89. Sudah Jatuh Tersungkur Pula

1022 Words
Setelah merenungkan diri selama semalaman suntuk, akhirnya Erina pun memutuskan untuk tiga hari lagi baru pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan semua permasalahannya. Tentu saja ia ke sana tanpa memberi kabar pada siapa pun. Karena memantau keadaan mansion, rumah sekaligus kantor yang sebenarnya sudah diwariskan padanya. Kini Erina berdiri tepat di depan gedung raksasa milik Aryasatya Group untuk menerima surat mutasi ke Indonesia. Meskipun hal ini sedikit nekat, karena ia baru saja melihat lelaki yang tampak mengawasi dirinya dengan sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya. Namun, ia jelas tidak ingin ambil pusing. Karena semua ini sudah direncakan Alvaro untuk membawa beberapa pengawal untuk melindunginya dari serangan luar, termasuk keluarganya sendiri yang sudah merencakan sesuatu di belakang dirinya. Kenapa Alvaro bisa tahu? Sebenarnya, Boys Force adalah Mafia Bisnis. Sehingga beberapa ia pernah bertemu Alvaro yang nanyatanya bukanlah sekedar berbisnis, melainkan transaksi illegal membuat perusahaan Aryasatya Group sempat gempar akibat kedatangan BIN. Namun, hal tersebut sama sekali tidak didukung oleh Alvaro yang pada saat bersamaan ia sedang melakukan banyak buktin sanggahan. Karena dirinya memang benar-benar tidak pernah bertransaksi apa pun dengan Boys Force. “Kau sudah datang, Erina?” sapa Meiying yang baru saja keluar dari ruangan Alvaro. Ia terlihat membawa banyak sekali berkas. “Iya. Apa mau aku bantu?” tawar Erina tersenyum manis. Meiying menggeleng sesaat. “Tidak usah. Aku hanya ke meja kok. Kau lanjutkan saja pertemuanmu dengan Alvaro.” “Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Erina melenggang masuk ke dalam meninggalkan seorang wanita yang menatap dirinya dengan pandangan geli sekaligus tidak percaya. Sesampainya di depan lelaki yang menjadi tujuannya hari ini, Erina pun menyapa, “Selamat pagi, Presdir Alva.” Lelaki itu belum menyadari kedatangan Erina sehingga ia hanya mengangguk pelan, lalu mulai bertanya dengan pandangan yang masih menelisik kontrak kerja, “Ada perlu apa ke sini?” “Kak!” panggil Erina sedikit keras membuat lelaki itu spontan mengangkat kepalanya terkejut. “Astaga, kau menakutiku saja!” ucap Alvaro hampir terjatuh dari kursinya sendiri. “Kakak kenapa dari tadi nunduk doang? Gue dateng malah menyebalkan sekali,” sindir Erina kesal. “Bukan begitu, Na. Gue cuma mempertahankan nyawa aja biar berguna bagi nyawa lainnya,” sanggah Alvaro menutup berkas tersebut dan mulai menatap Erina. Erina memutar bola matanya malas mendengar perkatiaan Li Xian. “Oh ya, Kak, mana surat mutasinya?” “Lo jadi pergi tiga hari lagi? Terus selama tiga hari di sini untuk apa aja?” “Sebenarnya enggak terlalu berguna banget karena ada beberapa berkas yang harus gue ambil di KBRI. Itu pun menyangkut nama ahli waris perusahaan dan sebagian harta Kakek Hasbi yang sudah sah menjadi nama asli gue, jadi mau enggak mau gue harus ubah identitas lagi.” Mungkin kalau Erina tahu akan terjadi seperti ini, ia tidak akan pernah mau mengganti identitasnya sama sekali. Akan tetapi, hal tersebut justru membuat keluarganya semakin leluasa terhadap dirinya. Atau bahkan bisa lebih berani daripada yang terjadi kemarin. “Terus KBRI setuju, Na? Kok gue makin bingung ya sama masalah kewarganegaraan begitu,” ucap Alvaro sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Erina spontan tersenyum tipis. “Sebenernya, gue itu punya dua kewarganegaraan, Kak. Jadi, bisa aja gue pakai keduanya, tapi KBRI mutusin gue buat jangan sembarangan pakai identitas. Karena kalau terjadi apa pun, enggak ada negara yang mau mengakui gue, Kak.” “Hah? Kok bisa begitu?” Alvaro menatap Erina tidak percaya. “Bisa disebut illegal, tapi legal. Gue juga masih belum paham banget, tapi yang pasti KBRI nyuruh gue buat jangan kebawa hukum karena itu akan berat banget, kecuali gue udah balik ke Indo. Ya terserah mau terjerat hukum apa pun. Karena itu emang kewarganegaraan asli gue,” tutur Erina mulai rumit membuat Alvaro merasa kalau gadis yang ada di hadapannya ini benar-benar sangat tegar. Seketika Alvaro menatap Erina dengan pandangan yang sulit diartikan membuat gadis itu spontan mengernyit bingung. Namun, ia sejenak tahu arti keterdiaman itu. Karena sejak dulu dirinya sudah menerima banyak sekali ekspresi, baik itu senang, sedih, marah, kecewa, bahagia, dan putus asa. Akan tetapi, ia sama sekali tidak pernah ingin mendapat simpati dari orang-orang terdekatnya, apalagi sampai harus merepotkan seperti ini. Erina sangat tidak menyukai hal tersebut. Namun, hal tersebut justru membangun spekulatif yang ada di dalam dirinya sendiri. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang memandang Erina sebagai gadis tegar dan tal gentar terhadap apa pun. Meskipun nyatanya itu semua salah besar, selama ini ia berusaha mati-matian untuk tetap tersenyum pada orang lain. “Kak, gue pergi dulu, ya?” pamit Erina membuat lelaki itu seketika tersadar. “Cepat banget, Na. Masih pagi kok udah pamit aja. Mau ke KBRI?” balas Alvaro sedikit lesu mendengar Erina yang sudah ingin beranjak pergi. “Iya, gue mau ke KBRI dulu. Kalau besok packing baju, terus lusa baru punya waktu luang.” Erina merapikan penampilannya membuat Alvaro bangkit dari tempat duduk dan menghampiri gadis itu. “Kalau nanti malem gue nginep, gimana?” tanya Alvaro memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Tentu saja hal tersebut membuat tubuh Erina mendadak kaku. Ekspresi yang dipantulkan oleh cermin membuat siapa pun merasa ingin tertawa. Karena wajah Erina benar-benar sangat konyol. “Uhm ... men ... mendingan jangan, Kak,” jawab Erina gugup membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat. “Oh begitu, ya?” gumam Alvaro lesu, lalu membenamkan wajahnya pada leher mungil milik Erina yang beraromakan lavender alami. Padahal ia jelas tahu gadis itu memakai parfum teh, tetapi jelas berbeda ketika dirinya mendekatkan diri. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan pintu ruangan terbuka secara mendadak membuat Erina langsung mendorong tubuh Alvaro hingga terjungkal ke belakang. Sedangkan seseorang yang baru masuk itu hampir saja menjerit terkejut melihat bosnya terjatuh mengenaskan. “E ... eh, maaf, Kak!” ucap Erina panik melihat Alvaro benar-benar tersungkur ke belakang dan hampir mengenai meja tamu yang terbuat dari kaca. Meiying yang melihat hal tersebut benar-benar tidak percaya. “Baru kali ini gue lihat lo jatuh, Al.” Namun, Alvaro hanya mengdengkus pelan sembari bangkit dari lantai. Ia menatap Meiying tidak suka, lalu tersenyum manis ke arah Erina. Membuat sekretaris pribadinya yang melihat hal tersebut langsung berpura-pura ingin muntah. “Enggak apa-apa, Na,” balas Alvaro mengusap lembut kepala gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD