingat jelas wajahnya.” Aku mengembalikan foto ke Wahyu. Aku tahu gadis itu dari surat kabar. Namanya Rahdila, dia juga menghilang sejak malam itu. Aku menghela napas, semoga kebohonganku tidak ketahuan. "Anda mengingat ciri-ciri pelaku?” Aku mengangguk. “Dia tinggi, mengenakan masker dan hoodie, membawa pisau kecil segenggaman tangannya. Itu saja.” “Apa yang Anda lakukan saat melihatnya?” Aku memijat pelipis. “Saya sembunyi, lalu ketahuan. Kemudian saya berlari dan menjatuhkan ponsel. Ah iya, ada kamusnya.” “Kamus? Kamus yang bagaimana?” “Itu seperti sebuah kotak rahasia, terbuat dari logam, mungkin, tapi di sampulnya dituliskan Kamus. Warna sampulnya sama seperti kamus bahasa Inggris pada umumnya, bagian sampingnya ada huruf timbul bertuliskan for our love, di bagian kanan ujung atasnya terdapat tulisan YI dan di bawah tulisannya ada 2 cap jempol seperti sidik jari di ijazah. Tulisan YI dan cap jempolnya diletakkan di dalam gambar kotak.” “Saat mendapatkan kotak itu, apa yang Anda lakukan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD