87. Blacklist

1044 Words
Dan benar saja, Alvaro pun masuk dengan menatap setiap sudut apartemen dengan mata tajamnya. Seakan ia benar-benar tengah mencari seorang lelaki yang berani sekali menghampiri pujaan hatinya. Namun, dugaan lelaki itu ternyata salah. Nyatanya lelaki yang ia kira menghampiri Erina adalah Han Shuo, teman sekaligus pacar dari Lusi. Sejujurnya ia cukup malu mengatakan kalau dirinya cemburu. Akan tetapi, apa boleh buat. Dirinya benar-benar merasa sangat kesal ketika mendengar Erina berduaan dengan lelaki lain di dalam apartemen ini. Mungkin kalau terjadi begitu nyata, Alvaro akan menghabisi lelaki itu dan membuatnya tidak bisa melihat dunia lagi. Tentu saja Alvaro akan menghabisi sang lelaki daripada membentak-bentak seorang perempuan. Karena sejak dulu dirinya memang tidak pernah bisa marah pada makhluk yang lemah lembut tersebut. Akan tetapi, bukan berarti Alvaro menerima semua perlakukannya, justru ia akan selalu mengingat setiap perempuan yang pernah menyakiti hatinya. Dan jangan pernah meminta untuk kembali. Karena hadir untuk kedua kalinya belum tentu spesial menjadi yang pertama. Namun, untuk memaafkan rasanya memang sulit. Apalagi kalau dirinya benar-benar dikhianati oleh orang yang ia banggakan di depan teman-temannya. Kini Alvaro masih tetap mendiami Erina yang sejak tadi mulai menatap dirinya takut. Sejujurnya ia bukanlah marah karena gadis itu membawa masuk lelaki lain, melainkan ia marah pada dirinya sendiri yang begitu mudah percaya tanpa menunggu penjelasan terlebih dahulu. Namun, ini bukanlah murni kesalahan dirinya, Erina pun berbohong. “Kak Alva, jangan marah dong,” ucap Erina dengan wajah memelas berusaha membuat lelaki itu luluh. Akan tetapi, Alvaro sama sekali tidak bergerak. Ia tetap saja menatap lurus ke depan sembari melipat kedua tangannya di depan da*da sembari menipiskan bibirnya kesal. Erina pun melirik ke arah Lusi untuk meminta bantuan gadis itu. Sayangnya, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena wajah Alvaro benar-benar memperlihatkan dirinya tengah kesal. “Kak Alva,” goda Erina sembari menumpukan wajahnya di pundak lelaki itu, menatapnya lebih dekat mungkin akan membuat Alvaro merasa salah tingkah. Namun, Alvaro malah membiarkannya membuat Erina tidak ingin kehabisan akal. Ia pun memeluk tubuh lelaki itu dari samping sembari tersenyum manis membuat pipi Alvaro berkedut pelan. “Kalau Kak Alva masih diem, ya udah gue tidur aja,” ancam Erina hendak menegakkan tubuhnya kembali. Akan tetapi, gerakan tersebut kalah cepat dengan Alvaro yang melingkarkan tangan kanannya pada pinggang Erina membuat gadis itu mendelik terkejut. Sebab, kini jarak wajahnya dengan wajah Alvaro sangatlah dekat. Bahkan ia bisa mencium napasnya yang beraroma mint. Sedangkan Lusi yang melihat hal tersebut langsung mengalihkan perhatiannya, lalu menatap sang kekasih yang juga tersenyum geli. Entah kenapa mereka berdua sangat terhibur akan aksi tidak terduga dari Alvaro tadi. “Mau tidur? Tapi, kenapa mereka berdua masih ada di sini?” tanya Alvaro menatap mata Erina dalam-dalam. Sontak jantung milik gadis itu pun berdebar cukup kuat membuat tubuhnya benar-benar kaku dan mengacu adrenalin. Sebab, ia mulai merasa kalau jantungnya sebentar lagi akan bermasalah jika harus berhadapan dengan Alvaro. “Bi ... biarkan mereka berdua di sini. Aku ... aku tidak peduli,” jawab Erina tergagap sembari mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Seketika alis tebal milik Alvaro terangkat tidak percaya menatap Erina yang menatap ke arah lain. Ia terlihat tidak suka membuat tangan kirinya menjepit kedua pipi chubby milik gadis itu untuk kembali menatap dirinya dengan mata cokelat terang yang sangat memikat. “Kalau tidak peduli, kenapa kau malah mengusirku?” tanya Alvaro semakin mendekatkan wajahnya. Spontan Erina menjauhkan wajahnya, ia sama sekali tidak peduli kalau lelaki itu masih menjepit pipi miliknya. Karena posisi seperti ini sangat berbahaya sekali. Apalagi Lusi dan Han Shuo masih berada di sini. Ia tidak mungkin mengumbar kemesraan di depan pasangan tersebut. “Ti ... tidak,” jawab Erina sedikit merutuk dirinya sendiri yang kembali tergagap. Padahal ia sudah berusaha sekuat mungkin agar tidak membuat suaranya bergetar sendiri. Sebab, itu akan sangat terlihat kontras kalau dirinya sedang gugup. Sedangkan Lusi yang melihat hal tersebut pun langsung menyela, “Sudahlah, Alvaro. Kalau aku menjadi dirimu, mungkin Erina sudah habis malam ini.” “Apa yang kau katakan, Lusi!” sahut Erina mendelik tidak percaya. Bisa-bisanya gadis itu menjadi provokator Alvaro di saat seperti ini. Namun, gadis itu malah menyembunyikan wajahnya di pelukan Han Shuo. Mereka berdua memang benar-benar sangat menyenangkan sampai Erina gemas sendiri. Ingin sekali memasukkan Lusi ke dalam boks yang ada di dalam gudang, lalu mengirimnya ke Antartika. Siapa tahu gadis itu akan bertemu para astronot dan diajak naik ke bulan sehingga tidak akan bertemu dengan dirinya lagi. “Ide yang bagus,” balas Alvaro tersenyum miring membuat Erina semakin merasa kalau dirinya benar-benar gawat malam ini. Erina pun menatap Alvaro seakan ia berkata, ‘Apa kau yakin akan melakukan hal itu padaku?’ Akan tetapi, ia jelas tidak mendapat jawaban apa pun, selain tatapan minat yang seakan ingin benar-benar menghabisinya. Jelas sekali Erina takut, ia tidak ingin masa depannya hancur. Apalagi sampai mempengaruhi semua rencananya. “Sudahlah. Sepertinya kita harus pulang, Lusi. Apa kau sudah selesai mempelajarinya?” Han Shuo melirik ke arah pujaan hatinya yang mengangguk singkat. “Sudah. Aku hanya perlu mengirimnya ke email, jika ada beberapa hal yang belum bisa ku cerna dengan baik,” balas Lusi tanpa menatap lelaki itu. Ia terus saja mengetikkan sesuatu di laptop milik Erina. Setelah itu, Han Shuo pun bangkit dari sofa, lalu menoleh ke arah Alvaro dan Erina yang masih setia pada posisinya. Ia meringis pelan, apakah pinggang gadis itu tidak merasa sakit? Sejak tadi sudah dipeluk layaknya sebuah patung. “Alvaro, sudahlah. Apa kau tidak kasihan melihat Erina?” sindir Han Shuo seakan mereka berdua memang benar-benar dekat. Akan tetapi, hal tersebut memang sebuah fakta. Karena sejak dulu lelaki itu sudah menjadi satu angkatan di unversitas yang sama. Hanya saja Han Shuo lebih memilih jurusan Art daripada Alvaro yang Engineering. Meskipun berada di jurusan yang berbeda, tetapi tidak membuat keduanya berjauhan. Bahkan sesekali Han Shuo mengunjungi lelaki itu ketika memiliki waktu luang. Sedangkan Alvaro yang tersadar akan perlakuannya sendiri pun mulai mengendurkan lingkaran tangannya, lalu menatap Han Shuo sembari meringis pelan. Tentu saja hal tersebut membuat Erina memutar bola matanya malas. “Baiklah. Aku sudah menyelesaikan pelajaran hari ini. Terima kasih, Erina. Mungkin beberapa hari ke depan aku akan merepotkanmu lagi,” ucap Lusi tertawa geli melihat wajah datar temannya. “Oh tidak, aku akan mem-blacklist namamu di daftar kunjungan. Agar kau tidak bisa datang kemari,” balas Erina sedikit kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD